Saturday, November 03, 2012

Aku ketika Tua [2]


Temaram beranda tersiram purnama, sesekali serangga malam singgah mencari cahaya. Kita hanyalah bayang-bayang samar menuju malam. Di antara rumpun-rumpun gelagah di kaki bukit sana, dulu pernah kau bercerita. Ada nelayan paruh baya, terampil dia membuat perahu. Dia tak pernah sekolah, tapi mahir membaca gugus bintang, haluan satu-satunya saat dia berada di tengah samudera.

Katamu, belajar itu sederhana saja. Mimpiku dulu tak muluk-muluk, kau juga. Toh sekarang dalam damai yang sederhana, sudah lebih dari cukup kita habiskan usia senja kita. Aku menulis, kau membaca. Kau melukis, aku bersenandung saja. Entah berapa sore lagi yang tersisa untuk kita di beranda ini. Tak banyak tanda, tahu-tahu telah lewat satu minggu, satu bulan, satu tahun, dan kita pun semakin menua.

Obrolan kita tak jauh dari kata "dulu", dan selorohmu menertawakan kebodohan-kebodohan masa muda kita. Suatu waktu kau berkata, katamu kau ingin melihat ujung dunia, entah dimana. Ujung dunia? Saat nafas-nafas manusia seperti meniti hati-hati di pinggir jurang desing peluru? Atau, saat sunyi mengendap lamat-lamat di tepi-tepi jurang gemunung tengah benua? Kakiku pernah ke sana, kau juga. Lalu kita tersenyum bangga atas pencapaian konyol sepanjang masa.

Besok kalau ada waktu, aku ingin merombak perpustakaan kita. Rak buku kita juga sudah menua. Kata anak-anak di sekolah Pak Cik, mereka ingin menghabiskan libur Ramadhan di perpustakaan kita. Siap-siap lah kau hibur mereka. Kalau musim sedang bagus, akan kuajak mereka ke hutan mencari cendawan atau boleh kau ajak mereka memotret senja di ujung muara.

Tahun depan, muridku dulu hendak berlibur ke sini katanya. Musim panas ini, dia akan pulang membawa oleh-oleh dari negeri sakura, rampung sudah studinya setelah 5 tahun yang penuh warna. Satu persatu muridku menjelajah dunia, kini kutahu apa itu rasa bangga di hati seorang guru. Bagaimana kabar sahabatmu dulu? Masih sering dia mendaki gunung? Satu persatu pula sahabat terbaik mendahului kita, kita pun menunggu giliran tiba.

Semalam aku bermimpi melihat ladang gandum luas tak bertepi, sudah kuning kecoklatan menunggu panen raya. Lalu kita berubah kembali muda, tiba-tiba seekor elang terbang labuh ke arah kita. Matanya mengancam penuh selidik. Pertanda apa, entahlah. Aku ragu, apakah tahun depan masih ada untuk kita? Mungkin potret kemarin sore di dermaga itu, bayang terakhir kita.

Bila aku mendahuluimu, aku ingin kau teruskan tulisanku tentang rumah hari tua, naskahnya sudah kusimpan rapi di komputer kita. Pun bila engkau yang mendahuluiku, akan kuteruskan petualanganmu menyusuri kampung pesisir setiap senja. Merangkai potret diam namun pandai bercerita, lalu kutulis kisah bahwa aku bangga pernah dipertemukan dengan seorang manusia, kau...

Bochum, 4 November 2012
Photo illustration by Ponda Sujadi
[Sambungan dari tulisan pertama: http://maktjik.blogspot.de/2012/11/aku-ketika-tua.html]

No comments: