Friday, July 12, 2013

Semburat Langkah dalam Bayangan Hujan

Malam sudah larut tapi mataku tak kunjung terpejam, bukannya tak mau, tapi memang malam itu  aku tak boleh tidur. Malam yang akan tercerai definisinya karena berkejaran dengan matahari, dalam ribuan mil perjalananku ke tanah seberang. Dalam gelap, kakiku sepertinya harus berlari lagi, berlari lebih kencang lagi. Apa yang akan kutemui nanti juga masih gelap. Lambaian ayah ibu mengantarku di tengah pekat malam Jakarta. Lambaian yang entah kapan akan kulihat lagi. Aku menoleh pada mereka untuk terakhir kali, senyumku mengembang, senyum pamitku untuk mereka yang selalu aku cintai.

Nekat saja pikirku, bekalku sudah lebih dari cukup, aku berbekal doa dan cinta dari orang-orang yang kusayangi. Perasaanku campur aduk, mereka yang telah memenuhi hatiku hingga meluap-luap selama hidupku, kini harus kutinggalkan jauh. Ah, kalau titik referensinya kutukar, bisa kuanggap mereka yang pergi, bukan aku. Gampang juga kupikir, ini hanya main-mainan logika saja. Baiklah, langkahku harus kukayuh, ceritanya baru akan dimulai.

Sore itu, di penghujung musim gugur, langit kelabu menyambutku. Tak ada basa basi, petugas pemeriksa paspor bertanya dengan tatapan dingin "What are you going to do in Germany?" "Study, Sir", jawabku singkat. Tak ada siapa-siapa yang kukenal di sini, harap-harap cemas kutunggu dua teman baruku. Lega ketika kulihat mereka melambai-lambai di pintu keluar. Moni dan Michal, dua teman baru yang dalam seminggu berikutnya membuatku merubah semua persepsiku tentang negeri dingin ini.

Terbangun aku di suatu pagi, kehilangan definisi ruang dan waktu. Kamar ini, ranjang ini, jendela ini, tiba-tiba tak sama lagi. Aku di mana? Kubuka gordyn jendela, hitam pekat di luar sana, aku pun kehilangan pagi, tapi pagi yang mana? Kulirik jam tanganku di atas meja, baru pukul 2, pukul 2 yang mana pula? Aku menghitung-hitung, mencoba kembali pada kesadaran yang sempurna.

Semua serba baru bagiku. Lingkungan baru, teman-teman baru, sistem dan aturan-aturan baru. Berkali-kali kuulangi dalam hati, "Mohon bersabar wahai tubuhku, jangan lelah dulu, petualangan ini baru saja dimulai". Aku tak punya alasan untuk tidak bersyukur apalagi menjadi malas dan skeptis tentang masa depanku.

Pukul 07.30, pagi-pagi sekali, aku sudah rapi jali, menunggu kawan baruku Moni, janji pertama yang aku buat dengan orang Jerman, dan memang tepat pukul 07.30 dia datang. Pelajaran pertama: tepat waktu. Banyak sekali yang harus kuurus hari ini, salah satu yang kutunggu-tunggu adalah bertemu supervisorku, Prof. Schmitz. Lalu, aku berkenalan dengan kawan-kawan baru, 8 orang muda yang penuh semangat. Kuperhatikan gerak-gerik dan tutur kata mereka, pelajaran berikutnya: tak satupun dari mereka yang memanggil supervisor kami dengan embel-embel Prof, Herr atau pun nama belakangnya, cukup nama depannya saja. Dengan begitu, obrolan mengalir lebih hangat, lebih akrab.

Pukul 12 siang, aku dan Moni masih berada di bank, tiba-tiba seperti tergesa ia menelpon. "Kau ada janji?" tanyaku. "Tidak, hanya sudah waktunya makan siang, sebentar lagi kita menyusul mereka ke Mensa", jawabnya sambil tersenyum. Oh, rupanya mereka punya kebiasaan makan siang bersama di Mensa, kantin universitas. Satu meja bersama supervisor dan para kolega. Dari obrolan mereka, terkesan tak ada jarak, walaupun aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan, tak sepatah pun. Siang ini aku makan roti, belum ada nasi. Lalu mereka bertanya-tanya, makanan apa yang aku bawa. Agak sulit menjelaskan apa itu rendang, kubilang saja semacam kari khas Indonesia, karena kupikir tak ada juga padanan kata dari bumbu-bumbunya dalam bahasa mereka.

Alhamdulillah, Dia mempertemukanku dengan orang-orang baik di saat aku tak punya siapa-siapa di sini. Dua teman baruku, Moni dan Michal, mahasiswa doctoral dan peneliti poctdoctoral, muda, cerdas dan baik hati. Di minggu pertama aku di sini, merekalah yang mengantarku ke sana kemari, mengurus ini itu, sampai menemaniku belanja barang-barang kebutuhanku hingga ke kota tetangga. Mereka yang menanyaiku tentang makanan apa yang tidak boleh kumakan, tentang kebutuhan khususku untuk beribadah sampai menjemputku di pagi dingin berkabut, menemaniku berjalan kaki ke kampus di saat semester ticket kereta-ku belum kuperoleh.

Sampai hari ini pun, tak jarang aku sampai merasa tidak enak karena kebaikan mereka. Michal akhirnya memilih berkarir di perusahaan. Cake pisang, bolu coklat dan teh hangat, sore sederhana yang akan tetap kuingat, perpisahan dengan teman kami, Michal yang baik hati.

Di sini, satuan terkecil Fakultas adalah Institut. Institut kami terdiri dari seorang Profesor, 2 orang dosen, 8 asisten peneliti (mahasiswa doctoral), seorang sekretaris dan seorang pegawai administrasi. Dengan 12 orang ini lah, hidupku dalam beberapa tahun ke depan akan kuwarnai. Kukenali wajah mereka satu persatu, salah seorang temanku berasal dari Iran, satu lagi berasal dari Kazakhstan namun sejak kecil pindah ke Jerman, dan sisanya adalah native Jerman.

Salah satu alasanku untuk berpetualang adalah aku ingin mengenal berupa-rupa manusia. Ingin kuselami pikiran mereka, kubaca budaya mereka dan kukenal dunia selain tanah asalku. Aku ingin belajar banyak hal.   Di sini aku tak akan kesepian, selama masih ada hujan, derainya bisa kutatap dari balik jendela, indah. Selama masih ada bintang, bulan dan awan, dongakku tak akan bosan menatap langit. Pun matahari walau tak sehangat yang selama ini kukenal, tak akan berubah menyiratkan harapan. Dalam setiap desir angin, pergantian musim dan lalu lalang manusia, ingin kuhirup nafas terdalam dengan mata terpejam. Biar serpihnya mengalir hingga urat nadiku, menenangkan.

Singkat saja kulewati bulan-bulan pertama yang semakin dingin, aku rindu matahari. Tanpa sadar, kita selalu mencetak persepsi-persepsi di kepala kita. Lalu pelan-pelan mencocokkannya dengan kenyataan yang kita temui setiap hari. Persepsi selalu bersifat subjektif, dibangun dari perasaan dan pengalaman, lalu tersusun sedemikian rupa menemani pembelajaran setiap insan sepanjang hidup. Persepsi pertamaku tentang Jerman adalah dingin, iklimnya, juga orang-orangnya. Benar atau tidak, sedikit demi sedikit kucoba definisikan sendiri. Dingin, menurut kulit Melayuku yang sebelumnya tak pernah tersentuh salju, tapi tidak setelah kulewati musim dingin pertama dengan suhu yang anjlok hingga -18°C. Allah Maha Kuasa, Dia menciptakan tubuh manusia sesempurna-sempurnanya, yang bisa menyesuaikan diri seiring waktu. Aku pun tetap bertahan hingga hari ini, menyambut musim dingin kedua yang terasa lebih "hangat", relatif bukan? Dingin, jika kita bertemu orang-orang tak dikenal yang lalu lalang di perjalanan, tapi tidak jika kita mengenal mereka secara personal. Ramah mereka tak kalah hangat dibanding matahari bulan Juli.

Dari 365 hari dalam satu tahun, mungkin tak lebih dari 3 bulan, Jerman disiram hangat matahari sempurna. Sisanya adalah hari-hari kelabu, dingin, hujan, bahkan bersalju, yang membuat orang tak betah berlama-lama di luar, bahkan sering sekali menciutkan semangat untuk bangun pagi. Bagaimana mungkin mereka akan seramah orang Indonesia yang bisa menikmati hangat sepanjang tahun. Mereka hanya punya musim panas yang tak begitu lama, yang sontak membuat orang-orang tiba-tiba riang gembira. Generasi demi generasi, alam telah membentuk mereka seperti itu. Suatu hari, aku duduk seorang diri di bangku kereta menuju Belanda. Aku harus turun di Arnhem, sebuah kota di timur Belanda dan melanjutkan perjalanan dengan kereta berikutnya. Orang Belanda relatif lebih ramah, teoriku tentang iklim tak sepenuhnya benar, mungkin karena mereka bangsa pedagang, entahlah. Sesampai di Belanda aku menjadi pelupa, satu hal yang paling lumrah dilakukan orang Indonesia: tersenyum!

Suatu waktu aku berpikir, apa yang membuat orang Jerman begitu giat. Dibanding Indonesia mereka tak punya apa-apa! Indonesia punya semuanya, iklim yang ramah sepanjang tahun, sumber daya alam yang melimpah, laut yang luas, hutan yang kaya, dan penduduk dengan persentase usia produktif yang relatif tinggi. Sungguh anugerah yang tak terhingga. Orang Jerman harus berjuang mengatasi tantangan alam, mereka tak boleh manja, kalau tak pintar-pintar mereka bisa mati konyol. Berabad-abad kenyataan ini mendorong mereka berpikir keras, mencari cara, mengolah akal, lalu terciptalah penemuan-penemuan hasil teknologi rekayasa untuk memudahkan hidup mereka. Selanjutnya seiring zaman, mereka lalu berpikir untuk menguasai dunia! Itulah manusia, kisahnya tak jauh-jauh dari nafsu yang senantiasa menderu.

Sejak kecil aku senang sekali mendengarkan bahasa-bahasa yang terdengar asing di telingaku. Dulu setiap pukul 5 pagi, radio BBC berbahasa Inggris gemerosok timbul tenggelam terdengar sayup-sayup dari ruangan tengah rumah kami atau sesekali ayahku menonton berita CNN di televisi. Aku belum mengerti apa yang disampaikan pewarta berita itu setiap pagi, sederhananya aku hanya senang mendengarkan mereka berkicau-kicau dalam bahasa mereka sendiri. Pada kenyataannya bahasa Inggrisku tak maju-maju. Belasan tahun kemudian, mau tak mau aku harus bisa berbahasa seperti mereka, ditambah lagi kenyataan baru, aku harus bisa berbahasa Jerman. Orang Jerman mencintai bahasa mereka seperti orang Melayu mencintai syair, tak bisa ditawar-tawar. Sejak Februari, di akhir musim dingin yang lalu, kupecut lidahku untuk belajar bahasa baru. Bahasa Jerman terdengar lebih berat, seperti suara orang sedang menggeram, huruf-hurufnya seperti keluar dari pangkal-pangkal leher dan nadanya naik turun, sekali lagi ini hanya persepsiku. Bulan demi bulan, sedikit demi sedikit aku tak lagi buta aksara. Kali pertama kulihat pamflet dan pengumuman di jalan-jalan, aku hanya mampu menerka-nerka dari gambarnya. Sekarang semuanya sudah terlihat lebih menarik, aku tak lagi buta arah, pun suara Ibu-Ibu pemaklumat di stasiun kereta sudah terdengar akrab di telinga. Sekarang aku paham apa isi perbincangan sahabat-sahabatku setiap makan siang, sekarang aku tahu apa yang mereka tertawakan. Setiap aku mencoba berbincang dalam bahasa Jerman, mereka begitu senang, walaupun berkali-kali aku harus mengulang-ngulang: "Wie bitte?". Tak masalah, setidaknya aku sudah mencoba, dan itu yang mereka hargai. 

Satu lagi yang kupelajari dari sahabat-sahabatku: segala sesuatu itu harus dibicarakan jika memang diperlukan, kalau kita tidak menyampaikan jangan harap mereka akan berinisiatif menanyakan, apalagi memberi bantuan. "Kami tak mahir membaca pikiran", begitulah kira-kira maksud mereka. Dan kalau sudah berniat membantu, mereka tak pernah setengah-setengah, kalau memang tidak bisa mereka akan menyampaikannya sejak awal.

Orang Jerman senang sekali menstatistikkan segala sesuatu, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan evaluasi dan terus-menerus meningkatkan kualitas. Semuanya dibuat serba terstruktur dan rapi. Perjalanan dari kota A ke kota B akan lebih mudah diperkirakan, sehingga tak menyusahkan jika hendak membuat janji bertemu. Semuanya jadi serba mudah. Tapi diam-diam aku merindukan semrawut transportasi di tanah air, rasanya lebih menantang dan penuh duga-duga, lebih "nyeni"!

Sejak kecil aku menyukai museum, dan kota kecilku nun jauh di Pulau Belitong sana hanya punya satu museum mungil yang berdiri hingga hari ini, tak jauh dari sekolahku dulu. Museum yang merangkap menjadi kebun binatang, museum yang selalu aku rindukan. Aku begitu menikmati saat-saat larut terbawa bingkai-bingkai waktu yang terserak dalam keping-keping sejarah. Rasanya seperti hidup di zaman yang berbeda, dilahirkan kembali dan kebingungan menemukan jalan pulang. Di Jerman, hampir di setiap kota bisa kita temukan berbagai museum, mulai dari museum sejarah, museum seni, museum makanan, museum olahraga, museum tambang dan macam-macam museum lainnya. Tiap ada waktu luang aku selalu ke museum, menelisik helai-helai sejarah dalam temaram lampu di sudut-sudut ruangan tak berdaun pintu.

Aku tak ingin menilai suatu bangsa lebih berbudaya dibanding bangsa lainnya, karena aku percaya setiap budaya terbentuk oleh serangkaian alasan yang panjang, yang pada akhirnya membentuk ciri khas masing-masing. Kita hanya perlu meletakkannya pada tempat yang tepat.

Aku tak akan pernah tahu apa yang akan kuhadapi dalam petualangan ini, pun sampai kapan waktuku habis. Hidup kusebut sebagai petualangan, seperti yang selalu seorang sahabatku kenangkan. Aku hanya ingin berbuat terbaik yang aku bisa, menjalani setiap prosesnya dengan sabar dan syukur sambil sesekali menikmati kejutan-kejutannya. Biarlah kutinggalkan semua kemudahan-kemudahan di sana, yang sepanjang tahun bisa kukenakan pakaian dengan jenis yang sama, yang dengan mudahnya kuperoleh makanan-makanan yang tak perlu aku bertanya-tanya tentang kehalalannya, yang sepanjang hari bisa kuhabiskan waktu bersama keluarga dan para sahabat.

Di sini, memang tak akan ada pengganti yang sama, tapi akan kutemui pula berupa-rupa pengalaman yang tidak akan kuperoleh di sana. Tak terasa, sudah lebih dari setahun aku di sini. Empat musim telah menyapa dari balik jendela kamarku. Waktu tak akan pernah menunggu, sedetik pun, sekejap pun. Nyatanya dia terus berlalu, tak peduli berapa helai sesal yang kau bakar menjadi abu. Biarlah hanya rindu saja yang akan beradu dengan deru semangat, seperti bayangan hujan yang derainya beradu dengan matahari, langkahku masih belum berhenti.

Bochum, 12 Juli 2013

Empat musim yang setia menyapa dari balik jendela