Saturday, November 10, 2012

Manusia Laut

sebuah identitas budaya masyarakat pesisir Belitong



Teks oleh: Hesty Susanti
Foto essay oleh: Ponda Sujadi

170an mil di selatan lingkar khatulistiwa, dimana matahari menepati janjinya mengukir senja yang sama sejak bumi ini ada. Di sana, di perairan Nusantara, tersebutlah sebuah pulau tropis yang dianugerahi keindahan pantai-pantai berpasir putih dan hasil laut berlimpah. Belitong, demikian masyarakat lokal menyebut kampung halaman mereka.

Pukul setengah enam sore, langit sebelah barat merona jingga, matahari beranjak pulang. Senja adalah pertanda alam menutup hari, ketika sebagian besar orang mengakhiri aktivitas utama mereka sejak pagi. Namun, bagi para nelayan pesisir, saat senja merekah adalah saat bagi mereka membuka hari, menjemput rezeki di tengah samudera.

Perahu-perahu dikayuh menuju lautan luas. Mesin-mesin dinyalakan, meraung-raung menantang gelombang. Saat angin sedang bagus, para nelayan ini akan menghabiskan sepanjang malam di atas perahu, menyusuri mil demi mil perairan Belitong demi mengumpulkan hasil laut sumber nafkah utama bagi mereka.

Menjelang pagi, perahu-perahu nelayan merapat ke dermaga. Para “perae“ telah menunggu untuk membeli hasil tangkapan para nelayan. Ada pula yang memilih menjual langsung ke pelelangan atau perusahaan perdagangan yang akan mengemas ikan-ikan segar ini dalam kemasan beku untuk dikirim ke Pulau Jawa atau diekspor ke luar negeri. Sebagian lagi mengolah hasil tangkapan mereka menjadi ikan asin untuk konsumsi pasar lokal maupun luar daerah.

Turun-temurun nelayan tradisional pesisir Pulau Belitong, baik suku Sawang, Melayu maupun Bugis, menjelajah samudera berbekal perahu “kater“, perahu motor maupun bagan. Laut bagi mereka ibarat ladang bagi petani, yang menjadi tumpuan hidup bukan hanya untuk saat ini, namun juga bagi generasi-generasi selanjutnya.

Rangkaian rantai ekonomi yang saling berkaitan ini telah membentuk suatu identitas budaya. Kehidupan masyarakat pesisir Pulau Belitong sangat bergantung pada laut. Laut adalah hidup, kebanggaan dan harga diri mereka. Identitas budaya ini memiliki keunikan berpadu dengan potensi keindahan pantai. Sebuah potensi pariwisata yang sangat menjanjikan jika dikelola dengan bijaksana, tentu saja dengan tetap memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan dan budaya lokal. Kearifan memanfaatkan alam menjadi tantangan bagi generasi Belitong saat ini.

Di saat potensi pariwisata Belitong didengung-dengungkan di berbagai media lokal, nasional bahkan internasional, sekonyong-konyong rencana beroperasinya kapal hisap di perairan Belitong datang bak petir di siang bolong. Bagi masyarakat Belitong, ini adalah masalah pilihan hidup. Memilih untuk diam dan membiarkan laut mereka rusak atau memilih menjadi arif mempertahankan kelestarian alam yang sudah diwariskan kepada mereka. Pengoperasian kapal hisap ini tentunya hanya akan mendatangkan keuntungan sesaat, itu pun tentu saja keuntungan bagi segelintir orang terutama para pengusaha dan pemerintah yang kongkalikong menjual kampungnya sendiri.

Kerusakan laut akibat beroperasinya kapal hisap bukan hanya isapan jempol. Peneliti dari Universitas Bangka Belitung melaporkan, dari penelitian pada 30 titik wilayah perairan Pulau Bangka dan Belitung sejak 2007-2010, sekitar 50 persen terumbu karang mengalami kerusakan akibat tertutup lumpur sebagai dampak beroperasinya kapal hisap dan TI apung (tambang inkonvensional) serta diperparah oleh aktivitas pengeboman ikan [*]. Ribuan nelayan menjerit mengeluhkan hasil tangkapan mereka yang kian menurun dari hari ke hari.

Kalau kerusakan laut sudah nyata-nyata di depan mata, jangan berbicara lagi tentang pariwisata. Identitas budaya tadi secara perlahan akan hilang. Pemeran-pemeran hidup dalam foto-foto ini hanya akan menjadi kenangan masa lalu yang hilang dilupakan zaman. Pada akhirnya Pulau Belitong tinggal menunggu hari menuju kehancuran. Lalu pertanyaan terbesar yang harus kita jawab adalah: “Apa yang tersisa untuk anak cucu kita?“

Bochum, 10 November 2012


Seorang anak nelayan Tanjung Kubu sedang bersiap-siap melaut pada suatu sore
Nelayan tradisional Tanjung Kubu berangkat melaut menggunakan perahu “kater“ 

Perahu-perahu nelayan di perairan Tanjung Kubu

Para nelayan Tanjung Batu sedang membangun jembatan untuk memancing


Nelayan-nelayan Tanjung Batu pulang memancing

Seorang pedagang pengumpul (atau “perae“ dalam bahasa lokal) sedang menuju dermaga menunggu hasil tangkapan para nelayan

Proses pensortiran ikan di salah satu perusahaan pengekspor di Tanjungpandan

Seorang nelayan di desa Air Saga sedang memperbaiki perahu


Proses pengeringan ikan asin di desa nelayan Tanjung Binga


Perahu-perahu nelayan Batu Itam bersandar saat laut sedang surut



Anak-anak nelayan Batu Itam mencari kerang (atau “keremis“ dalam bahasa lokal)


Perahu  nelayan bersandar di pantai Air Saga saat laut sedang surut


Nelayan pulang memancing di pantai Tanjung Pendam


Perahu motor menuju Pulau Selat Nasik


Perahu motor di Pelabuhan Tanjungpandan menuju Pulau Selat Nasik


Perahu nelayan dari kejauhan di perairan Tanjung Ru’ Pegantongan


Seorang nelayan Dendang sedang mengayuh perahu


Nelayan Tanjung Binga berangkat melaut menggunakan perahu sederhana


Seorang nelayan sedang melakukan proses pengeringan ikan asin di desa Tanjung Binga