Saturday, December 15, 2012

Karena


Karena malam cemburu pada pagi
Dan pagi selalu tak sabar menanti siang
Karena laut mengirimkan ombak kepada angin
Dan angin malu-malu balas merayu
Karena hujan boleh menghapus salju
Tapi bukan rindu
Karena daun tak pernah membenci ranting
Dan ranting masih sabar menunggu semi
Karena rumput tak pernah menyimpan duri
Tapi pagi selalu menitipkan embun pada semak
Karena…
Aku tak punya karena
Dan karenanya, sebab pun malu untuk bertanya
Antar saja aku ke sana, sebelum senja...

Bochum, 15 Desember 2012


Friday, December 14, 2012

Balada Stasiun Kereta


Curilah waktumu sesekali dan berdirilah di stasiun kereta. Perhatikan lalu lalang manusia yang seperti tak ada habisnya. Ada wajah-wajah tergesa, tertawa, menunggu. Ada perpisahan yang mengharukan atau kegelisahan menanti sebuah pertemuan. Berpasang-pasang kaki berderap-derap menyusuri anak tangga dan peron-peron stasiun. Setiap rupa yang tak kukenal ini pasti punya cerita.

Langkah sepasang lansia perlahan menegakkan tubuh mereka yang mulai condong ke depan. Wajah sang kakek agaknya tergesa, tapi tangannya seperti tak hendak lepas merangkul sang nenek yang berjalan lebih perlahan. Keduanya tersenyum, sambil sesekali menunjuk-nunjuk display raksasa yang merangkum jadwal keberangkatan kereta. Kutaksir usia mereka tak kurang dari 80 tahun, kerut-kerut wajah dan helai-helai rambut putih itu yang membisikkannya padaku. Aku membayangkan, berpuluh-puluh tahun yang lalu ketika mereka masih muda, apakah mereka pernah membayangkan dunia yang mereka lihat sekarang? Entah berapa macam zaman telah mereka lalui, zaman perang tentu saja masuk dalam salah satu episodenya. Penyesalan seperti apa yang diam-diam mereka tanggungkan? Atau punyakah mereka pencapaian-pencapaian hidup yang gilang gemilang? 

Seorang Bapak setengah baya menarik koper kulit beroda, warna coklat tua. Tangan kirinya menggenggam gulungan surat kabar. Langkahnya teratur tak terburu-buru. Sesekali dia melirik jam di pergelangan tangan kirinya, memastikan jadwal hari ini masih sesuai rencana. Sepatu, celana dan jaketnya berwarna serupa, coklat tua. Rambutnya coklat kemerahan, disisir rapi ke belakang. Bingkai kacamatanya juga coklat tua. Bapak coklat ini pasti seorang yang disiplin, gerak-gerik dan apapun yang disandangnya tak bisa berdusta. 

Kuperhatikan antrian di loket penjualan tiket kereta. Para petugas yang duduk di balik loket-loket itu sejak pagi masih saja tersenyum ramah. Wajah mereka seperti sudah tercetak seperti itu, mau tak mau, sudah tuntutan profesi. Para pegawai Perusahaan Jawatan Kereta ini setidaknya menguasai dua bahasa, dan tentu saja mereka pendengar yang baik. Entah sudah berapa keluhan yang mereka dengar sejak pagi, aku yakin ucapan terima kasih yang menguatkan mereka menjalani hari demi hari. Ada dua kata sederhana yang sering kita lupakan namun sangat berarti bagi orang-orang seperti para petugas loket ini, ’maaf’ dan ’terima kasih’. Tangan-tangan terampil ini telah mengantar orang-orang ke tempat-tempat yang jauh, sementara sang empunya hanya duduk di loket yang sama, menghitung antrian demi antrian yang menawarkan berupa-rupa wajah dari berbagai bangsa.

Di ujung peron nomor dua, berdiri seorang pemuda. Tatapannya kosong memandang rel kereta. Ransel di punggungnya terlihat padat dan berat. Sudah batang kedua rokok yang dihisapnya sejak tadi. Tangan kanannya sibuk menyentuh layar ponsel, earphone berkabel putih tersambung ke telinganya. Aku membayangkan orang seperti apa yang menantinya di ujung perjalanannya hari ini. Apa kira-kira hobinya, mahasiswakah dia atau seniman dadakan yang baru pulang mengurus sebuah pameran?

Tak jauh di belakangku terdengar gelak tawa seorang bocah perempuan. Wajahnya lugu dan lucu. Rambutnya keriting hitam lebat, bulu matanya lentik, cantik sekali. Dia berlari-lari ke sana kemari, berputar-putar mengelilingi ibunya yang sedang kerepotan menenteng sebuah koper besar. Sesekali ibunya harus berhenti dan menenangkan peri cantik yang tak mau diam ini. Apa yang sedang dipikirkan anak sekecil ini? Dunia di matanya pasti selalu menarik, semenarik renda-renda yang menghiasi rok merah mudanya.

Di salah satu sudut hall stasiun berdiri sebuah toko roti. Pegawainya 3 orang perempuan muda, tersenyum hangat seperti roti-roti yang baru keluar dari pemanggang. Tangan-tangan mereka terampil menata roti-roti di etalase sembari melayani pembeli. Wangi roti, kopi dan coklat yang sama menemani mereka setiap hari. Aku membayangkan pertanyaan-pertanyaan sederhana: apakah mereka juga ikut menikmati roti-roti itu? Pernahkah mereka bercita-cita memiliki toko roti sendiri suatu saat nanti?

Aku melangkah perlahan menuju peron nomor tiga, menanti kereta regional yang akan mengantarku ke kota tetangga. Seorang Bapak terlihat melambai-lambai, tangan kirinya menggandeng seorang anak laki-laki yang juga ikut melambai-lambai. Tatapan mereka tertuju pada seorang ibu setengah baya, yang entah hendak kemana. Mungkin mereka bertiga adalah anak beranak yang akan berpisah dalam waktu agak lama, bisa kubaca dari tatapan sedih sang anak, yang sejak tadi tak berhenti menangis.


Aku memang senang menghabiskan waktu luang seperti ini, memperhatikan lalu lalang manusia di stasiun lalu berangkat dengan kereta jurusan mana saja. Gratis, mengapa disia-siakan? Cerita di gerbong kereta pun tak kalah seru. Kalau penumpang sedang ramai, aku harus berdiri sambil sesekali menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Kalau sedang beruntung, aku paling senang memilih tempat duduk tepat di samping jendela. Jendela kereta menawarkan gambar-gambar hidup yang juga pandai bercerita, sepandai dalang mendongengkan babat tanah Jawa.

Bochum, 14 Desember 2012 
[Bersambung ke cerita ke dua: 
Balada Gerbong Kereta: http://maktjik.blogspot.de/2013/10/balada-gerbong-kereta.html]

Saturday, December 08, 2012

Tercekik Mimpi


Bawa aku ke tepian, lelahku hendak bersandar, dahulu
Riak mimpi berkelebat
Lambat, pekat, menjerat
Nafas satu-satu, tersengal
Kunang-kunang hinggap di pelupuk mata, hendak mengeja
Mengaburkan pandang, mengabukan sadar, jadi abu bukan abu-abu
Teriak parau mengigau, tergesa
Pagi tak peduli, katamu
Kutunggu kau di ujung hari, setelah pukul tiga

Bochum, 8 Desember 2012

Abangku, Abang juara satu seluruh dunia


Sejak terlahir ke dunia, seperti tiba-tiba saja aku sudah punya saudara, ya memang karena kenyataannya aku lahir lebih belakangan darinya. Dia, abangku, saudara kandungku satu-satunya. Masa kecil kami, kami habiskan di Tanjungpandan, Pulau Belitong. Dulu waktu aku masih kecil, yang ada di pikiranku hanya bagaimana caranya agar aku seperti abang. Jadilah aku seorang peniru dan pengiri. Apapun yang abang lakukan, aku tak pernah mau kalah. Tapi kawan, hendak kuceritakan padamu, betapa aku menyayangi laki-laki sederhana ini.

Aku lupa, kapan abangku bisa naik sepeda. Sepedanya dulu warna biru, merk Senator. Sepeda yang dikayuhnya sepanjang hari kesana kemari, dan jarang dicuci. Aku jarang diajak abang bermain bersama kawan-kawannya, alasannya satu, ini urusan anak laki-laki katanya. Aku hanya mendengar-dengar saja mereka memperbincangkan ikan-ikan peliharaan, meriam bambu atau rencana mereka berenang di kulong, danau bekas galian timah. Aku paling senang kalau mereka, kawan-kawan abang, berkunjung ke rumah kami. Rasanya memang lebih seru bermain bersama anak laki-laki.

Dulu, kalau musim libur sekolah, abang paling senang menonton film di televisi. Film Boboho adalah salah satu film yang disukainya, film anak-anak khas tahun 90an. Gelak tawa abang ketika menonton film Boboho terkadang lebih lucu daripada film yang ditontonnya. Biasanya kami menghabiskan liburan di rumah nenek, menginap bersama sepupu-sepupu, sambil belajar berdagang di warung milik nenek. Sesekali nenek akan mengajak kami ke kebun paman untuk belajar bercocok tanam.

Dulu abang pernah punya cita-cita jadi advokat, lalu jadi pengusaha, lalu jadi pemain musik, lalu jadi apa lagi, entahlah aku pun lupa. Kami memang diajarkan ayah ibu untuk berani bermimpi dan percaya diri. Kata ibu, percuma pintar kalau tak percaya diri. Saking percaya dirinya, dulu abang sering sekali mengikuti festival band yang memang sedang ’ngetrend’ ketika itu. Gitar kesayangannya warna biru, gitar listrik yang sering dicakar-cakar oleh kucing kesayanganku.

Sampai akhir SMP, abang masih menjadi kawanku. Namun, sejak dia masuk SMA, aku tak banyak mengenal abang. Masing-masing kami seperti sudah punya dunia sendiri. Kalau dia pulang, obrolan kami tak jarang berujung pertengkaran. Waktu itu, kuanggap abang adalah orang paling menyebalkan di rumah kami. Bertahun-tahun kemudian baru aku paham. Abang dan aku ketika itu berada pada usia peralihan dari anak-anak menjelang remaja, dua-duanya keras kepala.  Jadilah kami tak pernah akur, sampai bosan ayah melerai kami.

Setamat SMA abang merantau ke Bandung. Hari itu di pelabuhan Pegantongan, kulihat abang melambai-lambai sampai hilang di kejauhan. Entah harus senang atau sedih, tapi nyatanya beberapa hari kemudian aku merasa kehilangan. Kami sekeluarga pun pindah ke Pangkalpinang. Ketika SMA aku seperti anak tunggal, paling keras kepala dan semakin menyebalkan. Hanya sesekali kudengar kabar abang kalau dia menelpon. Kalau musim liburan pun, dia lebih memilih pulang ke rumah nenek di Tanjungpandan, bukan ke Pangkalpinang. Aku tak tahu bagaimana kuliahnya di Bandung sana, aku hanya asyik dengan urusanku sendiri. Kami pun semakin jauh.

Singkat cerita, akhirnya aku pun menyusul abang ke Bandung, menjemput giliran menjadi mahasiswa. Sejak saat itulah aku banyak mengenal abang. Kami jauh dari orang tua, lalu seperti tiba-tiba saja dia tak semenyebalkan dulu. Ketika itu, aku tiba-tiba dihinggapi rasa tak percaya diri. Masih kuingat sampai hari ini kata-kata abang: ‘Mereka memang orang-orang hebat. Tapi ingat, kau juga bisa menjadi bagian dari mereka.‘ Abang tak ingin aku mengkhianati mimpi-mimpiku sendiri. Suatu malam di bulan Juli, saat pengumuman kelulusan tes masuk Perguruan Tinggi, aku diliputi sukacita. Allah mengabulkan doa kami. Lalu abang mengingatkanku: ‘Boleh kau bersukacita, tapi ini baru awal. Perjuangan panjang siap menunggumu mulai besok‘.

Saat di Bandung dulu, aku sering sekali sakit. Abang tak pernah mengeluh mengurusku setiap aku sakit, tak pernah sekalipun. Kalau sakitku tak begitu parah, abang melarangku menelpon ayah ibu. Abang mengajarkanku agar tak menjadi cengeng. Orang rantau itu harus kuat kata abang. Sampai tiba waktunya kami harus berpisah, aku pun tegar berjalan dengan kedua kakiku hingga hari ini.

Abangku orang yang cerdas dan jujur, buku yang dibacanya bermacam-macam. Kalau dia berbicara, banyak orang yang akan menyimaknya, karena kata-katanya berisi. Dulu dia dipercaya kawan-kawannya untuk menjadi ketua Asrama Mahasiswa Belitong di Bandung. Bukan perkara gampang, Kawan, mengurus belasan mahasiswa rantau dengan belasan perangai pula. Bertahun-tahun kemudian, aku yakin abang pasti bersyukur pernah menjadi ketua Asrama yang sebenarnya tak pernah diinginkannya. Abang paling sedih ketika marah. Kata abang, dia menjadi seperti orang lain, orang yang bahkan tak dikenalnya sendiri.

Kini abang telah menjadi ayah dari seorang anak laki-laki yang lucu, Dhani namanya. Maafkan aku tak bisa hadir di hari-hari bahagiamu, Bang. Dari dulu hingga sekarang, aku memang tak pernah menjadi adik yang baik, tak pernah sekali pun. Kerjaku hanya menyusahkanmu saja, pun tak terhitung kalinya aku telah menyakiti hatimu. Terima kasih Bang, untuk semuanya, cintamu untukku tak habis-habis dan tak pernah bisa kubalas sampai mati. Semoga Allah senantiasa memberkahi hidupmu, Bang.

Aku tak pernah bisa memilih siapa yang menjadi abangku, tapi aku tak pernah menyesal telah menjadi adiknya. 7000 mil jarak memisahkan kami, tapi aku selalu merasakan hangat cintanya begitu dekat. Karena kata abang, keluarga adalah hal pertama yang hadir dalam hidup manusia dan mereka akan selalu ada untuk kita. Abang telah mengajarkanku menjadi seorang manusia, seutuh-utuhnya. Karena abang, aku berani bermimpi, berani mencintai, berani hidup dan berani menjadi aku. 

Bochum, 7 Desember 2012

Tulisan lain tentang Ayah dan Ibu, 3 orang inilah, manusia-manusia terbaik dalam hidupku:

http://maktjik.blogspot.de/2012/11/mamo-ayah-juara-satu-seluruh-dunia.html
http://maktjik.blogspot.de/2012/11/mamak-ibu-juara-satu-seluruh-dunia.html

Saturday, December 01, 2012

Medan kedua belas


Lalu apalagi yang hendak kau tanyakan pada bingkai-bingkai jendela? Terserak, lancip kepingnya tak lagi segitiga. Sedih berujar, air mata telah mengering tak bersisa pada sudut pipi merah saga. Tangis mengiris malam, lalu dinding seolah bertelinga. Menangkap lekat-lekat, sayup menderu memecah bongkah-bongkah baja, porak poranda. Kaki kecil kehilangan raga, raganya kehilangan nyawa. Hujan tak lagi air, tapi peluru. Angin tak lagi mengantar debu, tapi beku. Takut pun lantas meringkuk tak berkutik, tak tahu lagi jalan pulang...

Bochum, 1 Desember 2012


Saturday, November 24, 2012

Malam diam, heningnya pejam

Aku tak kenal lagi sore yang dulu
Malam kian panjang saja
Tertatih aku menunggu pagi
Pagi beku meringis, mengiris
Mengantar siang kelabu
Lalu gelap mengintai remang sore
yang belum pun tegak berdiri
terseok rangkaknya dirampas malam

Bochum, 24 November 2012


Friday, November 23, 2012

Sukamantri [2]


hujan sejak pukul tujuh pagi

Mari merayakan hujan bersama keping-keping hidup di Sukamantri, begitu mungkin isi kepalaku saat itu. Kuyup hujan pukul tujuh pagi, kalau sudah begini kami tak peduli. Bocah-bocah kecil sudah ramai sejak tadi, berceloteh di bawah payung warna-warni. Ah, rindu aku meminjam mata mereka, hidup tak banyak perkara, semua serba sederhana. Satu-satu lekat kutatap wajah mereka, ada mimpi dalam sorot mata nan lugu, hidup, penuh energi seperti hujan pagi ini.

Selalu ada yang menarik yang bisa dinikmati sejak pagi. Ramah mentari malu-malu mengintip di celah-celah gemunung, menyeruak halimun yang diam-diam menunggu. Kerlip lampu dari kejauhan samar-samar menari. Rumput masih diam, angin pun masih malas merayu.

Warga Sukamantri selalu punya cara sendiri untuk merayakan hidup. Walaupun harus melewati sudut-sudut gang yang sempit, namun selalu ada karnaval meriah setiap bulan Agustus. Lapangan yang tak seberapa luas di samping Masjid Miftahul Huda selalu ramai saat hari kemerdekaan tiba, pun tak kalah meriah menyambut dua hari raya. Kalau musim hujan tiba, selokan kami sering sekali meluap, jalanan menjadi becek. Namun jarang kudengar orang bertengkar karena harus bergantian melintasi jalanan tergenang. Kendaraan dari arah berlawanan harus saling mengalah karena kelok-kelok jalan yang sempit. Di sana mereka berbagi di tengah keleluasaan yang serba sedikit, secarik bahagia yang sederhana.

Di salah sudut gang, seorang pengemis setia menengadah dengan kaleng lusuh berkarat. Belum menggerincing kalengnya pagi ini, tatapnya lesu. Aku paling tak betah bertemu pengemis, serba salah. Pulang-pulang pasti aku akan mengutuk dalam hati. Antara mengutuki diriku sendiri, atau mengutuki sang pengemis. Belas kasihan itu fitrah manusia, tapi mengemis juga tak baik. Pengemis di sudut jalan itu masih segar bugar, tak malu apa dia dengan nenek penjual surabi di depan Pasar Suci, kutukku dalam hati. Kalau aku mengabaikannya: ‘Tak punya belas kasihan!‘, kutukku lagi kepada diriku sendiri. Sungguh tak senang hatiku dihadapkan pada perasaan campur aduk seperti ini.

Ah sudahlah, mari kuceritakan soal perasaan yang lain, milik manusia-manusia di Sukamantri. Bandung telah lama menjadi salah satu tempat tujuan belajar bagi pemuda-pemudi dari pelosok Nusantara. Dari sana muncullah hubungan unik dalam simpul-simpul masyarakat urban kaum pendatang dengan kaum pribumi. Entah berapa ratus rumah sewa dan kamar-kamar kos mahasiswa yang berbagi jengkal-jengkal tanah di Sukamantri, yang umumnya dimiliki juragan-juragan kos pribumi. Ada keterkaitan yang unik antara pemilik kos dan para penyewa petak-petak bangunan ini. Walau sering kudengar gerutu mahasiswa mengeluhkan harga sewa, namun selalu ada persaudaraan yang tulus di sana.

Aku senang menghabiskan sore di salah satu warung nasi di sudut Sukamantri. Ibu pemilik warung nasi ini juga menyewakan beberapa kamar kos untuk mahasiswa. Binar matanya jika kuminta bercerita tentang anak-anak kosnya zaman dulu, ketika Bandung belum musim macet, ketika pohon-pohon rindang di jalan Surapati masih berderet-deret. ‘Dulu mah Neng, anak kos Ibu ada yang suka sekali Ibu masakin oncom, padahal orang Sumatera. Sekarang katanya sudah jadi orang hebat di Jakarta. Kalau hari raya, tak pernah lupa dia menelpon Ibu dari kampung halamannya.‘ Nostalgia sederhana seperti itu selalu menyenangkan untuk dikenang.


Sore yang damai di Sukamantri
Bapak kos kami baru saja pergi. Tengah malam di awal musim gugur tahun ini dering HP membangunkanku, sebait pesan dari sahabatku satu kos dulu mengabarkan berita sedih ini. Innalillahi wainna ilaihi roji’un. Pak Selam, salah satu tokoh masyarakat Sukamantri, bapak kos kami yang baik hati. Kubayangkan harum sajadah Masjid Miftahul Huda, masjid wakaf beliau, mengiringi duyun masyarakat Sukamantri mengantar jenazah beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Sedih aku jika terkenang obrolan kami di suatu pagi. Saat itu beliau memang sudah sakit, aku bercerita pada beliau tentang mimpiku untuk sekolah lagi. Antusiasnya tak pernah hilang walaupun aku tahu beliau sudah tak sesehat dulu. Terima kasih Pak, telah menjadi ayah untuk kami, semoga Allah merahmati engkau.

Di sudut-sudut gang Sukamantri, di pinggir-pinggir gerobak pedagang nasi, di setiap gesek sepatuku menyusuri gang setiap pagi, di sana kutemui pelajaran hidup berharga. Kisah tentang kesederhanaan, persaudaraan, peluh-peluh perjuangan dan keindahan hidup di tengah keterbatasan. Mereka yang telah menyediakan ramah keluarganya untuk kami, mereka yang telah memasak makanan untuk perut-perut lapar kami, mereka yang telah mengiringi langkah-langkah kecil kami mengejar mimpi. Kepada mereka, kami tak pernah bisa membalas butir-butir kebaikan yang telah tercurah seperti hujan hari ini, yang tak juga hendak  berhenti sejak pukul tujuh pagi.

Bochum, 23 November 2012
[Tamat]

Friday, November 16, 2012

Sukamantri

kampung kecil yang ramai sejak dini hari


Laju roda menggilas jalanan tak rata sejak pagi buta, menyusuri gang-gang sempit di antara pemukiman padat di jantung kota. Entah berapa nyawa yang berbagi hidup di antara petak-petak rumah yang rata-rata tak berpekarangan ini. Para perantau yang mengadu nasib, pribumi-pribumi “tersingkir“ atau barangkali anak-anak muda yang jauh-jauh datang berbekal mimpi. Entah mimpi apa pula, nekat mungkin lebih tepatnya.

Sebagian besar para pengadu nasib dari negeri-negeri jauh ini mengais rezeki dengan berniaga. Riuh tawar-menawar memecah hening bahkan sebelum matahari memulai pagi. Pedagang tumpah ruah meniagakan hasil bumi Priangan yang tersohor karena kesuburannya. Becek dan pengap menguap dari kios-kios sempit di Pasar Suci yang ramai sejak dini hari. Kalau sedang “beruntung“, bau sampah menyeruak dari timbunan di sebelah timur pasar. Kumuh, serba tak teratur dan kotor, begitulah kesan ketika pertama kali kuinjakkan kakiku di kampung ini. Sukamantri, sebuah kampung di jantung kota Bandung, yang geliatnya tak pernah padam hingga hari ini.

Di salah satu petak bangunan di Sukamantri inilah, kuhabiskan 7 tahun hidupku mengenal berupa-rupa manusia. Kampung kecil kami ini seperti miniatur Indonesia, menampung masyarakat kelas menengah ke bawah dari berbagai etnik seluruh Nusantara. 

Aku tak paham, mengapa orang rela menukar kedamaian di kampung halamannya dengan riuh ibu kota, bergelut dengan asap kendaraan, sampah, dan debu jalanan. Kalau aku pandai melukis, mungkin tak habis-habis kanvas kucorat-coret untuk menggambarkan kekagumanku pada keindahan hidup di kampung ini. Bait-bait cerita selalu berkisah tentang hidup manusia, ya tentang hidup dan perjuangannya, bukan tentang kematiannya. Di sana, kutemukan keindahan yang kudefinisikan sendiri di kepala pemimpiku yang bebal ini.

Mari kita mulai cerita ini dari kisah pedagang sate. Mengapa pedagang sate? Karena, dia lah sang pemecah hening pertama, berteriak-teriak di malam buta. Wangi asapnya hinggap dari celah-celah jendela, membangunkan perut-perut lapar anak-anak muda yang hobi menukar malamnya dan baru tidur menjelang pagi. Malam demi malam, roda gerobak sang pedagang sate berkelok-kelok mencari pembeli, menjemput rezeki dalam hembus angin dingin hingga dini hari. Sesekali di sudut-sudut gang, pedagang sate akan berpapasan dengan pedagang sekoteng, bandrek dan bajigur, minuman hangat khas tanah Sunda. Gerobak pedagang sekoteng juga tak kalah gesit menyusuri gang-gang sempit Sukamantri, membawa toples-toples berisikan air gula merah, santan, roti dan rupa-rupa bahan racikan lainnya.

Malam makin larut, pekatnya berganti remang dan pagi sudah menunggu. Satu per satu gerobak pedagang sarapan dikeluarkan oleh pemiliknya, pedagang bubur, nasi kuning, kupat tahu, lontong kari, surabi, roti dan aneka rupa menu sarapan pagi. Makanan adalah salah satu penemuan manusia yang tak ada habisnya. Aku juga tak paham, dari mana, sejak kapan dan siapa yang pertama kali menamai makanan-makanan ini dengan nama-nama yang khas, bahkan kadang-kadang aneh.

Hening pagi di Sukamantri

Di sudut gerbang gang Sukamantri, teronggok kios kecil kedai kopi, buka tepat pukul 6 pagi dan baru tutup hampir tengah malam. Pemiliknya orang Jawa yang sudah ke Sunda-sundaan, terlalu lama merantau mungkin. Kedai ini menyediakan bubur kacang hijau, mie instan modifikasi dan tentu saja kopi. Pemiliknya ramah dan paling betah meladeni penarik becak yang kerap singgah bersama makelar-makelar dadakan dari Pasar Suci, mengobrol ini itu dari mulai sepak bola sampai politik negeri ini. Lucu sekaligus ironis.

Menjelang siang, berganti-ganti gerobak pedagang parkir di sudut-sudut gang. Kali ini giliran pedagang buah, dan warung-warung nasi. Lepas tengah hari, warung ini ramai dikerubungi pembeli, rata-rata anak kos yang jauh-jauh merantau hanya untuk menjadi mahasiswa. Kata “maha“ yang begitu berat harus dipikul oleh pundak-pundak anak-anak muda ini, yang terkadang lupa akan ke“maha“annya. Bertahun-tahun kemudian mereka entah jadi apa, ibu-ibu pemilik warung nasi ini tak pernah tahu, tak lebih tahu dari mereka sendiri.

Bochum, 16 November 2012
[Bersambung]

Saturday, November 10, 2012

Manusia Laut

sebuah identitas budaya masyarakat pesisir Belitong



Teks oleh: Hesty Susanti
Foto essay oleh: Ponda Sujadi

170an mil di selatan lingkar khatulistiwa, dimana matahari menepati janjinya mengukir senja yang sama sejak bumi ini ada. Di sana, di perairan Nusantara, tersebutlah sebuah pulau tropis yang dianugerahi keindahan pantai-pantai berpasir putih dan hasil laut berlimpah. Belitong, demikian masyarakat lokal menyebut kampung halaman mereka.

Pukul setengah enam sore, langit sebelah barat merona jingga, matahari beranjak pulang. Senja adalah pertanda alam menutup hari, ketika sebagian besar orang mengakhiri aktivitas utama mereka sejak pagi. Namun, bagi para nelayan pesisir, saat senja merekah adalah saat bagi mereka membuka hari, menjemput rezeki di tengah samudera.

Perahu-perahu dikayuh menuju lautan luas. Mesin-mesin dinyalakan, meraung-raung menantang gelombang. Saat angin sedang bagus, para nelayan ini akan menghabiskan sepanjang malam di atas perahu, menyusuri mil demi mil perairan Belitong demi mengumpulkan hasil laut sumber nafkah utama bagi mereka.

Menjelang pagi, perahu-perahu nelayan merapat ke dermaga. Para “perae“ telah menunggu untuk membeli hasil tangkapan para nelayan. Ada pula yang memilih menjual langsung ke pelelangan atau perusahaan perdagangan yang akan mengemas ikan-ikan segar ini dalam kemasan beku untuk dikirim ke Pulau Jawa atau diekspor ke luar negeri. Sebagian lagi mengolah hasil tangkapan mereka menjadi ikan asin untuk konsumsi pasar lokal maupun luar daerah.

Turun-temurun nelayan tradisional pesisir Pulau Belitong, baik suku Sawang, Melayu maupun Bugis, menjelajah samudera berbekal perahu “kater“, perahu motor maupun bagan. Laut bagi mereka ibarat ladang bagi petani, yang menjadi tumpuan hidup bukan hanya untuk saat ini, namun juga bagi generasi-generasi selanjutnya.

Rangkaian rantai ekonomi yang saling berkaitan ini telah membentuk suatu identitas budaya. Kehidupan masyarakat pesisir Pulau Belitong sangat bergantung pada laut. Laut adalah hidup, kebanggaan dan harga diri mereka. Identitas budaya ini memiliki keunikan berpadu dengan potensi keindahan pantai. Sebuah potensi pariwisata yang sangat menjanjikan jika dikelola dengan bijaksana, tentu saja dengan tetap memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan dan budaya lokal. Kearifan memanfaatkan alam menjadi tantangan bagi generasi Belitong saat ini.

Di saat potensi pariwisata Belitong didengung-dengungkan di berbagai media lokal, nasional bahkan internasional, sekonyong-konyong rencana beroperasinya kapal hisap di perairan Belitong datang bak petir di siang bolong. Bagi masyarakat Belitong, ini adalah masalah pilihan hidup. Memilih untuk diam dan membiarkan laut mereka rusak atau memilih menjadi arif mempertahankan kelestarian alam yang sudah diwariskan kepada mereka. Pengoperasian kapal hisap ini tentunya hanya akan mendatangkan keuntungan sesaat, itu pun tentu saja keuntungan bagi segelintir orang terutama para pengusaha dan pemerintah yang kongkalikong menjual kampungnya sendiri.

Kerusakan laut akibat beroperasinya kapal hisap bukan hanya isapan jempol. Peneliti dari Universitas Bangka Belitung melaporkan, dari penelitian pada 30 titik wilayah perairan Pulau Bangka dan Belitung sejak 2007-2010, sekitar 50 persen terumbu karang mengalami kerusakan akibat tertutup lumpur sebagai dampak beroperasinya kapal hisap dan TI apung (tambang inkonvensional) serta diperparah oleh aktivitas pengeboman ikan [*]. Ribuan nelayan menjerit mengeluhkan hasil tangkapan mereka yang kian menurun dari hari ke hari.

Kalau kerusakan laut sudah nyata-nyata di depan mata, jangan berbicara lagi tentang pariwisata. Identitas budaya tadi secara perlahan akan hilang. Pemeran-pemeran hidup dalam foto-foto ini hanya akan menjadi kenangan masa lalu yang hilang dilupakan zaman. Pada akhirnya Pulau Belitong tinggal menunggu hari menuju kehancuran. Lalu pertanyaan terbesar yang harus kita jawab adalah: “Apa yang tersisa untuk anak cucu kita?“

Bochum, 10 November 2012


Seorang anak nelayan Tanjung Kubu sedang bersiap-siap melaut pada suatu sore
Nelayan tradisional Tanjung Kubu berangkat melaut menggunakan perahu “kater“ 

Perahu-perahu nelayan di perairan Tanjung Kubu

Para nelayan Tanjung Batu sedang membangun jembatan untuk memancing


Nelayan-nelayan Tanjung Batu pulang memancing

Seorang pedagang pengumpul (atau “perae“ dalam bahasa lokal) sedang menuju dermaga menunggu hasil tangkapan para nelayan

Proses pensortiran ikan di salah satu perusahaan pengekspor di Tanjungpandan

Seorang nelayan di desa Air Saga sedang memperbaiki perahu


Proses pengeringan ikan asin di desa nelayan Tanjung Binga


Perahu-perahu nelayan Batu Itam bersandar saat laut sedang surut



Anak-anak nelayan Batu Itam mencari kerang (atau “keremis“ dalam bahasa lokal)


Perahu  nelayan bersandar di pantai Air Saga saat laut sedang surut


Nelayan pulang memancing di pantai Tanjung Pendam


Perahu motor menuju Pulau Selat Nasik


Perahu motor di Pelabuhan Tanjungpandan menuju Pulau Selat Nasik


Perahu nelayan dari kejauhan di perairan Tanjung Ru’ Pegantongan


Seorang nelayan Dendang sedang mengayuh perahu


Nelayan Tanjung Binga berangkat melaut menggunakan perahu sederhana


Seorang nelayan sedang melakukan proses pengeringan ikan asin di desa Tanjung Binga

Saturday, November 03, 2012

Aku ketika Tua [2]


Temaram beranda tersiram purnama, sesekali serangga malam singgah mencari cahaya. Kita hanyalah bayang-bayang samar menuju malam. Di antara rumpun-rumpun gelagah di kaki bukit sana, dulu pernah kau bercerita. Ada nelayan paruh baya, terampil dia membuat perahu. Dia tak pernah sekolah, tapi mahir membaca gugus bintang, haluan satu-satunya saat dia berada di tengah samudera.

Katamu, belajar itu sederhana saja. Mimpiku dulu tak muluk-muluk, kau juga. Toh sekarang dalam damai yang sederhana, sudah lebih dari cukup kita habiskan usia senja kita. Aku menulis, kau membaca. Kau melukis, aku bersenandung saja. Entah berapa sore lagi yang tersisa untuk kita di beranda ini. Tak banyak tanda, tahu-tahu telah lewat satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan kita pun semakin menua.

Obrolan kita tak jauh dari kata "dulu", dan selorohmu menertawakan kebodohan-kebodohan masa muda kita. Suatu waktu kau berkata, katamu kau ingin melihat ujung dunia, entah dimana. Ujung dunia? Saat nafas-nafas manusia seperti meniti hati-hati di pinggir jurang desing peluru? Atau, saat sunyi mengendap lamat-lamat di tepi-tepi jurang gemunung tengah benua? Kakiku pernah ke sana, kau juga. Lalu kita tersenyum bangga atas pencapaian konyol sepanjang masa.

Besok kalau ada waktu, aku ingin merombak perpustakaan kita. Rak buku kita juga sudah menua. Kata anak-anak di sekolah Pak Cik, mereka ingin menghabiskan libur Ramadhan di perpustakaan kita. Siap-siap lah kau hibur mereka. Kalau musim sedang bagus, akan kuajak mereka ke hutan mencari cendawan atau boleh kau ajak mereka memotret senja di ujung muara.

Tahun depan, muridku dulu hendak berlibur ke sini katanya. Musim panas ini, dia akan pulang membawa oleh-oleh dari negeri sakura, rampung sudah studinya setelah 5 tahun yang penuh warna. Satu persatu muridku menjelajah dunia, kini kutahu apa itu rasa bangga di hati seorang guru. Bagaimana kabar sahabatmu dulu? Masih sering dia mendaki gunung? Satu persatu pula sahabat terbaik mendahului kita, kita pun menunggu giliran tiba.

Semalam aku bermimpi melihat ladang gandum luas tak bertepi, sudah kuning kecoklatan menunggu panen raya. Lalu kita berubah kembali muda, tiba-tiba seekor elang terbang labuh ke arah kita. Matanya mengancam penuh selidik. Pertanda apa, entahlah. Aku ragu, apakah tahun depan masih ada untuk kita? Mungkin potret kemarin sore di dermaga itu, bayang terakhir kita.

Bila aku mendahuluimu, aku ingin kau teruskan tulisanku tentang rumah hari tua, naskahnya sudah kusimpan rapi di komputer kita. Pun bila engkau yang mendahuluiku, akan kuteruskan petualanganmu menyusuri kampung pesisir setiap senja. Merangkai potret diam namun pandai bercerita, lalu kutulis kisah bahwa aku bangga pernah dipertemukan dengan seorang manusia, kau...

Bochum, 4 November 2012
Photo illustration by Ponda Sujadi
[Sambungan dari tulisan pertama: http://maktjik.blogspot.de/2012/11/aku-ketika-tua.html]

Aku ketika Tua


Pokok-pokok cengkeh berjajar di tepi padang rumput, ilalang bergoyang lembut disapa angin, di bukit ini rumah kita, sederhana saja, panggung kayu beratap rumbia. Di beranda ini kita habiskan sore, berbincang tentang nostalgia, sambil menyeruput kopi hangat, lalu kucing kita bermanja-manja tak hendak lepas dari pangkuan. Kalau hujan tentulah aku yang akan lebih berbahagia, carik-carik kertas nampaknya akan lebih banyak tergores tinta, besok saja kita berburu senja.

Coba kau lihat di ujung muara, perahu itu pun hanya tergolek ditinggalkan tuannya, cuaca sedang tak berpihak pada kita. Kalau besok cerah, kutemani lah kau mencari angin. Dulu waktu kita masih muda, pernah kau bercerita tentang layang-layang yang sekonyong-konyong putus dari talinya, pemiliknya entah siapa. Kapan-kapan boleh kau ajak anak-anak bermain layang-layang di pekarangan kita.

Besok sudah hari Jumat, sebentar lagi musim anak-anak libur sekolah. Sholatlah di Surau, sementara aku ingin menghabiskan sisa hari di sekolah Pak Cik. Minggu lalu anak-anak bertanya tentang persoalan aljabar sederhana, kupenuhi janjiku besok. Sebenarnya aku hanya ingin bercerita saja pada mereka. Lalu jemputlah aku menjelang pukul empat, lepas Ashar kita ke dermaga saja, naik sepeda. Barangkali saja senja besok itu senja milikmu, seperti tempo hari. Silhoutte perahu nelayan kapan hari itu jadi kesayanganku hingga hari ini. 

Tiba-tiba kita terdiam, dan aku bertanya memecah bisu: "Pernah kau menyesal tentang masa muda?" Katamu, "Ah, untuk apa? Toh, hari tak akan bergerak mundur. Kau mau habiskan sisa umurmu di sini saja aku sudah bahagia". "Ya sudah, hari sudah sore, jangan lupa kau tutup pintu kandang ayam kita, sementara aku menyalakan lampu pelita. Nanti malam lepas mengaji, kita makan di beranda depan, bulan sedang purnama, tak kalah cantik dibanding senja di dermaga".

Bochum, 3 November 2012
Photo illustration by Ponda Sujadi
[Bersambung ke tulisan ke dua: 
http://maktjik.blogspot.de/2012/11/aku-ketika-tua-2.html]

Surat kepada Kawan

Hujan baru berhenti menyisakan jalan setapak basah yang dipenuhi dedaunan merah kekuningan. Langkahku sedikit terseok demi menghindari genangan air sambil memanggul ransel yang sedikit berat. Hari masih sangat muda, mendung menggelayut rendah disertai hembusan angin dingin, musim gugur sudah menghampiri kami. 

Stasiun sudah ramai oleh lalu lalang manusia. Kawan, hidup ini tak ubahnya penumpang di stasiun kereta, masing-masing menunggu gilirannya tiba.

Kereta yang membawaku melaju meninggalkan kota kecilku, Bochum. Kota kecil yang telah membuatku jatuh cinta akan kesederhanaannya. Dulu, dulu sekali, Bochum dan kota-kota lainnya di sepanjang Sungai Ruhr adalah kawasan pertambangan dan industri berat. Berpuluh-puluh tahun kawasan ini berkarat karena beban kerusakan lingkungan. Sungai-sungai tercemar, polusi udara menjadi-jadi. Tapi, semua itu tinggal kenangan menyisakan romantisme nostalgia masa lalu untuk dijadikan pelajaran berharga bagi generasi selanjutnya.

Saat ini, area-area bekas tambang dan industri tersebut dijadikan kawasan-kawasan konservasi dan museum-museum yang menarik perhatian wisatawan dari seluruh dunia. Musim panas yang lalu, sempat kukunjungi beberapa industriekultur di Ruhr area. Butuh waktu berpuluh-puluh tahun dan biaya yang tidak sedikit untuk mengembalikan keseimbangan alam yang terlanjur rusak. Itu pun tak akan pernah kembali seperti semula.

Kereta yang membawaku terus melaju memasuki daerah Bavaria. Rumah-rumah petani di tepi ladang nan hijau berkerumun di sela-sela bukit tepian sungai. Daun-daun mulai menguning kemerahan, melukis keindahan khas musim gugur. Aku dilahirkan jauh di negeri tropis, diasuh lembut hawa hangat sepanjang tahun. Pulau kelahiranku ibarat mimpi-mimpi keindahan dunia yang mendayu-dayu. Pantai perawan berpasir putih, sejauh mata memandang hanya laut biru, gemuruh ombak menghempas saling beradu, hasil laut melimpah ruah. Perahu-perahu nelayan terombang-ambing dipermainkan ombak. Senja mengantarkan mereka dalam harmoni, dipeluk malam nan syahdu. Di sana kutinggalkan jejak-jejak masa kecilku, kurajut cita-citaku hingga hari ini.

Pulauku telah menderita sakit yang berkepanjangan. Namun, seperti tak habis-habis beban yang selama ini telah membuatnya berkarat dan terluka. Ancaman datang silih berganti di darat dan di laut. Perkebunan kelapa sawit berhektar-hektar, lubang-lubang menganga bekas tambang telah merenggut berhektar-hektar pula kawasan hutan yang seharusnya dilindungi. Kabar buruk lain kini berhembus sampai ke telingaku. Dari jendela kereta, tatapanku menerawang jauh, hatiku gundah.

Kubayangkan kapal-kapal hisap nan serakah akan mengeruk laut kami, menyisakan keruh air mata. Tak akan ada lagi laut biru tempat nelayan-nelayan kami nan berani menggantungkan periuk belanga keluarganya. Awan hitam bergumpal-gumpal menggiring mimpi buruk dari tanah seberang, Pulau Bangka yang sudah terlanjur luluh lantak oleh tangan-tangan celaka.

Wahai Kawan, semua keindahan ini hanya titipan Tuhan. Tak adalah hak kita untuk menjadi rakus tak terkendali. Tak belajarkah kita dari sejarah yang sudah-sudah, tak ada kesudahan yang baik bagi tangan-tangan serakah. Wahai tangan-tangan celaka, jangan kau renggut tanah dan laut kami. Di sanalah hidup, kebanggaan, dan harga diri kami.

Tangan-tangan kecilku meraba-raba kerang di sepanjang pantai. Mentari mulai beranjak ke peraduan, sinarnya menyilaukan. Kulihat silhouette perahu-perahu nelayan di kejauhan. Bayang-bayang masa kecilku saling beradu di balik jendela kereta. Pantai-pantai di pulau kecilku tak banyak berubah dan aku ingin tetap mengingatnya seperti itu, indah dalam kesederhanaan yang akan kami wariskan hingga anak cucu nanti.

Lima jam berlalu, keretaku tiba di stasiun terakhir, Erlangen. Lalu lalang manusia tak kuhiraukan lagi. Mataku basah karena rindu sekaligus gundah. Aku bukanlah siapa-siapa, tapi rasa cintaku kepada tanah kelahiranku tak perlu kau pertanyakan lagi, Kawan. Kutitip doa dan rindu untuk mereka yang berjuang dengan harapan yang tak pernah padam untuk menjaga pulau kami. Selamat berjuang!

Sejauh mata memandang hanya laut biru
membentang, kurentangkan kedua tanganku
angin penuhilah paru-paruku
ingin kuhabiskan hariku di atas perahu
terombang ambing tak peduli melawan waktu
gemuruh ombak, bawa aku pulang ke laut biru

Bochum-Erlangen, musim gugur 2012


Perwakilan Bangsa-Bangsa

Gadis Rusia tetangga sebelah semakin hari semakin menjadi perokok berat, tak pernah kulihat wajahnya pagi-pagi sudah sekusut itu. Pernah suatu malam aku terbangun hendak ke kamar kecil, kuperhatikan dia merokok sambil murung di balkon. Apa yang sedang dipikirkannya di malam selarut itu, atau kalau tidak, sudah bisa kusebut pagi buta. Lucunya tetangga baru sebelah kamarnya adalah seorang dokter berkebangsaan Syria. Dokter Syria itu bernama campuran barat & Arab, baru pertama kukenal orang Arab beragama Nasrani, dan dia selalu bangun sejak dini hari. 

***

Di kamar ujung sebelah utara ada pula gadis Israel, keyboard laptopnya pun berhuruf Hebrew, dengan takzim dia mengenalkan diri & mengucapkan salam, tak kusangka dia seorang Muslim. 

***

Ada lagi nona-nona asal Korea, pintar sekali memasak & baik hati, dia tak berbahasa Inggris, hanya Korea & Jerman dengan pelafalan yang harus kudengar dengan seksama. Oiya kami juga punya wakil baru, seorang gadis peranakan Jerman-Kenya, wajahnya campuran seperti Obama, fasih Inggris, Jerman & Swahili, cerdas penuh inisiatif.

***

Gemerosok timbul tenggelam suara radio dari negeri jauh di seberang samudera, sayup-sayup kudengar percakapan asing dari ruang tengah, gadis Finlandia itu kah?

***

Aku menemukan diriku tenggelam dalam pusaran berbagai budaya yang begitu deras. Kudengar berbagai bahasa dari penutur aslinya. Jiwa mudaku begitu menikmatinya.

Bochum, musim gugur 2012

Sebagian tetangga selantai, dari kiri ke kanan: Korea, Syria, Malaysia, Finlandia, Israel, Uganda, Jerman-Kenya, Jerman-Rusia, Jerman, Jerman, Jerman. 4 orang lagi yang tidak hadir berasal dari Rusia, Thailand, India dan Jerman