Saturday, December 08, 2012

Tercekik Mimpi


Bawa aku ke tepian, lelahku hendak bersandar, dahulu
Riak mimpi berkelebat
Lambat, pekat, menjerat
Nafas satu-satu, tersengal
Kunang-kunang hinggap di pelupuk mata, hendak mengeja
Mengaburkan pandang, mengabukan sadar, jadi abu bukan abu-abu
Teriak parau mengigau, tergesa
Pagi tak peduli, katamu
Kutunggu kau di ujung hari, setelah pukul tiga

Bochum, 8 Desember 2012

Abangku, Abang juara satu seluruh dunia


Sejak terlahir ke dunia, seperti tiba-tiba saja aku sudah punya saudara, ya memang karena kenyataannya aku lahir lebih belakangan darinya. Dia, abangku, saudara kandungku satu-satunya. Masa kecil kami, kami habiskan di Tanjungpandan, Pulau Belitong. Dulu waktu aku masih kecil, yang ada di pikiranku hanya bagaimana caranya agar aku seperti abang. Jadilah aku seorang peniru dan pengiri. Apapun yang abang lakukan, aku tak pernah mau kalah. Tapi kawan, hendak kuceritakan padamu, betapa aku menyayangi laki-laki sederhana ini.

Aku lupa, kapan abangku bisa naik sepeda. Sepedanya dulu warna biru, merk Senator. Sepeda yang dikayuhnya sepanjang hari kesana kemari, dan jarang dicuci. Aku jarang diajak abang bermain bersama kawan-kawannya, alasannya satu, ini urusan anak laki-laki katanya. Aku hanya mendengar-dengar saja mereka memperbincangkan ikan-ikan peliharaan, meriam bambu atau rencana mereka berenang di kulong, danau bekas galian timah. Aku paling senang kalau mereka, kawan-kawan abang, berkunjung ke rumah kami. Rasanya memang lebih seru bermain bersama anak laki-laki.

Dulu, kalau musim libur sekolah, abang paling senang menonton film di televisi. Film Boboho adalah salah satu film yang disukainya, film anak-anak khas tahun 90an. Gelak tawa abang ketika menonton film Boboho terkadang lebih lucu daripada film yang ditontonnya. Biasanya kami menghabiskan liburan di rumah nenek, menginap bersama sepupu-sepupu, sambil belajar berdagang di warung milik nenek. Sesekali nenek akan mengajak kami ke kebun paman untuk belajar bercocok tanam.

Dulu abang pernah punya cita-cita jadi advokat, lalu jadi pengusaha, lalu jadi pemain musik, lalu jadi apa lagi, entahlah aku pun lupa. Kami memang diajarkan ayah ibu untuk berani bermimpi dan percaya diri. Kata ibu, percuma pintar kalau tak percaya diri. Saking percaya dirinya, dulu abang sering sekali mengikuti festival band yang memang sedang ’ngetrend’ ketika itu. Gitar kesayangannya warna biru, gitar listrik yang sering dicakar-cakar oleh kucing kesayanganku.

Sampai akhir SMP, abang masih menjadi kawanku. Namun, sejak dia masuk SMA, aku tak banyak mengenal abang. Masing-masing kami seperti sudah punya dunia sendiri. Kalau dia pulang, obrolan kami tak jarang berujung pertengkaran. Waktu itu, kuanggap abang adalah orang paling menyebalkan di rumah kami. Bertahun-tahun kemudian baru aku paham. Abang dan aku ketika itu berada pada usia peralihan dari anak-anak menjelang remaja, dua-duanya keras kepala.  Jadilah kami tak pernah akur, sampai bosan ayah melerai kami.

Setamat SMA abang merantau ke Bandung. Hari itu di pelabuhan Pegantongan, kulihat abang melambai-lambai sampai hilang di kejauhan. Entah harus senang atau sedih, tapi nyatanya beberapa hari kemudian aku merasa kehilangan. Kami sekeluarga pun pindah ke Pangkalpinang. Ketika SMA aku seperti anak tunggal, paling keras kepala dan semakin menyebalkan. Hanya sesekali kudengar kabar abang kalau dia menelpon. Kalau musim liburan pun, dia lebih memilih pulang ke rumah nenek di Tanjungpandan, bukan ke Pangkalpinang. Aku tak tahu bagaimana kuliahnya di Bandung sana, aku hanya asyik dengan urusanku sendiri. Kami pun semakin jauh.

Singkat cerita, akhirnya aku pun menyusul abang ke Bandung, menjemput giliran menjadi mahasiswa. Sejak saat itulah aku banyak mengenal abang. Kami jauh dari orang tua, lalu seperti tiba-tiba saja dia tak semenyebalkan dulu. Ketika itu, aku tiba-tiba dihinggapi rasa tak percaya diri. Masih kuingat sampai hari ini kata-kata abang: ‘Mereka memang orang-orang hebat. Tapi ingat, kau juga bisa menjadi bagian dari mereka.‘ Abang tak ingin aku mengkhianati mimpi-mimpiku sendiri. Suatu malam di bulan Juli, saat pengumuman kelulusan tes masuk Perguruan Tinggi, aku diliputi sukacita. Allah mengabulkan doa kami. Lalu abang mengingatkanku: ‘Boleh kau bersukacita, tapi ini baru awal. Perjuangan panjang siap menunggumu mulai besok‘.

Saat di Bandung dulu, aku sering sekali sakit. Abang tak pernah mengeluh mengurusku setiap aku sakit, tak pernah sekalipun. Kalau sakitku tak begitu parah, abang melarangku menelpon ayah ibu. Abang mengajarkanku agar tak menjadi cengeng. Orang rantau itu harus kuat kata abang. Sampai tiba waktunya kami harus berpisah, aku pun tegar berjalan dengan kedua kakiku hingga hari ini.

Abangku orang yang cerdas dan jujur, buku yang dibacanya bermacam-macam. Kalau dia berbicara, banyak orang yang akan menyimaknya, karena kata-katanya berisi. Dulu dia dipercaya kawan-kawannya untuk menjadi ketua Asrama Mahasiswa Belitong di Bandung. Bukan perkara gampang, Kawan, mengurus belasan mahasiswa rantau dengan belasan perangai pula. Bertahun-tahun kemudian, aku yakin abang pasti bersyukur pernah menjadi ketua Asrama yang sebenarnya tak pernah diinginkannya. Abang paling sedih ketika marah. Kata abang, dia menjadi seperti orang lain, orang yang bahkan tak dikenalnya sendiri.

Kini abang telah menjadi ayah dari seorang anak laki-laki yang lucu, Dhani namanya. Maafkan aku tak bisa hadir di hari-hari bahagiamu, Bang. Dari dulu hingga sekarang, aku memang tak pernah menjadi adik yang baik, tak pernah sekali pun. Kerjaku hanya menyusahkanmu saja, pun tak terhitung kalinya aku telah menyakiti hatimu. Terima kasih Bang, untuk semuanya, cintamu untukku tak habis-habis dan tak pernah bisa kubalas sampai mati. Semoga Allah senantiasa memberkahi hidupmu, Bang.

Aku tak pernah bisa memilih siapa yang menjadi abangku, tapi aku tak pernah menyesal telah menjadi adiknya. 7000 mil jarak memisahkan kami, tapi aku selalu merasakan hangat cintanya begitu dekat. Karena kata abang, keluarga adalah hal pertama yang hadir dalam hidup manusia dan mereka akan selalu ada untuk kita. Abang telah mengajarkanku menjadi seorang manusia, seutuh-utuhnya. Karena abang, aku berani bermimpi, berani mencintai, berani hidup dan berani menjadi aku. 

Bochum, 7 Desember 2012

Tulisan lain tentang Ayah dan Ibu, 3 orang inilah, manusia-manusia terbaik dalam hidupku:

http://maktjik.blogspot.de/2012/11/mamo-ayah-juara-satu-seluruh-dunia.html
http://maktjik.blogspot.de/2012/11/mamak-ibu-juara-satu-seluruh-dunia.html