Tuesday, February 06, 2024

Indonesia, Rumahku Sekali Lagi

Sebuah Resensi dari Buku Jentera Langit Tenggara

 

Identitas Buku

·       Judul buku: Jentera Langit Tenggara

·       Pengarang: Hesty Susanti dan Michael Binuko

·       Penerbit: Tel-U Press

·       Tanggal terbit: 26 Januari 2024

·       ISBN: 978-623-6484-58-6

·       Tebal halaman: 85 halaman

·       Ukuran: 13 cm × 19 cm

·       Tautan penerbit: https://telupress.telkomuniversity.ac.id/product/jentera-langit-tenggara/

 

 

Sinopsis

Perjalanan pulang ke tanah air menjadi akhir sekaligus awal dari petualangan Hesty menyusuri relung-relung abstrak kehidupan yang ia terjemahkan dalam puisi dan penelitiannya di bidang instrumentasi medis. Titik akhir dan awal ini ditandai dengan puisi panjang yang dibaginya dalam dua bagian: Bochum, Sungguh Aku Mencintaimu bagian 1 dan 2. Puisi ini ia tulis di hari terakhir ia berada di Eropa setelah menjalani 4 tahun masa studinya di sebuah kota kecil di lembah Sungai Ruhr, Bochum, Jerman. Pagi itu, 1 Agustus 2015, menjelang puncak musim panas, ia menyusuri jalan setapak dan menumpang U-Bahn menuju kampus tercintanya, Ruhr Universität Bochum, lalu melanjutkan perjalanan ke pusat kota untuk sarapan di sebuah toko roti di Stasiun Bochum Hauptbahnhof. Ia mereka ulang jalur yang rutin dilaluinya hampir setiap hari selama 4 tahun ke belakang. Puisi pertama ini ditulisnya dengan bahasa yang lugas, hampir-hampir seperti cerita pendek, merangkum kenangan yang mengharu biru pada pagi yang sendu itu. Puisi-puisi selanjutnya mengalir dalam berupa-rupa pengalaman pada masa-masa adaptasinya kembali ke tanah air sambil menyelesaikan studi doktoralnya yang sempat tertunda. Dalam beberapa kesempatan, Hesty sering bepergian seorang diri ke tempat-tempat asing, namun hal itu belum pernah dilakukannya di tanah air sendiri hingga ia kembali ke Indonesia. Ia ingin mengenal diri dan tanah airnya “sekali lagi”, ia ingin mencintai yang asing dari sebermula. Perjalanannya ke Flores dan Kepulauan Komodo di akhir 2015 serta petualangannya ke Gunung Anak Krakatau di awal 2017 menjadi dua dari sekian perjalanan yang mengubah hidupnya. Dari dua perjalanan ini, lahir beberapa puisi yang ia sebut sebagai Indonesia, Rumahku Sekali Lagi.

 

Resensi Buku

Jentera Langit Tenggara adalah kumpulan puisi yang berisi hiruk pikuk dalam kepala Hesty ketika ia mencoba menggenggam kembali asal-usulnya di tengah rasa rindu akan tanah perantauan nun jauh di sana. Puisi-puisi Hesty lalu bercengkerama melalui dialog-dialog abstrak dengan sekumpulan ilustrasi goresan tangan sahabat karibnya, Michael Binuko. Meskipun semua puisi dalam buku ini adalah buah karya Hesty, namun ilustrasi dalam buku ini menempati porsi yang sangat dominan. Maka tak heran, nama Michael Binuko muncul pula sebagai “penulis”, tak seperti buku pada umumnya, ketika ilustrator hanya muncul namanya di halaman identitas buku saja.

 

Penamaan buku ini terinspirasi dari sebuah peristiwa penting dalam kalender astronomi dunia, yakni gerhana matahari total, 9 Maret 2016. Benda-benda angkasa telah lama menjadi sesuatu yang dicintai Hesty. Sering ia menyengaja bepergian ke suatu tempat, hanya untuk menyaksikan matahari terbit atau tenggelam atau kerlip bintang-gemintang di tempat-tempat yang jauh. Salah satu yang paling berkesan adalah matahari terbit yang ia saksikan di Pantai Xghajra, Republik Malta. Dalam buku ini, matahari yang sesaat tertutup bulan pada peristiwa gerhana yang ia potret dari Pantai Tanjung Tinggi itu, “dibungkus” oleh Hesty dalam sebuah miniatur benda asing yang jarang terdengar: Jentera. KBBI menerjemahkannya sebagai barang yang bundar berupa lingkaran, bersumbu, dan dapat berputar. Lalu, ia gabungkan dengan kata Langit dan Tenggara, seperti matahari yang ia saksikan di Desa Waerebo, jantung Nusa Tenggara, Flores. Bukan kebetulan pula, sahabatnya Binuko bercokol di Gedung Seni Rupa yang berada di bagian tenggara kampus Ganesha, almamater mereka.

 

Binuko menjadi orang pertama yang membaca utuh draf 56 puisi ini dan menerjemahkannya dalam ilustrasi-ilustrasi penuh makna. Beberapa dialog antara puisi dan ilustrasi yang dihadirkan dalam buku ini terlihat eksplisit, beberapa lainnya mereka biarkan menjadi implisit. Sebagaimana sastra dan seni, mereka ingin agar karya ini menggugah rasa dalam bentuk apa saja pembaca ingin menerjemahkannya.

 

Kelebihan Buku

Jentera Langit Tenggara mengajak pembaca untuk memaknai kehidupan dengan segala lika-likunya dalam ungkapan puisi dan ilustrasi sarat makna. Karya ini berhasil memotret pengalaman hidup dengan tema-tema sentral yang hampir dialami oleh semua orang, seperti keluarga, sahabat, masa kecil, kampung halaman, mimpi-mimpi, apresiasi pada alam, kritik sosial, renungan/refleksi, serta semangat untuk menjalani setiap peran dari masing-masing kita dalam persinggahan di dunia yang sesungguhnya tak seberapa lama.

 

Kelemahan Buku

Buku ini bukan buku yang “ringan” karena menuntut pembacanya untuk berpikir sedikit mendalam agar bisa menerjemahkan serta mengapresiasinya. Pembaca perlu meluangkan kesempatan untuk menyepi sesaat dalam alam pikiran agar bisa bertualang dalam dialog-dialog abstrak yang disuguhkan.




Tuesday, July 25, 2023

Gerak Gerik Rindu

Lebih dari separuh usiaku kuhabiskan di perantauan, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang lain. Seharusnya, ruang dan waktu yang berganti-ganti itu yang mendominasi alam pikiranku. Tapi, alam mimpiku tetap itu-itu saja, dibekukan waktu dalam rumah masa kecilku nun jauh di Belitung sana, ditambah satu dua episode masa perantauanku di Bochum dulu. Definisiku tentang rindu kampung halaman jadi dua, dua-duanya diawali huruf B. 

Aku masih menerka-nerka apa yang sebenarnya mengikat batin kita akan suatu tempat? Dari sekian banyak kemungkinan, mungkin di antaranya adalah orang tua. Aku teringat pertama kali aku merantau meninggalkan kampung halaman adalah ketika aku lulus SMP dan pindah ke Bangka. Saat itu, aku berangkat lebih dahulu dan tinggal di rumah salah satu pamanku, adik Ibuku. Ayah dan Ibuku baru menyusul pindah ke Bangka beberapa bulan kemudian. Di bulan-bulan awal itu aku merasa kosong, rindu kampung halaman, rindu Ayah dan Ibuku, rindu kucing kesayanganku. Apalagi aku tahu bahwa nanti kami tidak akan kembali ke rumah yang sama lagi. Sakit maagku kambuh lagi. 

Belakangan ini aku sering dilanda perasaan yang sama meskipun sudah lebih dari dua dekade kutinggalkan kampung halaman, atau kurang dari itu jika Bangka tak masuk dalam hitungan. Persoalannya melingkar-lingkar seperti tak berkesudahan, tak pulang rindu, sehabis pulang bertambah rindu. Pulang pun sudah menjelma menjadi berupa-rupa muka: pulang ke Belitung, pulang ke Bandung, pulang ke Bangka, atau bahkan pulang ke Bochum? 

Hari-hari yang kita lalui seperti mimpi saja. Tahu-tahu sudah lewat seminggu, sebulan, setahun. Tahu-tahu sudah tua, tahu-tahu sudah habis jatah usia. Pekan lalu Ayahku mengunjungiku di Bandung. Tiap salat berjamaah ragaku seperti terlempar ke masa puluhan tahun lalu, ketika aku diajari Ayah salat untuk pertama kalinya. Di ruang tamu rumah kami dulu, aku salat di belakang Ayah, menirukan gerakannya satu per satu meskipun belum hafal setiap bacaannya. Setiap selesai salam, waktu itu aku diam-diam sering menggerutu lantaran bacaan doa Ayahku tak pernah singkat. Lain waktu, di ruang yang sama aku menghafal lagu pertama yang akan aku nyanyikan di depan kelas Taman Kanak-Kanak: "Kupu-Kupu yang Lucu". Padahal masuk sekolahnya masih tahun depannya. Malam itu Ibuku menggoreng kue wijen untuk lebaran. Abang tertawa-tawa saja melihat tingkahku. 

Dulu sebelum aku bisa bersepeda, setiap pagi Ayah mengantarku ke sekolah. Pulangnya kadang dijemput Ayah, kadang dijemput Ibu, tergantung siapa yang sempat. Pulangnya aku sering diajak ke pasar ikan. Di pasar inilah aku diajari Ayah mengenal macam-macam ikan. Ketika itu usiaku belum genap 10 tahun. Sejak bangun hingga tidur kembali rasanya tak ada masa yang tak kulewatkan bersama Ayah, Ibu, dan Abangku. Kalau kata Ibuku, di masa-masa itu, kaki mereka jadi kepala, kepala jadi kaki, saking sibuknya mengurus kami sambil bekerja. 

Lalu, puluhan tahun berlalu, kini Ayah dan Ibuku sudah pensiun. Fisik mereka pun sudah tak sekuat dulu. Peran pelan-pelan mulai bertukar. Melihat setiap gerak-gerik mereka sering aku diliputi kekhawatiran, jangan sampai mereka terlambat makan, jangan sampai mereka lelah, jangan sampai mereka kurang tidur, jangan sampai mereka kedinginan dan kepanasan, jangan sampai mereka sakit, jangan sampai mereka kesepian. 

Pernah aku bertanya pada Ibuku, mengapa dulu lampu kamarku tak pernah beliau padamkan ketika aku tidur. Kata beliau, takut ada serangga malam yang menggigitku. Rupanya meskipun sejak kelas 2 SD aku sudah tidur di kamar sendiri, setiap malam beliau rutin menengok kamarku tanpa sepengetahuanku. Lalu, ketika aku sudah bisa bersepeda dan bersikeras tak mau diantar ke sekolah, di keranjang sepedaku tak pernah tertinggal jas hujan yang selalu beliau selipkan. Ayahku lain lagi, setiap aku, Abang atau Ibuku ulang tahun, ada dua menu wajib yang selalu beliau belikan, es putar Babah Pilai dan rujak tahu Bu Mala. Rasa kedua makanan itu masih lekat dalam ingatanku hingga sekarang, perlambang cinta yang sederhana dari beliau. 

Aku teringat dengan salah satu nama Allah, Al Lathif: Yang Maha Halus. Dari kasih sayang yang Allah bagikan di seluruh alam semesta ini, kasih sayang dalam gerak-gerik halus ungkapan cinta orang tua kepada anaknya adalah satu dari perwujudan nama itu. Puluhan tahun kemudian aku baru menyadarinya. 

Episode kehidupan dunia ini penuh teka-teki dan jalan yang berliku-liku. Ujungnya pasti sama, kematian. Ujung yang sekaligus juga sebagai awal mula kehidupan akhirat yang kekal. Siapa yang lebih dahulu mendapat giliran, tak ada yang tahu, bisa jadi anak, bisa jadi orang tua. Namun, kehilangan yang teramat sangat konon dirasakan orang tua yang kehilangan anak, jauh mengalahkan yang sebaliknya karena orang tua mengurus anak dengan harapan yang jauh terbentang dan menyematkan cita-cita hidup anaknya di masa depan. 

Kehidupan yang sesungguhnya tidak di sini, namun di akhirat yang kekal abadi. Semoga Allah mempertemukan dan mengumpulkan kita kembali bersama orang-orang yang kita cintai di JannahNya kelak. Mengutip Surah Yunus ayat 9, tanggal di mana aku dilahirkan: 
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, niscaya diberi petunjuk oleh Tuhan karena keimanannya. Mereka di dalam surga yang penuh kenikmatan, mengalir di bawahnya sungai-sungai." 

Pada titik-titik tertentu, kita hanya dapat berpasrah didera rindu yang seringkali datang tiba-tiba, indah dan tak ada gantinya, namun sekaligus perih tak ada obatnya karena waktu memang tak pernah ada pengulangnya. Hanya di JannahNya yang kekal kelak yang tak akan kita temui lagi segala kesedihan. Yaa Rabbanaa, perkenankanlah kami menjadi penduduknya.

Bandung, Agustus 2022

Sunday, June 20, 2021

Kakek dan Nenek Buyutku Tercinta

Ada dua orang dalam lingkar keluargaku yang kelak sangat ingin aku temui, mereka adalah kakek dan nenek Ibuku atau orang tua dari nenekku dari pihak Ibu. Di Belitung, kami biasa menyebut mereka dengan panggilan Datok (Datuk) Laki dan Datok Bini. Dalam Bahasa Indonesia, biasa kita kenal dengan Kakek dan Nenek Buyut.

Kakek Buyutku sudah meninggal sebelum aku lahir, kalau Nenek Buyutku meninggal waktu aku masih balita. Praktis aku hanya mengenal dua sosok ini dari cerita orang tuaku atau orang-orang di sekitarku yang dulu mengenal mereka semasa hidup. 

Kakek Buyutku dulu berprofesi sebagai guru, orang-orang biasa memanggil beliau Haji Ibrahim/Guru Ibrahim. Sedangkan Nenek Buyutku seorang ibu rumah tangga dengan segudang keterampilan, orang-orang biasa memanggil beliau Nek Haji Mai (Maisarah). 

Kek Ibrahim dan Nek Maisarah ini harum sekali namanya di kalangan keluarga, kaum kerabat, dan handai taulan. Mereka dikenal sebagai pasangan yang cerdas, berpikiran progresif, toleran, dan dermawan. 

Mereka berdua lahir di kampung, jauh dari Kota Tanjungpandan, dan bukan dari lingkar keluarga bangsawan seperti keluarga dari pihak Ayahku. Dengan latar belakang seperti itu, keduanya fasih berbicara dan menulis dalam Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Arab, hal yang sangat langka pada zamannya, apalagi di kalangan rakyat biasa. 

Mereka berdua juga terampil berdagang dan berwirausaha, sekaligus fakih dalam ilmu agama. Pada saat yang sama, mereka berdua juga dikenal sebagai orang-orang berpikiran terbuka, pergaulannya luas tak mengenal sekat. Rumah mereka dulu terbuka untuk semua kalangan dan usia, bebas bagi siapa saja yang ingin belajar, meminta pertolongan, atau sekadar bersilaturahmi. 

Belitung sudah lama menjadi pusaran peradaban dengan percampuran berbagai suku bangsa. Kek Ibrahim dan Nek Mai dulu punya banyak saudara angkat dari berbagai kalangan, tak sedikit pula yang sempat bersyahadat memeluk Agama Islam atas wasilah mereka. 

Anak rantau dari kampung yang ingin bersekolah di Tanjungpandan boleh tinggal di rumah mereka. Perantau dari Madura, Bawean, dan Sulawesi yang cukup banyak jumlahnya di Belitung pun sama, banyak sekali yang jadi saudara angkat mereka. Mereka naungi orang-orang rantau ini dalam masa-masa adaptasi mereka ketika pertama kali sampai di Belitung. 

Orang-orang Tionghoa yang sampai saat ini cukup banyak jumlahnya di Belitung pun sama saja, banyak yang menjadi saudara angkat Kek Ibrahim dan Nek Mai. Aku ingat cerita Ibuku beberapa tahun yang lalu. Ketika itu, sehari sebelum Hari Raya, Ibuku singgah di sebuah toko kelontong tak jauh dari rumah kami untuk membeli kelapa. Nyonya Tionghoa pemilik toko memperhatikan Ibuku seperti penasaran, begitu pun Ibuku. Akhirnya Ibuku bertanya, "Nya, dulu Nyonya pernah tinggal di Jalan Gang Perai, bukan ya?" Sang Nyonya Tionghoa langsung menjawab, "Betul, kamu siapa ya? Dari tadi saya juga penasaran, seperti tak asing wajahnya, tapi saya lupa." Ibuku hanya menjawab singkat saja, "Saya cucu Kek Haji Ibrahim, Nya." Lalu berderet-deretlah cerita Sang Nyonya tentang masa kecilnya di kampung itu. 

Singkat cerita, dulu, Kakek dan Nenek Sang Nyonya Tionghoa ini pernah bertetangga dengan Kakek dan Nenek Buyutku. Lalu, di akhir tahun 50-an dan awal tahun 60-an, Pemerintah Orde Lama memberikan pilihan kepada perantau-perantau Tionghoa di Indonesia yang sebelumnya memiliki kewarganegaraan ganda RRT-Indonesia untuk memilih salah satunya. Kakek dan nenek Sang Nyonya ini akhirnya memilih untuk mempertahankan kewarganegaraan RRT mereka dan pulang ke RRT. Mereka pun bersiap-siap, rumah dan kebun yang mereka usahakan akhirnya mereka jual ke Kek Ibrahim. Lalu, entah apa yang terjadi, keluarga ini batal pulang ke RRT. Rumah dan tanah sudah dijual, praktis mereka tak punya tempat bernaung lagi. 

Kek Ibrahim lalu mengizinkan keluarga Tionghoa ini untuk menempati kembali rumah dan kebun yang sudah mereka jual kepada beliau tanpa membatalkan transaksi jual beli yang sudah terjadi. Singkatnya, mereka boleh tinggal  kembali di sana dan mengusahakan kembali kebunnya sampai kapan pun tanpa perlu membayar sepeser pun ke Kek Ibrahim. 

Kembali ke Sang Nyonya. Ketika itu, sang Nyonya masih remaja, ia ingat dengan jelas semua peristiwa yang tadi diceritakannya kepada Ibuku. Di akhir cerita ia menutup dengan mata berkaca-kaca, "Sampai kapan pun saya tidak akan lupa dengan Kek Ibrahim dan Nek Mai, karena keduanyalah yang telah menolong Kakek dan Nenek saya. Mereka tak pernah pindah dari rumah dan kebun itu sampai akhir hayat mereka."

Lalu aku membayangkan, kalau pada era sekarang Kek Ibrahim dan Nek Mai masih hidup pasti mereka sedih melihat bibit-bibit perpecahan dengan saudara-saudara kita dari kalangan Tionghoa yang sering sekali diembus-embuskan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab. 

Kekagumanku tak habis-habis kepada kedua sosok ini, apalagi Nek Maisarah. Nek Maisarah adalah potret perempuan cerdas, berdaya, dan berpikiran maju. Nek Mai dulu sangat fasih melantunkan syair dan hikayat Melayu yang menceritakan kisah-kisah Nabi dan Rasul, dan tokoh-tokoh besar bangsa Melayu. Kata Ibuku, lantunannya itu tak sembarangan, ada nada dan iramanya, skripnya ditulis dalam Bahasa Melayu dengan huruf Arab gundul. Cucu-cucu beliau biasa menyimak kisah-kisah itu selepas Magrib, berkumpul dalam lingkar nan hangat di ruang tengah rumah beliau. 

Nek Mai juga penyayang binatang, yang paling kuingat dulu waktu aku masih balita, di rumah beliau selalu ada kucing. Beliau juga beternak ayam dan entog. Waktu masih muda, Nek Mai terampil menunggang kuda. Soal kuda ini yang aku paling kagum. Pertama, kuda adalah binatang langka di Belitung, sampai sekarang pun tak banyak jumlahnya. Kedua, Nek Mai ini seorang perempuan, anak kampung pula, dan lahir jauh sebelum Indonesia merdeka. Perempuan pada zamannya, jangankan menunggang kuda ke sana ke mari,  bisa diizinkan ke luar rumah berjalan kaki pun sesuatu yang belum selumrah sekarang.

Lain waktu, Ibuku menuturkan kisah kedua suami istri ini ketika mereka menunaikan ibadah haji. Kapalnya berlayar berbulan-bulan membawa penumpang beserta seluruh kebutuhan mereka selama perjalanan, termasuk ternak. Sejak itu aku paham, mengapa dulu penjajah Belanda sangat berhati-hati dengan orang-orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Orang-orang ini menempuh perjalanan panjang lagi sulit, mereka yang bisa kembali ke tanah air adalah orang-orang terpilih yang telah tertempa. Orang-orang akan dengan mudah mendengarkan kata-kata mereka, mereka punya tempat di hati masyarakat. Sekali Belanda berulah, mereka bisa dengan mudah mengerahkan kekuatan ribuan orang untuk melawan. 

Kek Ibrahim dan Nek Mai dikaruniai 4 orang anak, yang tertua Kek Long Siddiq, kedua Nek Anjang Zaina, ketiga Nek Ute Badi'ah (nenekku), dan yang terakhir Nek Busu Farida. Keempat-empatnya juga sudah tiada. Mereka berempat dulu disekolahkan sampai tingkat Sekolah Menengah Agama oleh orang tuanya. Lalu, Kek Siddiq melanjutkan pendidikannya sampai ke Arab Saudi dan sempat tinggal beberapa tahun di sana, Nek Zaina dan Nenekku sempat berprofesi sebagai pendidik seperti ayahnya, lalu Nek Busu Farida, si Bungsu, sempat disekolahkan ayahnya sampai ke Palembang. Kek Ibrahim dan Nek Mai memilih pindah dari Kota Kecamatan di Kampit Belitung Timur ke Tanjungpandan, agar anak-anaknya bisa sekolah, hal yang sangat langka dilakukan orang-orang pada zamannya. Keduanya sudah menyadari pentingnya pendidikan, di saat orang-orang kebanyakan tak ambil peduli. Kalau soal ini, sampai sekarang pun di kampung-kampung di Belitung, hal ini masih menjadi PR besar untuk pemerintah dan masyarakat. 

Masih banyak kisah-kisah harum Kek Ibrahim dan Nek Mai yang sering kudengar, bahkan dari orang-orang di luar lingkar keluarga kami. Sampai sekarang aku masih sangat penasaran, bagaimana mereka bisa tumbuh menjadi orang-orang seperti itu pada zamannya, bagaimana pula dengan orang tua mereka. 

Hari ini aku teringat dan ingin sekali bercerita tentang Kek Ibrahim dan Nek Mai lantaran tadi pagi aku bercerita kepada Ayahku tentang kain kafan untukku sendiri yang sudah kusiapkan. Kata Ayahku, Nek Mai dulu selangkah lebih siap secara teknis dari persiapanku. Beliau bahkan sudah menyiapkan nisan yang bertuliskan namanya sendiri jauh sebelum hari kematiannya tiba. 

Seorang sahabat pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling cerdas?" Rasulullah SAW menjawab, "Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian, itulah orang yang paling cerdas." 

Semoga kita semua termasuk dalam golongan orang-orang yang dimaksud oleh Rasulullah SAW dalam hadits ini. 

Aku terdiam mendengarkan kisah dari Ayahku tadi. Dua sosok ini, Kek Ibrahim dan Nek Mai adalah pendahuluku, yang melalui jalan mereka aku hadir di dunia ini. Mereka tak sekolah sampai ke pelosok dunia untuk menghayati setiap butir ilmu yang mereka terima dari guru-guru dan orang tua mereka. Mereka adalah bukti nyata dari penghayatan ilmu yang bermanfaat dalam wujud yang sebenar-benarnya, ilmu yang tak hanya menempel dalam ingatan, tapi diwujudkan dalam praktik kehidupan untuk kebermanfaatan hidup yang seluas-luasnya. 

Kisah hidup mereka ini kutulis bukan dengan maksud berbangga-bangga akan nasab dan keturunan, namun untuk memetik sebanyak-banyaknya hikmah dan teladan dari mereka yang telah tiada, utamanya pula untuk diriku sendiri. Kalau rindu bisa didefinisikan dengan kata-kata, kisah ini adalah surat rinduku untuk mereka, Kakek dan Nenek Buyutku tercinta. Semoga Allah merahmati mereka. 

Bandung, 20 Juni 2021

Monday, April 12, 2021

Musim Vaksin COVID-19 - Yuk Mengenal Jarum Suntik!

Jarum suntik atau jarum hypodermic adalah salah satu alat yang paling banyak digunakan dalam dunia kesehatan. Kebutuhannya semakin meningkat dari waktu ke waktu.

Dengan ditemukannya vaksin COVID-19, barang ini kian akrab menyapa kita sehari-hari. Jika 70% persen saja dari seluruh penduduk dunia harus divaksin untuk mencapai herd immunity, artinya setidaknya dibutuhkan hampir 11 miliar jarum suntik untuk kebutuhan penyuntikan vaksin COVID-19. Angka ini belum termasuk kebutuhan di luar itu.

Ilustrasi penyuntikan vaksin COVID-19. (Senior Enlisted Advisor to the Chairman (SEAC) Ramon "CZ" Colon-Lopez receives a COVID-19 vaccine at Walter Reed National Military Medical Center, Bethesda, Md., Dec. 21, 2020. (DOD Photo by Navy Petty Officer 1st Class Carlos M. Vazquez II. Wikipedia).

Istilah hypodermic berasal dari kata hypo yang berarti di bawah, dan dermic yang berarti kulit. Jarum suntik dinamakan dengan istilah ini karena digunakan untuk melakukan prosedur penyuntikan sampai ke area di bawah kulit. 

Untuk tujuan penyuntikan atau pengambilan sampel jaringan dari dalam tubuh, jarum hypodermic terbuat dari bahan logam berbentuk tabung berongga dengan ujung (tip) yang sangat tajam dan biasanya digunakan bersamaan dengan syringe yang berfungsi untuk menampung cairan.

Sejarah Jarum Hypodermic

Sejarah mencatat bahwa jarum hypodermic pertama kali digunakan oleh Christopher Wren, seorang arsitek Inggris, pada 1656 untuk menyuntikkan obat ke pembuluh darah vena pada anjing. Setelahnya, beberapa ilmuwan sempat melakukan percobaan penyuntikan serupa pada manusia namun belum membuahkan hasil yang memuaskan. Sampai akhirnya, pada 1844, penyuntikan dengan jarum hypodermic berhasil dilakukan pertama kalinya pada manusia oleh seorang dokter Irlandia bernama Francis Rynd. 

Bagian-bagian Jarum Hypodermic

Berdasarkan ISO 7864 2016 (Sterile Hypodermic Needle for Single Use Requirements and Test Methods), jarum hypodermic terdiri bagian-bagian utama yaitu hub, penghubung (jointing medium), batang jarum, stylet dan penutup jarum (cap). Bagian hub, penghubung dan cap biasanya terbuat dari bahan plastik, sedangkan batang jarum dan stylet terbuat dari bahan logam. 

Tiga bagian utama batang jarum spinal (a) stylet, (b) batang jarum berongga, (c) stylet + batang jarum berongga. (Dokumen pribadi, Hesty Susanti).

Untuk jarum dengan diameter di atas 0,05 inchi, terutama jarum spinal (untuk penyuntikan di area tulang belakang) biasanya terdapat bagian batang tambahan yang disebut stylet, yaitu berupa silinder pejal (tidak berongga) yang memiliki diameter sama dengan diameter dalam dari bagian batang jarum yang berongga. Bagian ini dimasukkan ke dalam rongga batang jarum dengan tujuan untuk memperkokoh batang jarum sehingga tidak mudah bengkok atau patah ketika ditusukkan ke dalam bagian tubuh.

Bentuk ujung jarum hypodermic dikenal dengan istilah bevel. Bevel standar yang paling umum berbentuk irisan miring pada bagian ujung jarum, misalnya pada jenis Quincke. Bentuk bevel dengan variasi berbeda biasanya terdapat pada jarum spinal, di mana dikenal bevel berbentuk Tuohy (ujung sedikit melengkung) atau variasi lain dengan lubang tidak pada bagian paling ujung jarum, yaitu jenis Pencan, Sprotte, dan Whitacre.

Material Jarum Hypodermic

Jarum hypodermic terbuat dari bahan logam. Material yang paling banyak digunakan, yaitu baja stainless seri 300 atau 400, nikel (inconel), titanium, atau campuran nikel dan titanium (nitinol). Bahan-bahan ini dipilih karena memiliki sifat anti karat, kokoh, fleksibel dan tidak mudah patah. 

Material dasar ini biasanya dilapisi lagi dengan bahan tertentu untuk meningkatkan kehalusan permukaan agar lebih mudah ketika disuntikkan ke tubuh kita. Untuk kebutuhan tertentu, pelapisan dengan material tambahan dilakukan dengan tujuan agar jarum lebih mudah terlihat ketika penusukannya dilakukan dengan bantuan ultrasonografi (USG).

Ukuran Jarum Hypodermic

Ukuran jarum hypodermic mengacu kepada ukuran gauge (G) yang menunjukkan ukuran diameter dalam dan diameter luar tabung. Standar gauge (G) yang paling umum digunakan adalah Birmingham Gauge yang membagi ukuran diameter kawat logam dari ukuran 5/0G hingga 36G. Semakin besar angka G, maka semakin kecil diameter jarumnya.

Ukuran Birmingham Gauge yang digunakan khusus untuk jarum hypodermic kemudian dilengkapi pula dengan standar ukuran diameter dalam, ketebalan dinding tabung jarum, serta kode warna pada bagian penghubung antara jarum dan syringe (Luer connector) untuk memudahkan penggunaannya. 

Jarum hypodermic dengan berbagai ukuran. (6 hypodermic needles on luer connectors; from top to bottom by Birmingham gauge:Terumo 26G x 1/2" (0.45 x 12mm) (brown)Terumo 25G x 5/8" (0.5 x 16mm) (orange)Becton Dickinson 22G x 1 1/4" (0.7 x 30mm) (black)Becton Dickinson 21G x 1 1/2" (0.8 x 40mm) (green)Becton Dickinson 20G x 1 1/2" (0.9 x 40mm) (yellow)Terumo 19G x 1 1/2" (1.1 x 40mm) (white). Zephyris. Wikipedia).

Selain ukuran diameternya, jarum hypodermic juga dibagi-bagi dalam ukuran panjang sesuai dengan kebutuhannya, mulai dari panjang 0,5 inchi sampai 7 inchi. Jarum-jarum dengan ukuran di atas 3,5 inchi biasanya digunakan untuk penyuntikan di area tulang belakang (spinal) atau area abdominal (perut).

Ketajaman Jarum Hypodermic

Jarum hypodermic harus dibuat dengan standar ketajaman tertentu untuk meminimalkan rasa sakit atau trauma ketika disuntikkan ke tubuh kita. Untuk menguji ketajaman jarum hypodermic digunakan beberapa metode, antara lain pencitraan dengan mikroskop atau uji gaya (force). 

Salah satu metode mutakhir yang mulai banyak digunakan saat ini adalah mikroskop elektron (scanning electron microscopy/SEM) untuk mencitrakan bagian ujung (tip) jarum sampai skala nano meter (seper semiliar meter). Jika diameter sel kulit manusia sekitar 30 mikrometer (seper sejuta meter), maka lebar bagian ujung jarum hypodermic (tip) tidak boleh lebih dari 30 mikrometer. 

Bagian ujung jarum (tip) diperbesar dengan scanning electron microscopy/SEM. (Sharpness of Hypodermic Needles. Application Note. EM Analytical Ltd., United Kingdom. http://www.emanalytical.co.uk/wp-content/uploads/2019/09/Needle-application-note.pdf).

Metode lain untuk menguji ketajaman jarum dilakukan dengan menghitung gaya (force) ketika jarum disuntikkan ke tubuh, yaitu berupa gaya penetrasi/tembus (penetration force) dan gaya luncur (sliding force). Dalam pengujian, digunakan bahan polyurethane sebagai tiruan jaringan kulit dan otot manusia. 

Sampel jarum hypodermic yang diuji akan ditusukkan ke bahan polyurethane dengan kecepatan penusukan tetap, kemudian gaya (force) dihitung sebagai fungsi dari kedalaman menggunakan alat pengukur berupa load cell. Gaya penetrasi merupakan gaya maksimal yang dibutuhkan oleh jarum untuk menembus bahan, sedangkan gaya luncur adalah gaya rata-rata gesekan jarum yang dihitung senilai 80% dari kedalaman yang dicapai jarum. 

Penanganan Limbah Jarum Suntik

Jarum suntik merupakan alat kesehatan yang penggunaannya hanya sekali pakai untuk menghindari kontaminasi yang dapat menyebabkan infeksi dan penularan penyakit. Oleh karena itu, pasca penggunaannya membutuhkan penanganan khusus. 

Berdasarkan panduan yang dikeluarkan oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat, limbah jarum suntik harus dimasukkan ke wadah khusus jarum suntik bekas segera setelah digunakan. Wadah ini harus diletakkan pada tempat yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak maupun binatang peliharaan dan hanya boleh diisi maksimal sampai ¾ kapasitas penuhnya.

Seperti jarum suntiknya itu sendiri, wadah khusus untuk membuang jarum suntik bekas ini juga hanya digunakan untuk sekali pakai. Wadah ini harus dikumpulkan ke area khusus, terpisah dari limbah-limbah kesehatan jenis lainnya untuk dikirimkan ke fasilitas penanganan limbah khusus jarum suntik. 

Cara paling umum untuk menangani limbah jarum suntik adalah melalui metode insinerasi (incineration) atau pembakaran. Meskipun metode insinerasi dapat memusnahkan limbah jarum suntik, namun hasil pembakarannya dapat menimbulkan zat-zat (biasanya berupa gas) berbahaya yang memerlukan penanganan khusus sebelum dibuang ke lingkungan.

Para ahli kemudian mengembangkan cara-cara lain yang lebih praktis dan ramah lingkungan yakni menggunakan mesin penghancur yang dilengkapi sekaligus dengan mesin sterilisasi. Dengan cara ini, logam dan bahan lain dari jarum suntik dapat dipisahkan dan didaur ulang kembali sebagai bahan mentah untuk membuat barang baru.

Takut Jarum Suntik?

Jika Anda takut disuntik, Anda tidak sendirian. Secara statistik, 22% orang dewasa mengalami ketakutan ini. Rasa takut akan jarum suntik dikenal dengan needle phobia atau aichmophobia. Menurut penelitian oleh Dr. James G. Hamilton, needle phobia kemungkinan besar bersifat genetik yang akarnya bisa ditelusuri dari sejarah evolusi manusia. 

Selama ribuan tahun yang lalu, manusia menghindari benda tajam sebagai bagian dari insting untuk bertahan hidup dengan cara menghindar dari kemungkinan bahaya. Tingkat keparahannya bisa bervariasi, dari mulai denyut jantung dan tekanan darah yang meningkat atau menurun, hingga kehilangan kesadaran (pingsan).

Jarum suntik dan syringe diproduksi dalam jumlah miliaran setiap tahunnya di seluruh dunia. Alat kesehatan yang tergolong sederhana ini telah membantu para tenaga kesehatan dalam menyelamatkan banyak pasien selama hampir dua abad terakhir. 

Perkembangannya telah mewarnai perjalanan panjang kehidupan manusia sampai kepada era sekarang ketika kita semua menghadapi pandemi COVID-19. Dengan pencapaian ini, tak berlebihan rasanya jika jarum suntik bisa disebut sebagai salah satu penemuan terhebat dalam sejarah peradaban umat manusia.

Referensi

1.Kucklick, T.R. The Medical Device R&D Handbook. CRC Press, 2013.

2.Sharpness of Hypodermic Needles. Application Note. EM Analytical Ltd., United Kingdom. http://www.emanalytical.co.uk/wp-content/uploads/2019/09/Needle-application-note.pdf

3.Leonardi, L., Vigano, M., and Nicolucci, A. Penetration Force and Cannula Sliding Profiles of Different Pen Needles: the PICASSO Study. Medical Devices: Evidence and Research. 2019, 12: 311-317.

4.Majcher, K., et al. Assessing the Sharpness of Hypodermic Needles after Repeated Use. Canadian Veterinary Journal. 2018, 59: 1112-1114.

5.Pereira, I.B., et al. Ultra-structural Evaluation of Needles and Their Role for Comfort during Subcutaneous Drug Administration. Journal of School of Nursing University of Sao Paulo. 2018, 52: e03307.

6.Craig, R. A History of Syringes and Needles. Faculty of Medicine, The University of Queenslans, Australia. 2018. https://medicine.uq.edu.au/blog/2018/12/history-syringes-and-needles

7.Best Way to Get Rid of Used Needles and Other Sharps. US Food and Drug Administration. 2021. https://www.fda.gov/medical-devices/safely-using-sharps-needles-and-syringes-home-work-and-travel/best-way-get-rid-used-needles-and-other-sharps

8.Dialysis Needle Sharpness Testing for Patient Comfort. News Medical Life Sciences. 2018. https://www.news-medical.net/whitepaper/20171018/Dialysis-Needle-Sharpness-Testing-for-Patient-Comfort.aspx

9.Birmingham Wire Gauge. The Engineering ToolBox. https://www.engineeringtoolbox.com/BWG-wire-gage-d_508.html

10.Sharps Waste Disposal: A How-to Guide. Cellitron. 2019. https://celitron.com/en/blog/sharps-waste-disposal


Artikel ini pertama kali terbit di Kumparan:

Musim Vaksin COVID-19 - Yuk Berkenalan dengan Jarum Suntik!


Friday, April 09, 2021

Gelombang Ultrasonik untuk Deteksi Dini Kerusakan Rel Kereta Api

Kereta api telah lama menjadi moda transportasi massal yang menjadi andalan masyarakat. Di Indonesia sendiri, jalur rel kereta api telah ada sejak tahun 1867 ketika Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM), perusahaan kereta api Hindia Belanda, membangun jalur kereta api untuk mengangkut hasil bumi ke pelabuhan kolonial Belanda. Sebagian jalur kereta tersebut masih digunakan sampai sekarang. Hingga tahun 2010, panjang rel kereta api yang beroperasi di Pulau Jawa dan Sumatera mencapai 4.678 km.

Kereta pada masa kolonial Belanda. (A Dutch East Indian Railway Company steam train crosses a railway bridge over the Code River. Wikipedia).

Kebijakan Rencana Strategis Perkeretaapian Indonesia tahun 2015-2019 menargetkan percepatan proyek pembangunan jalur kereta api di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dengan kebijakan ini, pemerintah berencana menjadikan kereta api sebagai salah satu moda transportasi massal utama di masa mendatang. Beberapa contoh proyek yang telah berjalan, yaitu pengembangan jalur ganda di wilayah utara Jawa, pengembangan kereta cepat Jakarta-Bandung, dan proyek Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta, serta Light Rail Transit (LRT) Jakarta dan Palembang.

Rel sebagai Bagian Penting Keselamatan Moda Transportasi Kereta Api

Berdasarkan data investigasi kecelakaan perkeretaapian tahun 2010-2016 yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), 68% kecelakaan kereta api disebabkan oleh anjlokan atau tergulingnya kereta api, di mana 41% penyebabnya adalah masalah prasarana.

Penyebab paling umum terjadinya anjlokan, antara lain kegagalan pada komponen rel, seperti rel rusak, rel terlepas, atau terjadi pergeseran rel. Hal ini mengindikasikan bahwa pemeliharaan kondisi rel sebagai prasarana utama adalah bagian penting yang harus menjadi perhatian untuk meningkatkan keselamatan transportasi kereta api.

Ilustrasi kerusakan pada badan rel. (A damaged piece of rail on a line belonging to Union Pacific going through Santa Cruz. Grendelkhan. Wikipedia).

Kerusakan rel kereta dapat disebabkan antara lain, karena korosi (karat), paparan cuaca dan suhu dari lingkungan, serta tekanan dan gesekan terus menerus yang dialami baja rel akibat beban kereta yang melewatinya sehingga dapat menimbulkan keausan dan cacat berupa retakan atau bahkan patahan, baik pada permukaan maupun bagian dalam badan rel.

Inspeksi atau Pemeriksaan Kondisi Rel

Inspeksi atau pemeriksaan rutin terhadap kondisi rel merupakan prosedur wajib untuk pemeliharaan rel. Saat ini di Indonesia, standar dan tata cara inspeksi rel kereta api mengacu kepada Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 32 tahun 2011, baik dalam skala harian, bulanan, dan tahunan.

Inspeksi dilakukan secara langsung (visual) menggunakan lori inspeksi untuk memastikan jalur rel kereta senantiasa bebas rintangan/benda penghalang, serta memastikan sambungan rel (baut) dan sistem penambat tetap dalam kondisi baik. Kementerian Perhubungan RI saat ini juga memiliki kereta inspeksi yang memanfaatkan teknologi laser untuk mengevaluasi keausan pada permukaan rel.

Pemeriksaan rel dengan metode langsung (visual) memiliki kelemahan karena cukup memakan waktu, subjektif, dan sangat bergantung kepada keterampilan dan pengalaman petugas, sehingga akurasi hasil pemeriksaan bisa menjadi kurang andal, apalagi untuk kerusakan yang terjadi pada bagian dalam badan rel yang tidak dapat diamati secara langsung.

Karena kekurangan ini, para peneliti di seluruh dunia mengembangkan cara-cara lain untuk menginspeksi kondisi rel kereta dengan lebih baik. Sebagian besar cara-cara ini dilakukan dengan metode uji tak merusak (UTM) (non-destructive testing/NDT), antara lain dengan metode radiography (x-rays), ultrasonik, Eddy currents, kebocoran flux magnetik (magnetic flux leakage), dan laser.

Metode Uji Tak Merusak (UTM) Ultrasonik

Di antara metode uji tak merusak (UTM) yang paling umum digunakan untuk menginspeksi kondisi rel kereta di seluruh dunia adalah metode UTM ultrasonik. Gelombang ultrasonik dihasilkan ketika terjadi getaran atau vibrasi dengan frekuensi atau tingkat kekerapan yang sangat tinggi, gelombang bunyi yang melebihi ambang batas pendengaran manusia, yakni di atas 20 kiloHertz (20 ribu getaran per detik). Rentang frekuensi gelombang ultrasonik yang biasa dimanfaatkan untuk inspeksi rel kereta berkisar antara 50 kiloHertz – 10 MegaHertz (10 juta getaran per detik).

Metode ultrasonik dipilih karena berbagai kelebihan, antara lain gelombang ultrasonik memiliki sifat dapat melewati bahan dengan sensitivitas tinggi terhadap perubahan kerapatan udara dan logam. Selain itu, karena memiliki frekuensi yang sangat tinggi, gelombang ultrasonik dapat dipantulkan oleh permukaan yang sangat kecil. Dengan kedua sifat ini, gelombang ultrasonik dapat mendeteksi kerusakan, deformasi, atau keretakan yang sangat halus, baik pada permukaan mapun bagian dalam badan rel (struktur internalnya).

Secara umum, terdapat 2 konfigurasi paling umum dari metode UTM ultrasonik untuk inspeksi rel kereta, yaitu metode pulse-echo dan time-of-flight. Pada metode pulse-echo, hanya digunakan satu buah transduser yang berfungsi sebagai pengirim/pemancar sekaligus penerima gelombang ultrasonik. Sedangkan pada metode time-of-flight digunakan 2 buah transduser, satu berfungsi sebagai pengirim/pemancar gelombang ultrasonik ke rel, ditambah satu lagi sebagai penerima gelombang ultrasonik dari rel.

Metode pengukuran pulse-echo (a) dan time-of-flight (b). (Suprijanto dkk, dokumen pribadi).

Untuk mengetahui besar dan kedalaman cacat pada struktur internal badan rel, maka dilakukan analisis pada sinyal pantulan gelombang ultrasonik yang teramati pada layar pengamat (osiloskop). Selanjutnya, sinyal yang terekam dari osiloskop dapat diproses lebih lanjut di komputer.

Apabila terdapat cacat pada bagian dalam badan rel, maka gelombang ultrasonik akan dipantulkan kembali oleh bagian cacat (flaw) tersebut karena adanya perubahan kerapatan bahan dan udara di dalam rel, dengan waktu tempuh yang lebih cepat jika dibandingkan pantulan dari dinding belakang badan rel (backwall).

Pemeriksaan cacat (flaw) pada sampel badan rel dengan metode ultrasonik. (Sinta, Tesis Magister Instrumentasi dan Kontrol, ITB, 2019).

Sederhananya seperti ini. Misalnya diketahui:

·  Kecepatan rambat gelombang ultrasonik pada bahan rel (baja), c = 5.920 meter/detik.

·   Tinggi rel tipe R-54, L = 159 milimeter (seper seribu meter).

·  Maka, pantulan gelombang ultrasonik dari rel normal (tanpa cacat) akan tiba kembali di transduser dalam waktu t = (2 × L) dibagi c = (2 × 159 milimeter) dibagi 5.920 meter/detik = 53,7 mikrodetik (sepersejuta detik).

Jika terdapat cacat pada rel, maka pantulan gelombang ultrasonik yang akan diterima kembali oleh transduser menjadi lebih cepat, yakni kurang dari 53,7 mikrodetik. Dengan hasil ini, maka dapat diketahui kedalaman cacat dengan cara berikut:

s = (c × t) dibagi 2

Dengan s adalah kedalaman cacat, c adalah kecepatan rambat gelombang ultrasonik pada bahan rel (baja), dan t adalah waktu tempuh gelombang.

Penentuan kedalaman cacat (flaw) pada sampel badan rel dengan metode ultrasonik. (Sinta, Tesis Magister Instrumentasi dan Kontrol, ITB, 2019).

Perkembangan dan Tantangan ke Depan

Tantangan selanjutnya adalah mengembangkan sistem pengukuran yang dapat dioperasikan dengan lebih cepat misalnya dengan cara mengintegrasikan/menyatukan perangkat uji ultrasonik ini pada kereta atau lori inspeksi yang dapat dilewatkan pada rel yang ingin diperiksa dengan kecepatan relatif tinggi jika dibandingkan dengan pemeriksaan manual. Pada perkembangan selanjutnya, dapat ditambahkan sistem pengirim data jarak jauh, sehingga data pengukuran dari lapangan dapat diamati langsung oleh petugas di stasiun pemeriksa tanpa harus berada langsung di lapangan.

Dengan metode yang relatif sederhana ini, diharapkan kerusakan/cacat sekecil dan sedini mungkin pada rel kereta dapat dideteksi dengan baik sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan. Di Indonesia sendiri, metode ultrasonik ini sudah banyak dikenal di lingkungan perkeretaapian. Namun, dalam penerapannya di lapangan masih terkendala oleh masalah teknis operasional, kurangnya tenaga ahli, serta penyediaan perangkat pengujian yang masih bergantung kepada luar negeri. Untuk itu diperlukan keseriusan tidak hanya dari pihak pemerintah saja, namun dari semua pengampu kebijakan terkait, termasuk dukungan bagi para peneliti di dalam negeri.

Ilustrasi kereta melintas pada jalur rel yang melewati pegunungan. (Shatrishche Hill and ChS4T locomotive, Voronezh Oblast, Russia. Алексей Задонский. Wikipedia).

Lain waktu ketika Anda bepergian dengan kereta api, ingatlah bahwa banyak tangan-tangan tak terlihat yang bekerja bahu-membahu dibalik nyamannya Anda sebagai penumpang yang duduk di dalam gerbong kereta. Para petugas yang bekerja secara rutin memeriksa kondisi rel kereta untuk memastikan keselamatan perjalanan Anda adalah satu dari sekian banyak tangan-tangan tersebut, para pahlawan tanpa nama yang sering kali tak terdeteksi dalam radar kehidupan kita.

Referensi

1.Brook, M.V. (2012): Ultrasonic Inspection Technology Development and Search Unit Design – Examples of Practical Application. IEEE Press, John Wiley & Sons Inc.

2.Sinta. (2019): Pengembangan Sistem Uji Tak Merusak Ultrasonik Multi-frekuensi dengan Metode Pantulan Pulsa untuk Inspeksi Cacat Internal pada Rel Kereta Api dan Simulasi 3D dengan Metode K-Space Pseudospectral. Tesis Magister Instrumentasi dan Kontrol, Institut Teknologi Bandung.

3.Kabir, S., Alsulami, B. (2015): Assessment and Monitoring for Railway Tracks Reliability and Safety using Nondestructive Testing Measurement Systems. International Journal of Railway Research, 2(2): 24-32.

4.Vipparthy, S.T., et al.  (2015): Inspection of Rails using Interface of Ultrasonic Testing. International Journal Mechanical Engineering and Robotics Research, 4(1): 176-184.

5.Cannon, D.F. et al. (2003): Rail Defects: An Overview. Fatigue Fract Eng Mater Struct, 26: 865-887.


Artikel ini pertama kali terbit di Kumparan:

Gelombang Ultrasonik untuk Deteksi Dini Kerusakan Rel Kereta Api