Friday, December 14, 2012

Balada Stasiun Kereta


Curilah waktumu sesekali dan berdirilah di stasiun kereta. Perhatikan lalu lalang manusia yang seperti tak ada habisnya. Ada wajah-wajah tergesa, tertawa, menunggu. Ada perpisahan yang mengharukan atau kegelisahan menanti sebuah pertemuan. Berpasang-pasang kaki berderap-derap menyusuri anak tangga dan peron-peron stasiun. Setiap rupa yang tak kukenal ini pasti punya cerita.

Langkah sepasang lansia perlahan menegakkan tubuh mereka yang mulai condong ke depan. Wajah sang kakek agaknya tergesa, tapi tangannya seperti tak hendak lepas merangkul sang nenek yang berjalan lebih perlahan. Keduanya tersenyum, sambil sesekali menunjuk-nunjuk display raksasa yang merangkum jadwal keberangkatan kereta. Kutaksir usia mereka tak kurang dari 80 tahun, kerut-kerut wajah dan helai-helai rambut putih itu yang membisikkannya padaku. Aku membayangkan, berpuluh-puluh tahun yang lalu ketika mereka masih muda, apakah mereka pernah membayangkan dunia yang mereka lihat sekarang? Entah berapa macam zaman telah mereka lalui, zaman perang tentu saja masuk dalam salah satu episodenya. Penyesalan seperti apa yang diam-diam mereka tanggungkan? Atau punyakah mereka pencapaian-pencapaian hidup yang gilang gemilang? 

Seorang Bapak setengah baya menarik koper kulit beroda, warna coklat tua. Tangan kirinya menggenggam gulungan surat kabar. Langkahnya teratur tak terburu-buru. Sesekali dia melirik jam di pergelangan tangan kirinya, memastikan jadwal hari ini masih sesuai rencana. Sepatu, celana dan jaketnya berwarna serupa, coklat tua. Rambutnya coklat kemerahan, disisir rapi ke belakang. Bingkai kacamatanya juga coklat tua. Bapak coklat ini pasti seorang yang disiplin, gerak-gerik dan apapun yang disandangnya tak bisa berdusta. 

Kuperhatikan antrian di loket penjualan tiket kereta. Para petugas yang duduk di balik loket-loket itu sejak pagi masih saja tersenyum ramah. Wajah mereka seperti sudah tercetak seperti itu, mau tak mau, sudah tuntutan profesi. Para pegawai Perusahaan Jawatan Kereta ini setidaknya menguasai dua bahasa, dan tentu saja mereka pendengar yang baik. Entah sudah berapa keluhan yang mereka dengar sejak pagi, aku yakin ucapan terima kasih yang menguatkan mereka menjalani hari demi hari. Ada dua kata sederhana yang sering kita lupakan namun sangat berarti bagi orang-orang seperti para petugas loket ini, ’maaf’ dan ’terima kasih’. Tangan-tangan terampil ini telah mengantar orang-orang ke tempat-tempat yang jauh, sementara sang empunya hanya duduk di loket yang sama, menghitung antrian demi antrian yang menawarkan berupa-rupa wajah dari berbagai bangsa.

Di ujung peron nomor dua, berdiri seorang pemuda. Tatapannya kosong memandang rel kereta. Ransel di punggungnya terlihat padat dan berat. Sudah batang kedua rokok yang dihisapnya sejak tadi. Tangan kanannya sibuk menyentuh layar ponsel, earphone berkabel putih tersambung ke telinganya. Aku membayangkan orang seperti apa yang menantinya di ujung perjalanannya hari ini. Apa kira-kira hobinya, mahasiswakah dia atau seniman dadakan yang baru pulang mengurus sebuah pameran?

Tak jauh di belakangku terdengar gelak tawa seorang bocah perempuan. Wajahnya lugu dan lucu. Rambutnya keriting hitam lebat, bulu matanya lentik, cantik sekali. Dia berlari-lari ke sana kemari, berputar-putar mengelilingi ibunya yang sedang kerepotan menenteng sebuah koper besar. Sesekali ibunya harus berhenti dan menenangkan peri cantik yang tak mau diam ini. Apa yang sedang dipikirkan anak sekecil ini? Dunia di matanya pasti selalu menarik, semenarik renda-renda yang menghiasi rok merah mudanya.

Di salah satu sudut hall stasiun berdiri sebuah toko roti. Pegawainya 3 orang perempuan muda, tersenyum hangat seperti roti-roti yang baru keluar dari pemanggang. Tangan-tangan mereka terampil menata roti-roti di etalase sembari melayani pembeli. Wangi roti, kopi dan coklat yang sama menemani mereka setiap hari. Aku membayangkan pertanyaan-pertanyaan sederhana: apakah mereka juga ikut menikmati roti-roti itu? Pernahkah mereka bercita-cita memiliki toko roti sendiri suatu saat nanti?

Aku melangkah perlahan menuju peron nomor tiga, menanti kereta regional yang akan mengantarku ke kota tetangga. Seorang Bapak terlihat melambai-lambai, tangan kirinya menggandeng seorang anak laki-laki yang juga ikut melambai-lambai. Tatapan mereka tertuju pada seorang ibu setengah baya, yang entah hendak kemana. Mungkin mereka bertiga adalah anak beranak yang akan berpisah dalam waktu agak lama, bisa kubaca dari tatapan sedih sang anak, yang sejak tadi tak berhenti menangis.


Aku memang senang menghabiskan waktu luang seperti ini, memperhatikan lalu lalang manusia di stasiun lalu berangkat dengan kereta jurusan mana saja. Gratis, mengapa disia-siakan? Cerita di gerbong kereta pun tak kalah seru. Kalau penumpang sedang ramai, aku harus berdiri sambil sesekali menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Kalau sedang beruntung, aku paling senang memilih tempat duduk tepat di samping jendela. Jendela kereta menawarkan gambar-gambar hidup yang juga pandai bercerita, sepandai dalang mendongengkan babat tanah Jawa.

Bochum, 14 Desember 2012 
[Bersambung ke cerita ke dua: 
Balada Gerbong Kereta: http://maktjik.blogspot.de/2013/10/balada-gerbong-kereta.html]