Friday, November 16, 2012

Sukamantri

kampung kecil yang ramai sejak dini hari


Laju roda menggilas jalanan tak rata sejak pagi buta, menyusuri gang-gang sempit di antara pemukiman padat di jantung kota. Entah berapa nyawa yang berbagi hidup di antara petak-petak rumah yang rata-rata tak berpekarangan ini. Para perantau yang mengadu nasib, pribumi-pribumi “tersingkir“ atau barangkali anak-anak muda yang jauh-jauh datang berbekal mimpi. Entah mimpi apa pula, nekat mungkin lebih tepatnya.

Sebagian besar para pengadu nasib dari negeri-negeri jauh ini mengais rezeki dengan berniaga. Riuh tawar-menawar memecah hening bahkan sebelum matahari memulai pagi. Pedagang tumpah ruah meniagakan hasil bumi Priangan yang tersohor karena kesuburannya. Becek dan pengap menguap dari kios-kios sempit di Pasar Suci yang ramai sejak dini hari. Kalau sedang “beruntung“, bau sampah menyeruak dari timbunan di sebelah timur pasar. Kumuh, serba tak teratur dan kotor, begitulah kesan ketika pertama kali kuinjakkan kakiku di kampung ini. Sukamantri, sebuah kampung di jantung kota Bandung, yang geliatnya tak pernah padam hingga hari ini.

Di salah satu petak bangunan di Sukamantri inilah, kuhabiskan 7 tahun hidupku mengenal berupa-rupa manusia. Kampung kecil kami ini seperti miniatur Indonesia, menampung masyarakat kelas menengah ke bawah dari berbagai etnik seluruh Nusantara. 

Aku tak paham, mengapa orang rela menukar kedamaian di kampung halamannya dengan riuh ibu kota, bergelut dengan asap kendaraan, sampah, dan debu jalanan. Kalau aku pandai melukis, mungkin tak habis-habis kanvas kucorat-coret untuk menggambarkan kekagumanku pada keindahan hidup di kampung ini. Bait-bait cerita selalu berkisah tentang hidup manusia, ya tentang hidup dan perjuangannya, bukan tentang kematiannya. Di sana, kutemukan keindahan yang kudefinisikan sendiri di kepala pemimpiku yang bebal ini.

Mari kita mulai cerita ini dari kisah pedagang sate. Mengapa pedagang sate? Karena, dia lah sang pemecah hening pertama, berteriak-teriak di malam buta. Wangi asapnya hinggap dari celah-celah jendela, membangunkan perut-perut lapar anak-anak muda yang hobi menukar malamnya dan baru tidur menjelang pagi. Malam demi malam, roda gerobak sang pedagang sate berkelok-kelok mencari pembeli, menjemput rezeki dalam hembus angin dingin hingga dini hari. Sesekali di sudut-sudut gang, pedagang sate akan berpapasan dengan pedagang sekoteng, bandrek dan bajigur, minuman hangat khas tanah Sunda. Gerobak pedagang sekoteng juga tak kalah gesit menyusuri gang-gang sempit Sukamantri, membawa toples-toples berisikan air gula merah, santan, roti dan rupa-rupa bahan racikan lainnya.

Malam makin larut, pekatnya berganti remang dan pagi sudah menunggu. Satu per satu gerobak pedagang sarapan dikeluarkan oleh pemiliknya, pedagang bubur, nasi kuning, kupat tahu, lontong kari, surabi, roti dan aneka rupa menu sarapan pagi. Makanan adalah salah satu penemuan manusia yang tak ada habisnya. Aku juga tak paham, dari mana, sejak kapan dan siapa yang pertama kali menamai makanan-makanan ini dengan nama-nama yang khas, bahkan kadang-kadang aneh.

Hening pagi di Sukamantri

Di sudut gerbang gang Sukamantri, teronggok kios kecil kedai kopi, buka tepat pukul 6 pagi dan baru tutup hampir tengah malam. Pemiliknya orang Jawa yang sudah ke Sunda-sundaan, terlalu lama merantau mungkin. Kedai ini menyediakan bubur kacang hijau, mie instan modifikasi dan tentu saja kopi. Pemiliknya ramah dan paling betah meladeni penarik becak yang kerap singgah bersama makelar-makelar dadakan dari Pasar Suci, mengobrol ini itu dari mulai sepak bola sampai politik negeri ini. Lucu sekaligus ironis.

Menjelang siang, berganti-ganti gerobak pedagang parkir di sudut-sudut gang. Kali ini giliran pedagang buah, dan warung-warung nasi. Lepas tengah hari, warung ini ramai dikerubungi pembeli, rata-rata anak kos yang jauh-jauh merantau hanya untuk menjadi mahasiswa. Kata “maha“ yang begitu berat harus dipikul oleh pundak-pundak anak-anak muda ini, yang terkadang lupa akan ke“maha“annya. Bertahun-tahun kemudian mereka entah jadi apa, ibu-ibu pemilik warung nasi ini tak pernah tahu, tak lebih tahu dari mereka sendiri.

Bochum, 16 November 2012
[Bersambung]