Monday, November 03, 2008

Laskar Pelangi, Aku Pulang! [1]

Pada liburan Idul Fitri tahun ini, aku akan sejenak memindahkan channel kehidupanku dari rutinitas yang padat di Bandung menjadi sebuah perjalanan indah meretas kembali jejak-jejak masa kecilku. Masa kecilku yang paling indah di sebuah pulau kecil yang sangat aku sayangi. Sejuta rindu kubawa untuk orang-orang tercinta dan hawa pesisir yang menghangatkan jiwa.

Aku Masih di Pulau Jawa

Aku akan menempuh perjalanan darat yang tak begitu lama dari Bandung ke Jakarta. Hampir tak ada pemandangan menarik yang bisa kulihat selain rambu dan penanda kilometer dalam hitungan mundur. Atau sesekali terlihat sawah dan perkebunan teh. Pejalanan hampir 3 jam ini akan sangat membosankan bagi sebagian orang. Tapi, sejak kecil ada perasaan istimewa yang muncul dalam benakku bila melihat bangunan tinggi, jalan layang atau jembatan. Aku mengagumi konstruksi-konstruksi simetris yang begitu kokoh dari beton bertulang ini. Dalam pikiran kecilku, terlihat begitu “teknik”. Hesty kecil ketika itu bercita-cita menjadi seorang insinyur.

Walaupun kini bidang yang kutekuni bukan teknik sipil, namun bayangan masa kecilku itu secara tak langsung telah membimbingku untuk mendedikasikan diri di bidang engineering. Kini aku menemukan diriku terbenam dalam dunia fisika teknik, bidang kekhususan instrumentasi medik.

Memasuki kota Jakarta, kulihat beberapa baliho Laskar Pelangi. Oh, kampong halamanku! Kini kau jadi perhatian banyak orang. Masih kuingat dulu waktu pertama kali aku menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Banyak yang tak tahu dimana Pulau Belitung (aku lebih senang menyebutnya Belitong, ah…terdengar lebih indah di telinga kami sebagai orang Melayu). “Oh, di Sulawesi ya?” atau “Dekat Riau kan ?” atau “Rangkas Bitung maksudnya?”. Begitulah reaksi orang-orang yang baru kukenal.

Namun, sedikit harus kuceritakan rasa heranku pada orang-orang kota ini. Apakah pengetahuan geografi mereka begitu rendah? Kuingat dulu, sejak SD aku hafal pulau-pulau kecil di Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi atau kota-kota kecil di pulau-puau besar Nusantara.

Kalau masih tak paham, mari kuceritakan sekilas mengenai Pulau Belitong. Bukan dari ikon-ikon yang mengangkat namanya seperti timah, Laskar Pelangi, DN Aidit, Andrea Hirata, Yusril Ihza Mahendra atau nama-nama yang lain. Namun dari letak geografisnya.

Pulau Belitong dibatasi oleh Laut Cina Selatan di sebelah Utara, Laut Jawa di sebelah Selatan, Selat Karimata di sebelah Timur dan Selat Gaspar di sebelah Barat. Sedikit ke arah Barat membujur dari Barat Laut ke Tenggara terdapat Pulau Bangka yang lebih besar. Jadi Belitong dan Bangka adalah pulau yang terpisah. Dulu kedua pulau ini merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Selatan, namun sekarang telah memisahkan diri menjadi Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Propinsi pertama di Indonesia yang mencantumkan nama “Kepulauan”.

Kepulauan Bangka Belitong terpisah jauh dari Kepulauan Riau seperti terpisahnya Kepulauan Raja Ampat dari Halmahera. Dibutuhkan beberapa jam perjalanan laut. Namun, akses dari Pulau Jawa ke Belitong sangat mudah. Hanya butuh 45 menit penerbangan dari Jakarta. Jadi, kami tak seterpencil yang orang kira.

Ada cerita menarik tentang keterpencilan ini. Dulu aku sempat tertawa dalam hati ketika seorang temanku yang berasal dari Jawa bertanya: “Di Belitung katanya belum ada listrik ya? Cuman siang aja?”. Hahaha…asal kalian tahu, instalasi listrik yang diklaim Belanda terbesar se-Asia Tenggara ketika itu telah dibangun penjajah pada masa pra kemerdekaan. Jauh sebelum Nusantara bisa menikmati listrik dari PLN seperti sekarang ini. Sampai disini, sudah paham dimana letak pulau kelahiranku? Kalau belum, rajin-rajinlah membuka peta! Atau tak kan kuceritakan perjalananku selama di sana.

Tak terasa, sampailah bis yang kutumpangi di Bandara Soekarno-Hatta. Suasana begitu ramai dan sibuk, arus mudik sedang mencapai puncaknya. 45 menit perjalanan yang singkat dari Jakarta ke Belitong. Tak ada yang istimewa, selain gerombolan kecil yang menarik perhatian penumpang lain, bocah-bocah Laskar Pelangi!

Bandung, 3 November 2008

Tuesday, June 10, 2008

Layang-layang Rindu

Matahari bersinar sepanjang hari, terang benderang sampai senja tiba. Rumput-rumput mulai menguning menyisakan tandus tanah berdebu. Gerah, kering dan gersang. Angin akan menerbangkan debu-debu yang akan menempel pada jendela-jendela kaca. Musim kemarau telah tiba.

Dulu, waktu aku masih kecil, musim masih teratur. April sampai September adalah bulan-bulan kerontang itu. Tapi ada hal lain yang menyenangkan. Akan ada lukisan taburan kertas warna-warni di langit yang biru cemerlang. Mengajak angan-angan kecilku untuk terbang tinggi, setinggi nasib yang telah diatur oleh Allah akan membawaku nanti.

Hari masih pagi ketika Abangku membeli lembaran-lembaran kertas minyak, lem perekat dan benang ukuran agak besar. Kalau bilah-bilah bambu tak perlu membeli. Ada rumpun bambu milik Pak Wahid di tepi lapangan volley kampung kami. Hari ini kami akan membuat layang-layang ukuran besar. Bilah-bilah bambu tadi akan dijadikan rangkanya. Layang-layang kami akan terbang gagah, merah pula warnanya.

Saat layangan berekor itu mulai terangkat, kami berharap-harap cemas ia akan mampu terbang tinggi. Karena ukurannya besar, tentunya tak semudah menerbangkan layang-layang biasa. Akhirnya ia mulai terbang, semakin diulur benangnya, semakin tinggi pula ia melambung. Terus melambung dan tampak semakin kecil.

Kini ia bisa bercengkrama dengan layang-layang lain, terbang tinggi tak peduli. Menari-nari di ketinggian, tak goyah dihembus angin seakan mengajakku untuk menyaksikan pemandangan menakjubkan di atas sana. Pasti rumah kami hanya tampak seperti kotak kecil dan aku mungkin sudah tak tampak lagi. Kiranya ia bisa memandang sampai ke tepian pulau, menyaksikan drama kehidupan penduduk di sepanjang pesisir barat Pulau Belitong. Pulau kecilku yang kini bau karat, tua dan tampak terluka. Sampai kemana nasib akan membawaku nanti? Tak pernah berkurang rasa rinduku pada pulau kelahiranku.

Bandung, 7 Juni 2008

Guruku

Seminggu yang lalu adalah hari-hari yang cukup melelahkan bagiku. Jumat pagi listrik tak menyala sampai sore tiba. Kampusku seperti kota mati Chernobyl yang ditinggal mengungsi oleh penduduknya. Sebegitu tergantungnya kita pada listrik, salah satu nikmat Allah yang sering terlupakan jika senantiasa menyala.

Aku pulang dengan lesu. Alhamdulillah listrik di kos-kosan tidak ikut padam. Malamnya aku tidur sangat larut, pelampiasan tak bisa mengerjakan apa-apa di siang harinya. Aku tak mau revisi terakhir laporan TA-ku terlambat.

Sudah seminggu Ibu Fatimah, guru SD-ku berkunjung ke Bandung. Telah seminggu pula aku tak sempat mengunjungi beliau. Besok Bu Fat sudah harus pulang. Tak ada waktu lagi, malam ini aku harus mengunjunginya. Ba’da magrib, aku berangkat ke rumah kerabat Bu Fat yang kebetulan adalah temanku, di Jalan Dipati Ukur. Tanganku dingin seperti akan menerima kertas ujian SPMB. Begitu rupanya reaksi tubuhku jika sudah sedemikian rindu.

Ketika aku sampai, Bu Fatimah sedang berkemas-kemas untuk persiapan pulang dini hari nanti. Beliau akan menumpang pesawat pukul 08.00 dari Bandara Soekarno-Hatta, maka pukul 01.00 Bu Fat sudah harus berangkat dari Bandung. Tak terasa sudah 10 tahun aku tak bertemu dengan Bu Fatimah. Beliau tampak lebih tua dari semenjak terakhir kami berjumpa. Namun, suara dan senyumnya tak lekang dimakan waktu. Garis-garis wajahnya menyiratkan jiwanya yang kukuh, tak lelah membagi ilmu kepada murid-muridnya. Kucium tangan Bu Fat yang kini mulai berkerut. Tak kusangka, bau minyak wangi beliau masih sama seperti dulu.

Ibu Fatimah adalah tipikal guru yang dekat dengan murid-muridnya, tipikal guru yang sesungguhnya. Kami saling bertukar cerita, menanyakan kabar masing-masing dan bernostalgia mengenang masa-masa SD-ku dulu. Rupanya sekarang Bu Fat sudah menjadi kepala sekolah, namun bukan di SD-ku dulu.

Aku teringat masa-masa ketika bersama beliau. Bu Fatimah membebaskan kami belajar sambil bermain. Suasana belajar di kelas beliau begitu menyenangkan. Murid kelas kami yang tak lebih dari 15 orang berebut mengerubungi meja beliau. Tak ada yang mau duduk di bangkunya sendiri dan tak ada yang mau ketinggalan mendengarkan penjelasan. Beliau tak pernah membatasi minat kami untuk belajar lebih cepat dari yang beliau ajarkan. Jadilah aku yang begitu menyukai pelajaran Matematika tak pernah menghabiskan lebih dari 2 bulan untuk melalap habis 1 jilid buku untuk 1 caturwulan.

Rumah Bu Fat pun tak pernah sepi kami kunjungi. Tak lelah kami bersepeda jauh-jauh hanya untuk belajar dan mendengarkan cerita-cerita beliau. Selesai belajar kami akan bermain sepuasnya di sekitar rumah Bu Fat yang tak jauh dari pantai. Aku paling suka memetik biji pohon karet atau bermain dengan kucing-kucing kesayangan Bu Fat.

Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 24.00. Bu Fatimah sudah harus berangkat. Tak puas rasanya hanya berjumpa untuk beberapa jam saja. Bila masih ada umur, insyaAllah aku akan mengunjungi beliau saat pulang kampung nanti. Kucium lagi tangannya, tak lupa kuminta agar beliau mendoakanku. Kupandangi sampai jauh taksi yang membawa Bu Fat pulang. Semakin melayang rasa rinduku yang tak bertepi pada tanah kelahiranku. Dua malam yang sangat melelahkan sekaligus sangat berkesan.

Begitu aku menaruh hormat pada guruku ini. Beliaulah yang telah membuatku begitu menyukai Matematika sampai saat ini. Yang secara tak sadar telah membawaku atas izin Allah untuk menginjakkan kaki di kampus yang menjadi impian masa kecilku ini. Semoga Bu Fatimah senantiasa diberi keberkahan oleh Allah. Guruku, terimakasihku.....

Bandung, 7 Juni 2008
*kenang-kenangan menjelang sidang sarjana, hal serupa sudah menunggu di depan mata..yosh!  

Wednesday, May 28, 2008

Pelajaran Moral versi Laskar Pelangi

Ini adalah salah satu sisi paling lucu, absurd dan menarik menurut saya dari karya Andrea Hirata yang berisi pelajaran moral dan ungkapan-ungkapan yang mengandung sindiran. Selain teori gila menurut ibunya yang ada 44 macam itu tentu saja.

Berikut petikannya :
Pelajaran moral nomor satu : Jika tak rajin sholat maka pandai-pandailah berenang. 
Pelajaran moral nomor dua : Jangan tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal di kebun. 
Pelajaran moral nomor tiga : Jika Anda cantik, hidup Anda tak tenang. 
Pelajaran moral nomor empat : Ternyata nasib yang juga sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat ! 
Pelajaran moral nomor lima : Jangan bersahabat dengan orang yang gila perdukunan. 
Pelajaran moral nomor enam : Jika Anda memiliki kesempatan untuk mendapatkan cinta pertama di sebuah toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan bau tengik, maka rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam itu bisa menjadi demikian indah tak terperikan ! 
Pelajaran moral nomor tujuh : Ternyata rahasia menarik perhatian seorang gadis adalah kita harus menjadi pelari yang gesit. 
Pelajaran moral nomor delapan : Jika Anda seorang produser film dan ingin untung besar, maka pakailah seorang sutradara yang otaknya bebal. 
Pelajaran moral nomor sembilan : Jika Anda sering ditanggap untuk berbicara di depan umum dan kerap tulalit karena kehabisan topik, maka belajarlah dulu jadi tukang gosip. 
Pelajaran moral nomor sepuluh : Jangan sekali-sekali datang ke Eropa pada bulan Desember. 
Pelajaran moral nomor sebelas : Untuk mendapatkan wanita cantik, tapi bodoh, rupanya Anda hanya perlu menjadi seorang provokator. 
Pelajaran moral nomor dua belas : Ke mana pun tempat telah kutempuh, apa pun yang telah kucapai, dan dengan siapa pun aku berhubungan, aku tetaplah seorang lelaki udik, tak dapat kubasuh-basuh. 
Pelajaran moral nomor tiga belas : Tukang jam, tukang reparasi televisi, tukang dadu cangkir dan penerbit buku adalah profesi-profesi yang patut dicurigai, dimana pun mereka berada. Jangan bicarakan keadaan negeri kita dengan seorang ekonom klasik. Pesimis ! 
Pelajaran moral nomor empat belas : Tertawalah, seisi dunia akan tertawa bersamamu; jangan bersedih karena engkau hanya akan bersedih sendiri.

Friday, May 02, 2008

Kehidupan Sosial Masyarakat dan Kerusakan Lingkungan berkaitan dengan Pertambangan Timah

Sejak pengelolaan timah dipegang penuh oleh PT. Timah, kehidupan sosial masyarakat mulai berubah. Sebagian besar pribumi menempati posisi pekerjaan rendahan di perusahaan ini. Sedangkan posisi-posisi strategisnya sebagian besar dipegang oleh orang luar daerah. Selama puluhan tahun terjadi kesenjangan sosial antara penduduk setempat dan pegawai-pegawai staf PT. Timah. Fasilitas yang disediakan oleh perusahaan untuk para pegawai staf sangat mewah, mulai dari fasilitas kesehatan, hiburan, olahraga, pendidikan dan lain-lain. Sedangkan masyarakat sekitar dan para pegawai rendahan hanya mendapatkan fasilitas yang tidak sebanding. Kesenjangan puluhan tahun ini lama-kelamaan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Puncaknya yaitu saat PT. Timah dilanda krisis pada akhir tahun 1980an sampai awal 1990an. Merosotnya harga timah dunia dan manajemen perusahaan yang salah urus disebut-sebut menjadi penyebabnya. PHK besar-besaran yang dilakukan perusahaan ini memunculkan angka pengangguran baru.

Masa-masa kejayaan pertambangan timah di Bangka Belitung telah melewati masanya. Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 dan merosotnya harga komoditas pertanian lokal seperti karet dan lada memaksa ribuan petani mencari alternatif sumber penghidupan. Sebagian besar penduduk berubah profesi menjadi penambang di tambang-tambang inkonvensional (TI) atau tambang rakyat tak berizin. Aktivititas penambangan liar ini mulai marak sekitar tahun 2000an.

Pada tahun 1999, melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis, Bupati Bangka saat itu, Eko Maulana Ali, sekarang Gubernur Provinsi Bangka Belitung, memberikan izin aktivitas penambangan skala kecil. Sejak saat itu, aktivitas penambang liar semakin tak terkendali. Data Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tahun 2001 memperlihatkan, dari sekitar 70.000-an unit tambang rakyat, yang berizin hanya sekitar 30 persen.

Maraknya aktivitas penambangan liar ini secara tidak sadar cenderung sebagai pelampiasan penduduk lokal atas kesenjangan sosial yang telah terjadi selama puluhan tahun sebelumnya. Sektor ini kini menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat yang mendatangkan hasil jutaan rupiah. Lebih dari 70 persen penduduk dari setiap desa hidup dari TI. Sektor ini menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, apakah ini menjadi pertanda baik bagi kehidupan masyarakat di Bangka Belitung?

Kini masyarakat harus menghadapi dampak-dampak sosial karena maraknya aktivitas pertambangan rakyat ini, seperti kegiatan prostitusi, konsumtivisme, dan terkikisnya nilai-nilai positif lokal. Belum lagi, kerusakan lingkungan yang semakin tak terkendali.

Aktivitas penambangan liar yang semakin tak terkendali telah menjadi penyumbang terbesar pula bagi kerusakan lingkungan. Tanpa pengendalian dan pengawasan, tambang-tambang ini meninggalkan lubang-lubang menganga dan lahan-lahan tandus yang perlu waktu ratusan tahun untuk memulihkannnya kembali. Itupun kalau kegiatan reklamasi berjalan sebagaimana mestinya.

Reklamasi yang dilakukan oleh PT. Timah terhadap lahan bekas penambangan menemui berbagai hambatan. Kegiatan ini sempat terhenti beberapa tahun dan kelangsungannya tersendat-sendat. Hal ini disebabkan oleh aktivitas TI yang sering menambang di bekas lahan galian PT.Timah yang akan atau sudah direklamasi dan baru mulai menjadi hutan-hutan muda. PT. Timah memang menyisakan 10-15 persen kandungan bijih timah di suatu lahan pertambangan.

Kegiatan pertambangan di Bangka Belitung telah mencemari air permukaan, merusak hutan dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Namun di lain pihak, ternyata sekitar 70-80 persen produksi PT. Timah dan PT. Kobatin, dua perusahaan resmi pertambangan timah di Bangka Belitung, diperoleh dari TI. Jadi, rakyat bukan satu-satunya pihak yang bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan di daerah ini. Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apa yang tersisa untuk generasi Bangka Belitung di masa mendatang?

Bandung, 21 Februari 2008
[dari berbagai sumber]

Sejarah Pertambangan Timah di Bangka Belitung

Propinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah sejak lama identik sebagai penghasil timah. Komoditas tambang berharga ini telah mewarnai ratusan tahun periode kehidupan sosial masyarakat di daerah ini. Menurut data dari Commodity Research Unit tahun 2005, kontribusi Bangka Belitung sekitar 90.000 ton dari sekitar 333.900 ton timah dunia.

Sebelum timah ditemukan, Bangka Belitung dipandang sebelah mata oleh para penguasa. Penambangan timah dimulai pada abad ke 18 ketika orang-orang Tionghoa mulai berdatangan. Karena kandungan bijih timah yang kaya, Bangka Belitung seolah menjadi barang dagangan yang diperebutkan oleh berbagai bangsa. Sebut saja Inggris, Belanda dan Kesultanan Palembang. Sampai pada masa penjajahan Belanda, pertambangan timah di Pulau Bangka dikelola oleh badan usaha pemerintah kolonial “Banka Tin Winning Bedrijf” (BTW). Sedangkan di Belitung dan Singkep dikelola oleh perusahaan swasta Belanda, masing-masing Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Biliton (GMB) dan NV Singkep Tin Exploitatie Maatschappij (NV SITEM).

Setelah kemerdekaan RI, ketiga perusahaan Belanda tersebut dinasionalisasikan antara tahun 1953-1958. Pada tahun 1961 dibentuk Badan Pimpinan Umum Perusahaan Tambang-tambang Timah Negara (BPU PN Tambang Timah) untuk mengkoordinasikan ketiga perusahaan negara tersebut. Pada tahun 1968, ketiga perusahaan negara dan BPU tersebut digabung menjadi satu perusahaan yaitu Perusahaan Negara (PN) Tambang Timah.

Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 9 Tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1969, pada tahun 1976 status PN Tambang Timah dan Proyek Peleburan Timah Mentok diubah menjadi bentuk Perusahaan Perseroan (Persero) yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dan namanya diubah menjadi PT Tambang Timah (Persero).

Krisis industri timah dunia akibat hancurnya The International Tin Council (ITC) sejak tahun 1985 memicu perusahaan untuk melakukan perubahan mendasar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Restrukturisasi perusahaan yang dilakukan dalam kurun 1991-1995, yang meliputi program-program reorganisasi, relokasi Kantor Pusat ke Pangkalpinang, rekonstruksi peralatan pokok dan penunjang produksi, serta penglepasan aset dan fungsi yang tidak berkaitan dengan usaha pokok perusahaan. Saat ini PT Timah (Persero) Tbk dikenal sebagai perusahaan penghasil logam timah terbesar di dunia, 35 persen saham perusahaan dimiliki oleh masyarakat dalam dan luar negeri, dan 65 persen sahamnya masih dimiliki oleh Negara Republik Indonesia.

Bandung, 21 Februari 2008
[dari berbagai sumber]

Kakekku yang Cendekia

Waktu itu aku masih sangat kecil untuk mengingat banyak hal. Mungkin hari-hari itu usiaku belum genap 4 tahun, sehingga tak banyak kenangan bersama kakek yang bisa terekam jelas dalam memoriku. Mungkin, hanya dua hal yang bisa kuingat. Waktu itu, kakek sering menggunakan tongkat, mungkin tubuhnya sudah sedemikian lemah untuk bisa berjalan tegak. Lalu yang kedua, beliau selalu meniup ubun-ubunku dan juga abangku setiap sore jika kami berkunjung ke rumah beliau. Sampai sekarang hal ini masih membuatku bertanya-tanya. Dan seingatku beliau tak pernah melakukannya pada kakak dan abang-abang sepupuku.

Beliau meninggal ketika usiaku baru 4 tahun, 3 bulan dan 21 hari. Hari itu adalah penghujung tahun 1990, tepatnya 31 Desember 1990. Sebelumnya beliau tidak mengalami sakit, hanya sejak pagi beliau tampak lemah dan terbaring di tempat tidur. Ayah, ibu, paman dan bibi-bibiku sudah berkumpul sejak pagi. Yang kuingat pada menit-menit terakhir sebelum wafat, beliau selalu menanyakan waktu. “Jam berapa sekarang ?”, ucap beliau lirih. Demikian berulang-ulang, padahal sebuah jam weker berada di samping beliau. Mungkin beliau sudah tak sabar ingin sholat Ashar dan hanya beberapa menit menjelang waktu Ashar beliau meninggalkan kami semua. Ayah, ibu, paman dan bibi-bibiku menangis dan aku pun ikut menangis. Karena masih kecil, aku tak paham betul apa yang terjadi ketika itu, sehingga sambil menangis aku berkata pada ayahku : “Aku tak punya kakek lagi….”. Lalu ayahku menjawab : “Sudah, jangan menangis lagi, kan masih ada kakek yang satunya lagi…”. Dan seketika tangisku reda. Demikian sederhana pemikiranku saat itu.

Maka, karena kakek sudah meninggal sejak aku masih kecil, aku lebih banyak mengenal beliau dari cerita-cerita ayahku. Alhamdulillah sejak kecil aku demikian suka bertanya tentang banyak hal, dan ayahku pun tak pernah lelah menjawab pertanyaan-pertanyaanku.

Dari cerita-cerita ayah, aku mengenal pribadi bersahaja ini. Beliau adalah orang yang pintar dan demikian suka belajar. Dulu, kakek hanya pernah mengenyam pendidikan dasar jaman Belanda, dan itu pun tidak tamat. Aku tak tahu jelas alasannya. Mungkin karena berkepribadian terbuka dan selalu ingin tahu, beliau tak cocok dengan gaya pendidikan Belanda bagi pribumi ketika itu. Tetapi, Subhanallah, pemikirannya jernih luar biasa. Dulu aku mengira kakekku pernah menempuh pendidikan tinggi, karena buku-buku beliau demikian banyak, bertumpuk-tumpuk dan tak sedikit dari buku-buku beliau merupakan teks wajib di perguruan-perguruan tinggi. Buku beliau bermacam-macam, mulai dari buku-buku agama, sastra, sejarah, hukum dan lain-lain. Rupanya beliau memang seorang pembelajar dan otodidak yang sebenarnya.

Jaman dulu orang tak terlalu mementingkan soal ijazah, yang penting adalah kompetensi yang dimiliki. Tak terlalu buruk bagi kakek, dengan pendidikan formal yang demikian rendah, kakek pernah dipercaya pemerintah untuk menjadi seorang camat. Dulu namanya asisten wedana. Beliau pernah ditugaskan di Membalong, lalu dipindahkan ke Merawang di Pulau Bangka. Ketika akan dipindahkan lagi ke kecamatan Kelapa, beliau lebih memilih untuk pensiun dan pulang ke Belitong. Ketika bertugas di Bangka inilah beliau bersahabat dengan Kemas Duri, ayah dari Rafika Duri.

Waktu ditugaskan di Merawang, kakek sering diberi hadiah berupa hasil-hasil bumi dan peternakan oleh penduduk sekitar. Tapi kata ayah, kakek selalu menolak dengan halus pemberian mereka. Beliau demikian hati-hati memegang amanah sebagai pemimpin. Bila semua pejabat jaman sekarang berpendirian seperti itu, mungkin kita tak ’kan mengenal kosakata korupsi, kolusi, dan nepotisme di negara ini.

Sejak dulu aku senang sekali menjadi semacam peneliti sejarah, sejarah apapun itu. Maka tak heran aku demikian bersuka cita jika diajak ayah ke rumah peninggalan kakek. Ayah sering merapikan naskah-naskah kuno dan buku-buku milik kakek. Di sana banyak hal yang bisa kupelajari. Banyak sekali salinan surat-surat kakek ke berbagai penerbit. Rupanya secara rutin beliau memesan buku-buku ke penerbit-penerbit di Pulau Jawa. Selain itu, beliau sering berkirim surat ke berbagai sahabat, kerabat dan anak-anak beliau yang ketika itu bersekolah di Pulau Jawa, yaitu paman dan ayahku. Maka, kebiasaan kakekku ini mendukung hobiku yang lain sebagai filatelis.

Dulu sebelum direnovasi, rumah kakek punya satu ruangan kecil yang beliau pakai khusus untuk belajar. Di sana ada meja belajar kayu model lama, sepasang bangku dengan meja bulat untuk beliau menerima sahabat-sahabat dan handai taulan, buku-buku dan berbagai alat tulis. Rak buku tak diletakkan di ruangan itu, karena ruangan itu terlau sempit untuk meletakkan rak buku yang demikian besar untuk menampung buku-buku beliau.

Kakekku juga seorang yang disiplin dan rapi dalam berbagai hal. Hal ini terlihat dari cara beliau membagi waktu dan menata berbagai hal. Kuduga ada hubungan disiplin ini dengan pertanyaan beliau yang berulang-ulang sebelum beliau wafat, pertanyaan tentang waktu. Beliau juga menuliskan dengan rinci berbagai pengeluaran dan pemasukkan setiap bulan. Selain itu, tak terlewatkan pula dalam buku catatan beliau mengenai berbagai peristiwa-peristiwa penting yang beliau alami selama hidup. Tak terkecuali kelahiran anak-anak dan cucu-cucu beliau. Kuingat pula ada sebuah lemari kecil tepatnya kotak yang dipasang menempel pada dinding. Di kotak itu beliau menyimpan berbagai obat-obatan dan perlengkapan P3K.

Dari cerita ayah dan pamanku pula aku mengenal watak kakek yang cukup keras. Dulu waktu kakek masih tinggal di rumah yang lama di Jalan Merdeka, beliau punya kebiasaan duduk-duduk di teras sambil membaca. Ada salah seorang kerabat kami yang senang sekali bersiul, tetapi begitu lewat dekat rumah kakek ia tak ‘kan berani bersiul. Nyalinya terlalu kecil untuk menghadapi hardikan kakekku. Di rumah ini juga kakek menanam berbagai pohon buah-buahan. Pohonnya besar-besar dan tinggi sehingga layangan anak-anak di kampung itu seringkali tersangkut. Namun, tak ada anak yang berani memanjat untuk mengambil kembali layangan mereka, karena kakek akan sangat marah. Beliau juga akan sangat marah jika anak-anak beliau tak disiplin soal waktu. Aku tak pernah melihat rumah kakek yang di Jalan Merdeka ini, karena sebelum aku lahir rumah itu telah dijual dan menjadi kantor cabang BRI Tanjongpandan sampai saat ini. Aku hanya tahu rumah kakek yang sekarang, dan waktu kecil aku pun sempat tinggal di situ.

Kakekku juga sangat memperhatikan masalah pendidikan. Dengan segenap daya upaya yang bisa beliau lakukan, beliau selalu mendukung pendidikan anak-anaknya. Tapi, entah siapa yang salah. Sebagian besar anak-anak beliau tak terlalu mulus menjalani soal pendidikan ini. Banyak yang memilih berhenti dengan berbagai alasan, bahkan walaupun sudah sampai jenjang perguruan tinggi. Aku tak tahu jelas apa alasannya.

Demikian banyak kesan mendalam tentang kakekku yang kusimpan baik-baik dalam ingatanku. Aku merasa beruntung memiliki kakek seperti beliau. Kakekku dianggap ayahnya dulu sebagai anak yang beliau pilih untuk mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan keluarga besar kami. Padahal kakekku bukan anak laki-laki tertua yang lazimnya dipilih orang Melayu untuk hal itu. Kuduga, kakekku memiliki kapasitas intelektual dan kebijaksanaan yang menjadi pertimbangan ayahnya untuk memilih beliau. Demikian mungkin yang tersirat dalam surat wasiat kuno dari leluhur beliau Ki Agus Endek yang sempat kubaca. Surat itu ditulis dalam huruf Arab Melayu dan dikirim dari Mekah melalui seorang kurir ketika Ki Agus Endek sedang menunaikan ibadah haji. Disana tertulis kata-kata : “......untuk anak cucuku yang cerdik dan cendikia....”

Dengan penuh rasa bangga aku menceritakan kebersahajaan, pendirian, dan kecendikiaan kakekku, 
Ki Agus Razak Unus bin Ki Agus Unus. Beliau lahir pada tahun 1909 dan meninggal pada usia 81 tahun. Semoga Allah menerima amal ibadah beliau dan mengampuni kesalahan-kesalahannya. Amin...

Bandung, 30 April 2008

Wednesday, April 02, 2008

Laskar Pelangi, sebuah karya...

Sudah ribuan orang terinspirasi dengan kisah anak Melayu ini. Mungkin kata sebagian orang agak basi mengulas kisah ini berulang kali. Namun tidak bagiku. Karya putra Belitong ini telah menjadi best seller, bahkan sampai ke Malaysia.

Demikian banyak hal menakjubkan yang diangkat dalam buku Andrea Hirata ini. Mungkin satu kata saja tidak akan cukup menggambarkan rasa salutku pada Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Sejak lama aku bermimpi ada orang yang dengan penuh percaya diri mengangkat ranah budaya kampung halaman kami. Dengan kemunculan tetralogi ini mimpi itu pun terwujud. Sebuah memoar hidup yang disajikan dengan pendekatan sastra telah hadir di tengah-tengah kita.

Dalam Laskar Pelangi, Ikal (sapaan akrab pengarang ini) memotret dengan apik kehidupan kaum marginal yang justru lahir di tanah yang kaya raya. Kemarginalan ini tidak untuk ditangisi atau dikasihani. Tetapi, di sinilah Ikal dengan gagah berani menoreh mimpi-mimpi anak-anak kampung itu. Lintang, demikian salah seorang inspirator bagi anak-anak miskin anggota Laskar Pelangi. Bagi mereka, Lintang bagaikan purnama yang membuat mereka berani bercita-cita. Anak miskin putra nelayan semenanjung ini demikian cerdas tapi demikian rendah hati. Ada lagi Bu Mus dan Pak Harfan, guru yang rela mengajar bahkan tanpa dibayar, yang tak jemu membakar semangat mereka. Dalam segala keterbatasan inilah para tokoh dalam buku ini dengan bangga memaknai setiap episode kehidupan mereka, berjuang dan berusaha melakukan yang terbaik dalam hidup mereka.

Perjuangan hidup Ikal pun berlanjut dalam Sang Pemimpi. Demikian kuat semangat Ikal, Arai dan Jimbron untuk bersekolah. Mereka rela bangun sejak dini hari untuk bekerja menjadi kuli ngambat demi membiayai hidup dan sekolah mereka kala itu. Hanya mimpi-mimpi dan semangat yang menjadi modal mereka, yang lain mereka tak punya. Diiringi segenap usaha dan do'a akhirnya Allah mengabulkan cita-cita mereka. Ikal dan Arai mampu meraih pendidikan tinggi bahkan sampai ke Perancis tanpa sepeser pun uang dari orang tua.

Sedangkan Edensor menggambarkan petualangan Ikal dan Arai selama bersekolah di Perancis. Seperti impian sepi guru sastra mereka waktu SMA dulu, mereka berhasil menjelajah Eropa sampai ke Afrika. Dalam penjelajahan ini, Ikal dan Arai menemukan mozaik-mozaik hidup mereka. Pena-pena Ikal berhasil menyajikan dengan apik sekelumit budaya masyarakat Eropa dan sebagian Afrika. Yang menarik, budaya ini diangkat dari sudut pandang orang Indonesia, yang notabene orang kampung sama sepertiku. Tapi bukan berarti cerita ini menjadi kampungan dan norak. Sama sekali tidak.

Satu lagi Maryamah Karpov, buku terakhir dari rangkaian Tetralogi ini. Rencananya akan terbit dalam tahun ini.

Tak terbayangkan bangganya aku menjadi orang Belitong. Pulau kecilku ini ternyata menyimpan orang-orang luar biasa. Terimakasih Andrea Hirata yang telah menjadi inspirasi. Yang telah dengan bangga dan gagah berani mempersembahkan sebuah karya bermutu.

Bandung, 20 Februari 2008

Harapan yang Tertelan Pasang

Mendung menggelayut tebal menyelimuti langit. Muram, dingin dan basah. Hari ini 16 Mei 2004, kali pertama aku menginjakkan kakiku di Bandung. Tak banyak yang kuketahui tentang Kota Kembang ini. Aku hanya mengenalnya dari buku-buku dan sedikit cerita dari kakak-kakak sepupuku. Beberapa kali mereka mewanti-wanti. “ Kau harus tahan udara dingin. Pikirkan dulu sebelum terlanjur, nanti kuliahmu bisa terbengkalai kalau sering sakit-sakitan”. Aku gamang menghadapi lingkungan yang benar-benar baru bagiku. Kuduga sakit maagku akan kambuh lagi.

Hari ujian SPMB semakin dekat. Sempat beberapa kali semangatku surut. Aku dilanda perasaan takut, malu dan tak percaya diri. Mana mungkin anak kampung sepertiku bisa lulus? Anak-anak SMA di sini telah jauh-jauh hari dipersiapkan dengan bimbingan belajar dari guru-guru jempolan. Sedangkan aku seperti tupai yang gelagapan mengumpulkan biji-bijian saat musim dingin tinggal menunggu hitungan hari. Usaha yang punya kemungkinan tipis untuk menang.
***
Angkot Caheum-Ledeng yang kutumpangi penuh sesak oleh penumpang. Rata-rata mahasiswa dan anak-anak sekolah. Langkah harus kupercepat ketika sampai di kampus, sebab 5 menit lagi pukul 7. Kelas akan segera dimulai.

Dari tadi kulihat dosenku seperti berpantomim. Suaranya tak jelas, kadang terdengar kadang tidak. Mendengung-dengung sebentar di telingaku, lalu lenyap entah kemana. Hanya ragaku yang duduk di kelas ini. Sedang pikiranku melayang melintasi jendela kaca yang terbuka. Lalu masuk angkot menuju stasiun, kemudian duduk dalam kereta menuju Jakarta. Terus melaju, singgah sebentar di Soekarno Hatta, terbawa pesawat lalu terbang menuju Pulau Belitong.

Tadi, sebelum masuk kelas, mobil-mobil mengkilat di parkiran Sipil membuat mataku silau. Sinar matahari yang dipantulkan cat-cat metalik itu seperti blitz kamera yang memflashback memoriku. Tiba-tiba ada perasaan benci sekaligus sedih dalam hatiku. Semakin hari, semakin sedikit kutemukan mahasiswa-mahasiswa bersahaja di kampus ini. Tak sedikit pula yang malas-malasan dan jika ujian tiba, mencontek menjadi jurus jitu andalan mereka. Mereka tak tahu bagaimana sulitnya sahabat-sahabatku dulu ingin bersekolah. Beberapa dari mereka harus kalah di tengah jalan. Bukan malas atau tak minat sekolah. Tapi kau tahu sendiri jawabannya, Kawan.
***
Sore ini kami punya acara seru. Aku dan enam sahabat sekelasku akan bermain bola, memetik buah asam jawa dan melihat orang membuat perahu. Ada rumah panggung sederhana berdinding kayu di tepi pantai yang akan kami kunjungi. Rumah sahabat kami, Basri namanya. Dia baru pindah ke sekolah kami. Tapi kami cepat sekali akrab dengannya. Sejak ia masuk, kelas kami makin berwarna. Dari kelas 2 kami tak punya teman anak nelayan. Naik ke kelas 4 Basri pindah ke Tanjungpandan. Sebelumnya ia tinggal di Seberang, sebuah semenanjung kampung nelayan di sebelah barat daya Tanjungpandan, kota kecil kelahiranku. Ayahnya seorang nelayan. Namun, jika musim angin barat tiba beliau beralih profesi menjadi kuli pembuat perahu.

Rumah Basri menghadap persis ke laut Tanjung Pendam, tak jauh dari sekolah kami. Di pekarangan kosong dekat rumahnya tumbuh pohon asam jawa yang sedang berbuah lebat. Ranum dan menggoda tangan-tangan kecil kami untuk melontarkan biji-biji kerikil dengan ketapel yang kami bawa. Setelah puas melihat orang-orang Bugis membuat perahu, kami bermain bola sampai air laut mulai pasang dan membasahi kaki-kaki kami. Sang surya pun mulai menunduk santun. Perlahan-lahan makhluk kuning kemerahan itu merapat, mencium bibir cakrawala. Cahayanya terang menyilaukan, kontras dengan langit sekelilingnya yang mulai gelap. Dari kejauhan kami anak-anak Melayu pesisir yang bahagia terlukis menjadi siluet yang begitu indah. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari Surau-Surau. Bersahut-sahutan tak putus-putus. Kami termenung dalam bisu mendengar panggilan mulia ini.
***
Akhir tahun ini hujan turun tak henti-henti. Matahari malu menampakkan wajahnya. Sesekali hanya mengintip sebentar dibalik gumpal-gumpal awan yang seperti bulu domba itu. Biasanya ada ritual asyik setiap pulang sekolah di musim penghujan ini. Aku dan sahabat-sahabatku akan pulang sekolah sambil mandi air hujan di tepi pantai. Tapi buku-buku dan sepatu kami telah kami bungkus rapat-rapat agar tak ikut basah. Maklum, rata-rata kami hanya punya sepasang sepatu. Beberapa temanku yang tak punya sepeda ikut menitipkan barang-barangnya di sepedaku, Maryam dan Rusli. Si kembar Fauzi dan Fadli tak mau ketinggalan. Mereka tak peduli, padahal kami tahu ayah mereka terkenal galak dan tak kompromi. Kami akan singgah di pantai Tanjung Pendam. Biasanya pada musim penghujan seperti ini, angin barat akan menggiring kawanan ubur-ubur sampai ke tepi pantai. Seru bukan, bermain air hujan di atas air laut yang seperti jelly.

Itulah pesta kami, anak-anak Melayu pesisir, bila musim penghujan tiba. Tapi ada yang terasa janggal hari ini. Basri tak masuk sekolah. Tanpa dia, permainan kami kurang seru. Tak ada cerita nelayan-nelayan tangguh yang sering diceritakannya pada kami. Aku khawatir ada apa-apa dengan ayahnya. Kudengar banyak nelayan yang terjebak badai di tengah laut. Mereka yang masih nekat melaut pada musim-musim seperti ini tak lain karena tuntutan periuk belanga. Merekalah tumpuan nafkah keluarga.

Sejak saat itu aku tak pernah lagi bertemu Basri. Kata salah seorang tetangganya, keluarga Basri pindah kembali ke Seberang. Waktu itu, rumah Basri di Tanjungpandan rusak diterjang pasang dan angin laut yang ganas. Basri tak pernah sekolah lagi. Keluarga sederhana itu kelelahan menopang hidup, maka keinginan Basri untuk sekolah harus dikuburnya dalam-dalam.
***
Betapa kuat kenangan masa kecil itu tertancap dalam batinku. Bahkan tetap kuingat sampai belasan tahun kemudian. ”Woi, ayo ke GKU! Mau kuliah Kontrol Otomatik tidak?” Tiba-tiba lamunanku buyar ketika Mira memanggilku. Ah, mobil-mobil mahasiswa kaya itu! Di kampus ini kutemukan lagi sebuah paradoks yang membuat hatiku perih.

Bandung, 25 Februari 2008
Terinspirasi dari pengalaman pribadi masa kecilku...

Tukang Photocopy, profesi yang terabaikan...

Bertebaran kios-kios mungil di sekitar pusat peradaban yang bernama kampus. Tempat segala macam ilmu diajarkan, dikembangkan, bahkan disombongkan. Kampus bagaikan magnet yang mampu menghisap rupa-rupa manusia. Mulai dari anak-anak kampung yang menggantungkan cita-cita tinggi sampai tukang photocopy yang kelelahan mengikuti putaran deras drum penggiling kertas.

Berupa-rupa ilmu beterbangan, melayang, menggaung dari jendela dan pintu-pintu. Ada pula yang masuk lewat mata dan telinga yang haus menanti ilmu. Kadang banyak mimpi yang lewat sekedar menyapa, lalu hilang ditelan hiruk pikuk mahasiswa. Begitu dinamis rupanya kehidupan di dalam kampus. Sedinamis pikiran-pikiran cemerlang para mahasiswanya.

Tapi di sudut-sudut kecil kios photocopy aku menemukan paradoks yang membuat hatiku ngilu. Dari mahasiswa tingkat I sampai profesor yang sudah karatan pernah menjadi langganan kios-kios kecil itu. Berlembar-lembar, tak putus-putus kertas bertuliskan bermacam-macam teori, angka-angka sampai dokumen-dokumen penting, bergulung sebentar lalu keluar sebagai saudara kembar. Sinar kekuningan menyilaukan, menyelinap serupa pisau-pisau cahaya.

Mungkin dulu ia punya cita-cita. Lembaran-lembaran kertas itu begitu menyilaukan, menyayat mata hatinya. Mengingatkannya akan mimpi-mimpi sepi yang telah lama ia kubur dalam-dalam. Ada kerinduan yang membuncah dalam hatinya. Ia membayangkan dirinya duduk santun di kelas berjendela kaca. Menyimak, bertanya, berdebat tentang berupa-rupa ilmu. Atau sekedar kelelahan bergadang dalam malam-malam panjang untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Ah..tapi mimpi-mimpi itu telah lama terenggut darinya. Alasan klasik memang, tak punya biaya.

Kini partikel-partikel toner menyebalkan inilah yang harus dihadapinya tiap hari. Yang pelan-pelan menggerayangi buluh-buluh nafasnya, ada risiko kanker dan asma disana. Kelelahan ia melupakan mimpi-mimpinya, tapi kertas, mesin photocopy dan mahasiswa-mahasiswa itu tak puas-puas melukai hatinya.

Bandung,24 Februari 2008