Tuesday, June 10, 2008

Layang-layang Rindu

Matahari bersinar sepanjang hari, terang benderang sampai senja tiba. Rumput-rumput mulai menguning menyisakan tandus tanah berdebu. Gerah, kering dan gersang. Angin akan menerbangkan debu-debu yang akan menempel pada jendela-jendela kaca. Musim kemarau telah tiba.

Dulu, waktu aku masih kecil, musim masih teratur. April sampai September adalah bulan-bulan kerontang itu. Tapi ada hal lain yang menyenangkan. Akan ada lukisan taburan kertas warna-warni di langit yang biru cemerlang. Mengajak angan-angan kecilku untuk terbang tinggi, setinggi nasib yang telah diatur oleh Allah akan membawaku nanti.

Hari masih pagi ketika Abangku membeli lembaran-lembaran kertas minyak, lem perekat dan benang ukuran agak besar. Kalau bilah-bilah bambu tak perlu membeli. Ada rumpun bambu milik Pak Wahid di tepi lapangan volley kampung kami. Hari ini kami akan membuat layang-layang ukuran besar. Bilah-bilah bambu tadi akan dijadikan rangkanya. Layang-layang kami akan terbang gagah, merah pula warnanya.

Saat layangan berekor itu mulai terangkat, kami berharap-harap cemas ia akan mampu terbang tinggi. Karena ukurannya besar, tentunya tak semudah menerbangkan layang-layang biasa. Akhirnya ia mulai terbang, semakin diulur benangnya, semakin tinggi pula ia melambung. Terus melambung dan tampak semakin kecil.

Kini ia bisa bercengkrama dengan layang-layang lain, terbang tinggi tak peduli. Menari-nari di ketinggian, tak goyah dihembus angin seakan mengajakku untuk menyaksikan pemandangan menakjubkan di atas sana. Pasti rumah kami hanya tampak seperti kotak kecil dan aku mungkin sudah tak tampak lagi. Kiranya ia bisa memandang sampai ke tepian pulau, menyaksikan drama kehidupan penduduk di sepanjang pesisir barat Pulau Belitong. Pulau kecilku yang kini bau karat, tua dan tampak terluka. Sampai kemana nasib akan membawaku nanti? Tak pernah berkurang rasa rinduku pada pulau kelahiranku.

Bandung, 7 Juni 2008

Guruku

Seminggu yang lalu adalah hari-hari yang cukup melelahkan bagiku. Jumat pagi listrik tak menyala sampai sore tiba. Kampusku seperti kota mati Chernobyl yang ditinggal mengungsi oleh penduduknya. Sebegitu tergantungnya kita pada listrik, salah satu nikmat Allah yang sering terlupakan jika senantiasa menyala.

Aku pulang dengan lesu. Alhamdulillah listrik di kos-kosan tidak ikut padam. Malamnya aku tidur sangat larut, pelampiasan tak bisa mengerjakan apa-apa di siang harinya. Aku tak mau revisi terakhir laporan TA-ku terlambat.

Sudah seminggu Ibu Fatimah, guru SD-ku berkunjung ke Bandung. Telah seminggu pula aku tak sempat mengunjungi beliau. Besok Bu Fat sudah harus pulang. Tak ada waktu lagi, malam ini aku harus mengunjunginya. Ba’da magrib, aku berangkat ke rumah kerabat Bu Fat yang kebetulan adalah temanku, di Jalan Dipati Ukur. Tanganku dingin seperti akan menerima kertas ujian SPMB. Begitu rupanya reaksi tubuhku jika sudah sedemikian rindu.

Ketika aku sampai, Bu Fatimah sedang berkemas-kemas untuk persiapan pulang dini hari nanti. Beliau akan menumpang pesawat pukul 08.00 dari Bandara Soekarno-Hatta, maka pukul 01.00 Bu Fat sudah harus berangkat dari Bandung. Tak terasa sudah 10 tahun aku tak bertemu dengan Bu Fatimah. Beliau tampak lebih tua dari semenjak terakhir kami berjumpa. Namun, suara dan senyumnya tak lekang dimakan waktu. Garis-garis wajahnya menyiratkan jiwanya yang kukuh, tak lelah membagi ilmu kepada murid-muridnya. Kucium tangan Bu Fat yang kini mulai berkerut. Tak kusangka, bau minyak wangi beliau masih sama seperti dulu.

Ibu Fatimah adalah tipikal guru yang dekat dengan murid-muridnya, tipikal guru yang sesungguhnya. Kami saling bertukar cerita, menanyakan kabar masing-masing dan bernostalgia mengenang masa-masa SD-ku dulu. Rupanya sekarang Bu Fat sudah menjadi kepala sekolah, namun bukan di SD-ku dulu.

Aku teringat masa-masa ketika bersama beliau. Bu Fatimah membebaskan kami belajar sambil bermain. Suasana belajar di kelas beliau begitu menyenangkan. Murid kelas kami yang tak lebih dari 15 orang berebut mengerubungi meja beliau. Tak ada yang mau duduk di bangkunya sendiri dan tak ada yang mau ketinggalan mendengarkan penjelasan. Beliau tak pernah membatasi minat kami untuk belajar lebih cepat dari yang beliau ajarkan. Jadilah aku yang begitu menyukai pelajaran Matematika tak pernah menghabiskan lebih dari 2 bulan untuk melalap habis 1 jilid buku untuk 1 caturwulan.

Rumah Bu Fat pun tak pernah sepi kami kunjungi. Tak lelah kami bersepeda jauh-jauh hanya untuk belajar dan mendengarkan cerita-cerita beliau. Selesai belajar kami akan bermain sepuasnya di sekitar rumah Bu Fat yang tak jauh dari pantai. Aku paling suka memetik biji pohon karet atau bermain dengan kucing-kucing kesayangan Bu Fat.

Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 24.00. Bu Fatimah sudah harus berangkat. Tak puas rasanya hanya berjumpa untuk beberapa jam saja. Bila masih ada umur, insyaAllah aku akan mengunjungi beliau saat pulang kampung nanti. Kucium lagi tangannya, tak lupa kuminta agar beliau mendoakanku. Kupandangi sampai jauh taksi yang membawa Bu Fat pulang. Semakin melayang rasa rinduku yang tak bertepi pada tanah kelahiranku. Dua malam yang sangat melelahkan sekaligus sangat berkesan.

Begitu aku menaruh hormat pada guruku ini. Beliaulah yang telah membuatku begitu menyukai Matematika sampai saat ini. Yang secara tak sadar telah membawaku atas izin Allah untuk menginjakkan kaki di kampus yang menjadi impian masa kecilku ini. Semoga Bu Fatimah senantiasa diberi keberkahan oleh Allah. Guruku, terimakasihku.....

Bandung, 7 Juni 2008
*kenang-kenangan menjelang sidang sarjana, hal serupa sudah menunggu di depan mata..yosh!