Monday, August 12, 2013

Bait-bait Ramadhan

Oleh: Ian Sancin

Hari Pertama Ramadhan. Nafsu terindah bersama Tuhan. 
Bangunlah sahur... katamu, agar dingin pagi hinggap di kulit lembut yang kelak bakal rapuh dihisap bumi. Sementara lidah merasakan nikmatnya sebelum fajar. Tetapi nafsu ternikmat ketika matahari menyentuh siang... semakin lapar semakin dekat di hatimu. Mengapa itu hadir di tanyaku. Jawabmu, itu jembatan terpendek bahwa kau tak perlu membawa apa pun ketika datang padaNYA, kecuali yang kau dapatkan di siang puasamu.

Hari Ketiga Ramadhan. Di bawah Kaki Tuhan.
Seperti gelegar petir menghenjakkan ingatan agar tersadar pada pemiliknya... tetapi desir angin yang sejuk kadang melupakan ingatan hingga tertidur... seperti primata dihembus angin timur. Betapa mudah terlenanya ingatan bahkan lupa... Itukah rasa lapar diberikan, tanyaku padamu. Bisa jadi begitu, jawabmu... sebab bagaimana kau bisa minta maaf jika melupakan kesalahan yang pernah kau buat... agar mata lebih terang melihat dan telinga lebih peka mendengar....

Hari Ketujuh Ramadhan. Angin Melintasi Pucuk Pinus.
Lembang masih lengang, subuh di temaram fajar. Hanya terlihat bayang pucuk pinus bergerak lembut ditiup angin. Sebentar lagi cahaya berpendar... tanda puasa dimulai. Aku masih terdiam ketika kau tanyakan mengapa mematung memandang noktah cahaya di langit. Padahal kau tahu aku tak memikirkan apa-apa kecuali takjubku pada sang pemiliknya. Sungguh semestanya langit dan betapa kecil diri jika tak sanggup melintasi siang menuju senja yang hanya setengah bumi mengitari matahari. Dan setengah hari bukan apa-apa, bukan jarak antara cahaya ke cahaya yang bertabur di langit sana... Maha Besar dan Pemurahnya Allah meringankan beban umatNYA.

Hari Kedelapan Ramadhan. Di atas Belitong.
Hijau putih kuning masih menempel di ingatan... terbingkai di jendela kecil yang melintasi langit... warna itu seperti luka kulit menganga sukar tersembuhkan. Juga tak kulihat pondok huma atau pun ladang sahang, hanya barisan palma merimba.... Milik siapakah bumi tanyaku padamu, ketika terpikir bahwa tanah dikuasai manusia... lalu kau tersenyum sembari mengatakan... kematian pasti datang tapi mempercepat prosesnya tentu diharamkam... lantas aku jadi ikutan tersenyum sembari membayangkan bahwa hanya proses alam dapat membuat usia lebih panjang. Ah, tak cukuplah pelajaran dahaga dan lapar dalam puasa buat memahaminya.... Tidak, kecuali dari kebahagiaan, makan dan minum yang kau dapatkan, begitulah tegasmu....

Hari Kesepuluh Ramadhan. Menghormati Tanah.
Ketika rembulan, angin, hujan dan panas mengatur waktu, tetapi keinginan kita diatur kehendak memasuki segala musim. Ah! Kehendak tak berbatas dan kadang memang menghilangkan batas. Itukah puasa di berikan... tanyaku padamu. Lalu kau tersenyum tak menjawab. Aku terdiam cukup lama, dan akhirnya kau berkata bahwa bukan sekedar tak makan minum dan mengendalikan nafsu tapi mensucikan bumi di dalam tubuhmu. Aku hampir tertawa tapi tertahan setelah tahu bahwa nanti bakal jadi tanah lagi.

Ramadhan Keempatbelas. Sayup Azan.
Sayup azan menenteramkan, menggetarkan... membelah pagi buta di sunyi dingin tanpa mata... lalu, kokok ayam pun terhenti agar sujud subuh terlaksana. Ada yang berbeda dari gema yang sampai ke telinga ketika pikiran bertanya dan hati menjawabnya.... Sebuah suara hanyalah pertanda, katamu. Hanya untuk satu jawabankah, tanyaku padamu. Iya, semua untuk Tuhan, katamu, begitupun puasa sebab lapar bukanlah rasa laparnya, sebab lapar akan hilang jika kau berbuka. Lantas ia buat apa, tanyaku lagi. Ada keteguhan yang baik bakal membaikan sebab bahagia hanya di ketentraman bukan yang di kegelisahan, tegasmu...

Ramadhan Kedelapanbelas. 
Jika setiap hari ada hal sama yang berulang... mata tak liar lagi memandang. Lalu pikiran diam di kesenyapan... dan di dalamnya ada sesuatu yang kudapatkan, aku mengatakannya hanya gambaran... kau sendiri menyebutnya sekedar khayalan.... Keduanya seperti awan bergerak dengan bentuk berbeda... Mengapa begitu, tanyaku padamu... dan katamu, di balik gambaran bukan hanya sesuatu yang lain.... Lalu apa, tanyaku lagi. Kau diam tak menjawab... aku juga diam karena ternyata puasa tak pernah bakal berakhir yang isinya hanya batasan, sebab di luar Ramadhanlah ujian yang paling menentukan.

Ramadhan Keduapuluh. 
Dari manakah datangnya angin ini, ucapmu kepadaku ketika bergidik merasakan dinginnya.... Tentu saja dari arah mata angin, jawabku asal saja guna menepis rasa ngeri yang seketika hadir di gelap malam.... Ia datang kala rasa takutmu hadir, lanjutnya. Lalu mengapa rasa takutku muncul dalam kesunyianku, tanyaku lagi. Agar kau tahu bahwa kematian menjadi kesunyian yang mengerikan kecuali puasamu mabrur dalam zikirmu bersama angin di segala musim.

Ramadhan Keduapuluhtiga.
Di keheningan malam menanti laila... membuatmu tersenyum lugu padaku. Salahkah aku, tanyaku. Tak ada yang salah, jawabmu. Lalu, mengapa senyummu menyimpan sesuatu, tanyaku lagi. Seraya memandang langit malam yang pekat... kau berkata, laila ada di hatimu tak perlu kau tunggu turun dari langit pekat malam sebab dia ada di hati yang benderang ketika puasamu sepenuh cahaya. Lalu, yang dari langit itu apa...? Itu rahmat bagimu.

Ramadhan Keduapuluhempat.
Jika gelap datang pasti ada cahaya yang menerangi setidaknya satu malam di beredarnya rembulan... lalu aku diam, bermandi cahayanya tatkala gelap hatiku memekat dan ia mesti hilang dibersihkannya. Mengapa hanya satu malam laila hadir, tanyaku padamu... dan katamu, rembulan yang menerangi malam sesungguhnya sudah lebih dari laila memberikan berkahnya, hanya yang tak berpikirlah tak pernah merasakannya. Mengapa begitu... Katamu, dinding hati terlalu keras untuk ditembus. Ah, aku jadi malu pada puasaku... sebab enam hari lagi rembulan datang, apakah bakal membawa cahaya baru....

Ramadhan Keduapuluhlima.
Setidaknya perjalanan menuju lima hari lagi bukanlah perjalanan yang pendek sebab apa yang didapat di duapuluh lima hari lalu tak mesti terbawa angin begitu saja... kelapangan hati mestilah dipeluk erat agar tetap bersama sepanjang masa, agar ketika menghadapNya ada teman dalam kesunyian... dan bahagia dalam kegembiraan... begitulah aku berkata padamu. Lalu kau tersenyum, tapi menandai apa? Sudahlah kupikir kau memahami apa yang kupikirkan.... Ternyata tidak, lalu kau berujar, selalu kukatakan padamu... setelah beberapa hari berikutnya, permulaan perjalanan panjang ke ujian sesungguhnya.

Ramadhan Keduapuluhenam.
Bagimana mesti memulainya jika puasa merupakan permulaan di hidup berikutnya menuju yang sebenarnya... kau tak segera menjawab tapi memberikan daun kering yang jatuh ke tanah... lalu berkata, dia menjadi ringan sebab beban dunia tak lagi ada padanya.

Ramadhan Keduapuluhtujuh.
Aku masih tercenung bukan memikirkan ringannya beban yang terlepas selama duapuluh tujuh hari lalu, bukan pula memikirkan permulaan di ujian setelah tiga hari selanjutnya. Bukan, bukan itu... tapi ada yang mengganjal di pikiranku, setelah itu kau bakal ke mana, sebab kau tidak akan menemaniku di sepanjang masa, tanyaku padamu... dan jawabmu, jika puasamu mabrur, aku tetap bersamamu tapi tak lagi berkata-kata hanya memantaskan apa yang pantas untuk dipantaskan... maka pantaskanlah dirimu menjadi yang sebenarnya dirimu...

Ramadhan Keduapuluhdelapan.
Tak ada yang lebih mulia daripada kemuliaan itu sendiri... lalu jika didapatkan akankah derajadku menjadikanku lebih mulia dari yang sesungguhnya... Kau tertawa ngakak... seraya berkata, kemuliaan bukanlah mengejar derajat lebih tinggi tapi memeluk bahagia sejati. Aku tercenung... sepertinya ada yang salah di perjalanan puasaku. Kau tak salah, tandasmu, hanya bagimu kemuliaan serupa kehormatan yang kau dapatkan... padahal kemuliaan hadir atas kehendakNya.

Ramadhan Keduapuluhsembilan
Jika aku tak bersabar maka waktu begitu cepat berlalu sebab semua bisa kugapai dengan lebih cepat... akankah semua alat bantu yang menyertaiku mempercepat proses kematian... bisa jadi begitu jawabmu. Mengapa kau tak begitu tegas mengatakan yang sebenarnya, tanyaku. Jawabmu, kau masih memiliki pilihan hidup yang lebih panjang sebab waktu tidaklah berubah kecuali kau sendiri yang tak sabar dikawal olehnya...

Catatan kaki:
Pak Cik Ian, begitu aku memanggilnya. Mungkin lebih dari sepuluh tahun yang lalu, pertama kali aku bertemu beliau. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA, bukan sekali dua kudengar ayahku bercerita tentang Pak Cik Ian. Ayah begitu gembira menemukan saudara sepupunya ini ketika kami sekeluarga baru pindah ke Pangkalpinang. Waktu berlalu, kali kedua aku bertemu Pak Cik adalah ketika aku masih di Bandung, bulan April 2010, ketika Ayah Ibu mengunjungiku. Lalu kuminta Pak Cik membubuhkan tandatangan di sebuah novel karya Beliau, Yin Galema. Sebuah novel yang meninggalkan rasa bangga ketika selesai membacanya, sebuah novel yang kata ayahku tak sembarang orang bisa menulisnya bahkan untuk membacanya pun kau harus menggunakan hati serta halus perasaanmu, demi meresapi bait demi bait rangkai katanya. 

Aku masih ingat kata-kata Pak Cik, mungkin redaksinya berbeda, namun maknanya tetap kuingat: 'Dunia itu butuh seni dan seniman. Tak elok rasanya kalau hidup tanpa dibumbui seni', begitu kata Beliau. Terima kasih Pak Cik telah mengizinkan untuk merangkum bait-bait Ramadhan ini, terima kasih pula telah menjadi guru bagiku, karya-karyamu selalu menginspirasiku di tengah semak otak kiriku yang sering kali meluap tak mau kalah dengan otak kananku. Salam takzim dari Bochum. 

Bochum, musim panas, 12 Agustus 2013