Monday, March 31, 2014

3 Nona Belanda

Tak terasa, sudah lewat 2 tahun aku merantau untuk menuntut ilmu di Bochum, kota kecil nan bersahaja di tepian Sungai Ruhr. Bochum terletak di Negara Bagian Nordrhein-Westfalen (NRW), salah satu dari Negara Bagian Jerman yang letaknya paling barat, berbatasan dengan Belanda. Rencana semula yang kususun bertahun-tahun yang lalu adalah aku ingin sekolah ke Belanda. Salah satu alasannya karena keinginanku untuk mengenal lebih dekat lagi negara yang pernah menjadikan Indonesia sebagai salah satu koloninya ini. Alasan lain, aku tak perlu belajar bahasa asing baru selain Bahasa Inggris, karena hampir setiap orang Belanda fasih dan mau berbahasa Inggris, begitu yang kudengar dari dosen dan senior-seniorku di Bandung dulu.

Tapi rupanya, nasib yang misterius itu telah menembakkan busur panahnya ke arahku lalu mengantarkan kaki ini untuk merantau ke Jerman, bukan Belanda. Tapi tunggu dulu, Kawan, jangan berpikir bahwa aku menyesal telah terdampar di negeri antah berantah ini, tidak, sama sekali tidak. Justru kenyataan lain yang kemudian aku temui telah membuatku takjub dan sangat bersyukur. Walaupun hidup di Jerman, ternyata dengan mudahnya aku bisa berkunjung ke Belanda, kapan saja aku mau dan punya kesempatan. Perjalanan ke kota-kota perbatasan hanya ditempuh dalam waktu sekitar 2-4 jam perjalanan kereta dan/atau bus, bahkan ke beberapa kota tertentu seperti Enschede dan Nijmegen, aku tak perlu membayar ongkos, karena semester ticket NRW masih berlaku sampai kota-kota tersebut. Aku pun mau tak mau harus belajar bahasa baru, bahasa Jerman, walaupun tak terlalu lancar, tapi cukuplah untuk berbelanja ke warung dan jadi bahan cerita di hari tua nanti.

Dari hari ke hari aku menikmati "kekakuan" Jerman, hampir semua urusan bisa diselesaikan tanpa banyak drama dan bertele-tele, disiplin. Setidaknya, sejauh ini begitu yang aku rasakan. Mahasiswa di sini, baik warga negara Jerman maupun asing begitu dimanjakan dengan berbagai fasilitas yang disediakan negara, hak-hak warga sebagai konsumen sangat dilindungi, biaya hidup juga relatif lebih murah dibandingkan negara Eropa Barat lainnya. Tapi yang namanya orang Indonesia, ada pula saatnya ketika aku merasa sangat rindu kehangatan suasana di tanah air, rindu senyuman dan sapaan ramah orang-orang yang kita temui acak dalam perjalanan. Suasana seperti itu rupanya bisa kutemui tak jauh-jauh, Belandalah tempatnya. Aku merasa "pulang" setiap aku berkunjung ke Belanda. Produk makanan  khas Indonesia juga sangat mudah kita temui di toko-toko di Belanda, begitu pula dengan restoran Indonesia, tersedia hampir di setiap kota.

Sebelum sahabatku Mira pulang ke Indonesia, hampir setiap bulan aku ke Nijmegen mengunjunginya, artinya hampir setiap bulan pula aku "pulang" ke "tanah air". Mira tinggal di sebuah rumah berlantai dua, bersama 3 orang nona Belanda. Tadinya kupikir, hidup serumah bersama orang barat tak akan semenyenangkan itu, yang ada hanya suasana dingin dan kaku, jauh dari basa-basi. Tapi kenyataannya sungguh bertolak belakang, tersebutlah Sanne, Linda dan Jitske, 3 nona Belanda yang akhirnya juga menjadi kawan-kawanku.

Puck si pemalu
Sanne memelihara seekor anjing betina yang diberi nama Puck, dan Linda punya seekor burung parkit nan lucu, Jack namanya. Suasana di rumah mereka terasa semakin semarak dengan kehadiran binatang-binatang pintar ini. Kami biasa berkumpul dan berbincang-bincang di lantai 1, di ruang keluarga sekaligus dapur. Setiap aku berkunjung ke sana, kegiatan utama aku dan Mira adalah memasak atau membuat kue. Lalu kami biasa menghabiskan malam sambil mengobrol, nonton televisi, bermain bersama Jack dan Puck, atau menemani Mira siaran di Radio PPI Dunia.

Dari ketiga nona Belanda ini, yang paling pendiam adalah Jitske, sehingga aku tak banyak mengetahui tentang nona berambut keriting pirang ini. Jitske cenderung pemalu, tapi sesekali dia juga mengobrol bersama kami, atau aku mengajaknya bermain bersama Jack. Jitske dulu sempat kuliah, namun tak diselesaikannya, lalu sekarang dia bekerja paruh waktu di kios makanan dan es krim di dekat Centrum. Aku pernah diajak Mira jajan wafel es krim di kios Jitske. Sesekali dia pulang ke rumah orang tuanya, di kota tetangga yang tak terlalu jauh dari Nijmegen. Setiap aku ke sana, perasaanku yang dimakannya selalu keju dan roti, jarang aku melihatnya memasak.

Jack si burung parkit
Lalu nona kedua adalah Linda, anak pemilik rumah ini. Dulu kalau aku tak salah ingat Mira pernah bercerita bahwa orang tuanya tinggal di Paris. Nona berambut merah ini paling cantik di antara ketiganya, dan kalau dia sudah bercerita, aku seperti melihat Mira mengobrol bersama saudara-saudara perempuannya sendiri. Linda sudah lulus kuliah, sempat bekerja paruh waktu tapi sekarang dia sedang menganggur, ingin menikmati hidup mungkin. Linda tak hanya sering mengobrol bersama kami, Jack dan Puck pun sering diajaknya bercakap-cakap. Dia mengajariku bagaimana melatih Jack berbagai ketangkasan, mulai dari berguling-guling di atas lantai, sampai bermain bola, lalu Jack akan dihadiahi biji-biji kuaci sebagai upahnya. Sesekali jika Sanne tak di rumah, dia juga membantu mengurus Puck, memberinya makan dan mengajaknya berjalan-jalan.

Lalu nona yang terakhir adalah Sanne, yang paling sering mengobrol bersama aku dan Mira di antara ketiganya. Lidahnya juga paling Indonesia, makanan Indonesia kegemarannya adalah tempe dan perkedel jagung yang lalu disebutnya sebagai "corn cookies". Setiap aku dan Mira memasak, Sanne hampir selalu ikut makan bersama kami. Dia lalu belajar makan dengan tangan, tanpa sendok, walau sesekali dia harus menyerah karena belum terlalu terampil. Suatu waktu dia pernah berseloroh begini: "Someday, if I go to Indonesia, I can survive just by saying: Sanne makan tempe!". Dia juga sering menanyakan istilah-istilah Bahasa Indonesia, aku pun belajar mengenal istilah-istilah Belanda darinya.

Nona pirang ini adalah seorang kidal yang pintar melukis. Karya-karya lukisannya terpajang di dinding-dinding ruang keluarga dan koridor lantai 2. Sanne lulus dari Jurusan Drama Therapy, ya dia memang seorang seniman. Sejak masih kuliah dia sudah bekerja paruh waktu di sebuah toko pakaian. Sanne sering membantuku mencuci piring sehabis memasak, lalu menanyaiku tentang persahabatan aku dan Mira, dia sering terkagum-kagum melihat kami yang sudah seperti saudara sendiri. Kalau kami bertengkar dalam Bahasa Indonesia, Sanne akan buru-buru bertanya: "What are you guys arguing about?" Lalu aku dan Mira tertawa, dia pun semakin bingung melihat kelakuan kami berdua. Aku paling senang jika Sanne, Linda dan Jitske sesekali mengobrol dalam Bahasa Belanda. Aku akan menebak-nebak artinya karena Bahasa Belanda masih satu rumpun dengan Bahasa Jerman, bahasa turunannya.

Tot ziens, Tante!
Begitulah aku menghabiskan banyak akhir pekanku bersama Mira dan 3 nona Belanda ini selama 2 tahun belakangan. Aku mendapat kawan-kawan baru, sekaligus belajar banyak hal tentang budaya mereka. Memahami orang-orang dari bangsa yang berbeda, menyelami cara berpikir mereka, lalu mereka pun belajar banyak hal tentang budaya Indonesia dari kami. Pekan lalu, terakhir kali aku bertemu mereka, pagi-pagi sekali aku sudah mandi dan membereskan barang-barangku. Lalu aku pun pamit dan mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan mereka, Sanne dan Linda bergantian memelukku sambil menepuk-nepuk punggungku. "Hesty, what a nice person you are. It's a pleasure to know you. Thank you for always visiting us, see you again, someday!", begitulah kira-kira kalimat perpisahan dari Sanne, aku terdiam karena haru. Sayangnya aku tak bertemu Jitske, karena dia sedang mengunjungi orang tuanya. 

Di pagi yang dingin itu, aku pulang ke Bochum, kuperhatikan rumah mungil di Goeman Borgesiusstraat itu sampai hilang di kejauhan ketika aku harus berjalan berbelok arah menuju halte bus Van der Duyn van Maasdamstraat, halte yang ketika pertama kali aku menyebutkannya dulu begitu terbata-bata. Bus Breng merah muda itu mengantarku sampai ke Station Nijmegen Centraal, rinduku mengembang. Pada detik itu aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta pada Belanda dan segala tentangnya. Tot ziens, Sanne, Linda dan Jitske!

Bochum, 31 Maret 2014

Thursday, March 27, 2014

Senandung Musim Semi

Hangat mentari malu-malu menyapa pagi jingga
Cericit burung menyenandungkan lagu cinta
Helai-helai kelopak Magnolia diterbangkan angin tenggara
Bunga-bunga berebutan mekar menampakkan ronanya
Adakah rindu ini menemuimu pada celah pepohonan hijau muda?
di antara binar-binar senja...

Bochum, 27 Maret 2014

Keukenhof Garden, Lisse, The Netherlands, Mei 2013

Ketika Musim-Musim Berganti

Aku dilahirkan jauh di negeri tropis, dibuai hangat mentari sepanjang tahun. Sinarnya itu jarang sekali malu-malu, seperti hujaman pedang-pedang cahaya yang tak habis-habis. Bila musim kemarau tiba, jalanan kering berdebu, daun-daun mahoni berguguran menyisakan ranggas-ranggas kerontang terbakar matahari. Waktu aku masih kecil, aku biasa bermain ke sana ke mari bertelanjang kaki, menyusuri jalanan tanah kerontang, keluar masuk huma dan hutan kecil, atau sesekali berenang di sungai bersama kawan-kawanku. Kalau sudah ke pantai, lain lagi ceritanya, pendeknya selalu saja ada hal baru yang menakjubkan yang kualami setiap hari. Hujannya pun jarang sebentar, tumpah ruah melimpah dari langit. Bila musim hujan tiba, aku paling tak suka kalau harus terkurung di rumah karena sakit. Aku lebih memilih mandi air hujan sambil menghanyutkan perahu kertas pada saluran-saluran air di tepi jalan. Hanya petir yang mampu menghentikan permainan kami di tengah hujan.

Ada pula masanya ketika kemarau betah berlama-lama. Sumur di rumah kami kerontang kehilangan airnya. Lalu orang-orang di kampung kami akan berbondong-bondong mengumpulkan air dari sebuah sumur yang tak pernah kering walaupun kemarau panjang. Sumur ini terletak tak jauh dari aliran sungai, di dekat rumah seorang tetangga kami yang keturunan Tionghoa, Babah Anyin namanya. Maka orang-orang pun menamakan sumur ini "perigi Anyin". Ayahku akan membawa jerigen-jerigen ukuran 20 liter yang disusunnya pada keranjang "pempang" di belakang sepeda motornya. Aku mengikutinya sambil berlari-lari kecil dari belakang. Musim kemarau itu musim susah, tapi keceriaan orang-orang di perigi Anyin mampu mengobati kesedihan kami. 

Pantai Tanjong Pendam, Belitong
Aku tak mengenal segala macam permainan elektronik seperti video game, internet apalagi, satu-satunya hiburan digital di rumah kami hanya televisi. Dulu, kupikir orang-orang di seluruh dunia itu merasakan musim yang sama, tak ada yang namanya musim dingin yang panjang, kalau pun salju paling hanya sebentar, karena kebanyakan film-film luar negeri yang kutonton di televisi menampilkan suasana musim panas, tak ada orang berjaket tebal yang kerepotan menahan dingin. Coba lihat serial Little House on The Prairie, pakaian mereka tak ubahnya pakaian orang-orang di negeri tropis juga. Langitnya pun biru cerah tak berawan, dihembus sepoi-sepoi udara hangat, lalu Laura berlari-lari kecil bersama anjingnya di atas padang rumput nan luas, amboi! Belasan tahun kemudian aku baru menyadari, bahwa suasana seperti itu sesungguhnya sangat jarang dirasakan mereka yang tinggal di negeri empat musim. Mereka hanya merasakan musim panas yang tak begitu lama, sisanya adalah hari-hari kelabu tak bermatahari, dingin, hujan, bahkan bersalju.

Ladang Raps di musim semi, Bochum
Rasanya dulu ketika musim-musim berganti tak pernah kurasakan begitu berkesan, biasa saja. Bunga-bunga liar dari berbagai jenis akan tumbuh dengan mudahnya sepanjang tahun, tak harus menunggu musim semi. Masa kecilku hanya tentang anak kampung yang betah menghabiskan sorenya menunggui matahari di ujung dermaga, bersepeda ke sana ke mari tak kenal lelah atau mengajari kucingku macam-macam ketangkasan. Tahun demi tahun lewat sampai tiba waktunya aku harus meninggalkan kampung halaman. Rupanya belasan tahun kemudian, aku sering diliputi rindu. Aku rindu suara bedug bertalu-talu dari Surau kecil di depan rumah kami, rindu kumandang adzan, rindu layangan warna-warni yang menghiasi angkasa, rindu teriakan ibuku memanggil-manggil jika aku masih betah bermain hingga sore menjelang. Lalu, akan kukatakan pada dunia bahwa masa kecilku terukir dengan sempurna di sebuah negeri indah, jauh di seberang samudera sana, Belitong, Indonesia.

Bochum, 27 Maret 2014

Monday, March 17, 2014

Sepucuk Surat Sensus dan Kantor Pos Kenangan

Beberapa pekan yang lalu, aku menerima sepucuk surat dari pemerintah negara bagian Nordrhein-Westfalen. Isinya tentang pemberitahuan sensus rumah tangga. Tepat seminggu kemudian, sesuai tanggal dan jam yang tertera di dalam surat, seorang petugas sensus, Bapak berperawakan tinggi besar dan berambut panjang datang ke asramaku. Sepintas lalu, mungkin orang akan merasa segan dan takut bertemu Bapak petugas sensus ini, namun sejak dulu aku tak mau menilai orang dari bagaimana dia tampaknya. Sambil menjinjing sebuah laptop dan satu bundel file, dia memperkenalkan diri dengan ramah, lalu kupersilakan masuk. Sesuai kebiasaan orang Jerman, aku pun sudah mempersiapkan semuanya, karpet yang melapisi lantai kamarku yang sekaligus kupakai sebagai tempat sholat sudah kulipat, karena bukan kebiasaan orang Jerman untuk melepas alas kaki ketika masuk ke rumah orang. Aku pun memperkenalkan diri, lalu kusampaikan bahwa aku tak begitu lancar berbahasa Jerman, namun sedapat mungkin aku akan menjawab setiap pertanyaannya dalam bahasa Jerman. Hampir 200 pertanyaan berhasil kujawab dengan baik, Bapak petugas sensus ini bekerja sangat efisien dan rapi. Tak lebih dari 20 menit dia menyelesaikan tugasnya, lalu dia pamit sambil mengucapkan "Vielen dank und viel Erfolg in Ihrem Studium" (Terima kasih banyak dan sukses untuk studimu). Aku membalas senyuman ramahnya dengan ucapan terima kasih. Begitulah tipikal Jerman, bekerja efektif, tepat waktu dan tak banyak basa-basi.

Entah mengapa, segala hal yang berhubungan dengan pos dan surat menyurat telah menyita sebagian perhatianku sejak aku masih kecil. Kelas 3 SD adalah salah satu titik balik ketika berbagai peristiwa penting terjadi dalam hidupku, salah satunya adalah ketika Mamak menghadiahiku album perangko untuk pertama kalinya. Sejak saat itulah aku jatuh cinta pada segala hal yang berhubungan dengan surat-menyurat. Aku mengumpulkan perangko yang kuperoleh dari mana saja, dari hasil menukar dengan kawan-kawan, mengumpulkan dari arsip-arsip surat milik Kakek, atau membeli koleksi SHP (Sampul Hari Pertama) dari kantor pos. Dulu, kantor pos Tanjungpandan yang terletak di Jalan Merdeka itu masih bangunan lama peninggalan Kolonial Belanda. Langit-langitnya tinggi menjulang dan anak-anak tangganya terasa begitu tinggi dan megah untuk ukuran anak SD. Aku rela menyisihkan uang jajanku demi membeli SHP dan berbagai macam kartu pos yang masih disimpan Ibuku sampai hari ini.

Zaman sekarang, ketika telepon rumah, HP dan internet sudah menjadi hal jamak di masyarakat, geliat kantor pos seperti kehilangan jiwanya. Setidaknya ini yang kurasakan di tanah air selama lebih dari satu dekade terakhir ini. Orang-orang tak gemar lagi berkirim surat atau sekedar menyampaikan kabar lewat kartu pos. Semua sudah tergantikan oleh alternatif media komunikasi yang lain. Kalau berbicara tentang efisiensi waktu tentu saja orang akan memilih berkomunikasi lewat media yang lebih cepat. Tapi sebenarnya budaya surat-menyurat ini tak serta merta harus kita tinggalkan.

Dulu aku masih mengalami zaman-zaman terakhir berkirim surat, ketika kami sekeluarga harus pindah ke Pangkalpinang. Tiap sebulan sekali aku bertukar kabar ke beberapa kawan dan nenekku di Tanjungpandan lewat surat. Kalau sepeda motor Pak pos yang berwarna orange itu singgah ke rumah kami, bukan main girangnya hatiku saat itu. Hal-hal sederhana seperti ini, berbekas begitu dalam dalam ingatan. Gores-gores tulisan tangan di atas kertas yang berhias gambar warna-warni atau beraroma parfum nan wangi sesungguhnya tak akan pernah tergantikan oleh email. Ada tumpahan emosi yang begitu kuat di setiap helainya, rindu pun meluap-luap tatkala surat yang dinanti tak kunjung datang, getir sekaligus indah. Surat menjadi sesuatu yang begitu dinantikan karena tak mudah sampai, tak ada konfirmasi telah diterima atau belum, pun jarak yang ditempuhnya tak jarang harus melintasi samudera.

Aku menemukan hal yang sedikit berbeda sejak berada di Jerman. Rupanya orang Jerman masih berakrab-akrab dengan kantor pos hingga hari ini. Hal-hal tentang berkirim kabar, ucapan selamat, ucapan duka cita dan sebagainya (selama masih dianggap bukan hal urgent yang menuntut penyampaian sesegera mungkin), selalu disampaikan lewat pos. Surat-surat resmi dari kantor-kantor pemerintah, instansi, dokter, dan sebagainya juga masih disampaikan lewat pos. Maka tak heran, kartu pos, dan berbagai kartu ucapan begitu mudah kita peroleh, tak hanya di kantor pos. Kartu pos juga menjadi ciri khas dan alternatif souvenir dari sebuah kota. Kantor pos mempunyai banyak cabang yang mudah dijangkau di sekitar tempat tinggal penduduk, begitu pula dengan mesin perangko dan kotak pos.

Maka, menemukan kenyataan ini, aku seperti dipertemukan kembali dengan cinta yang lama, masih sama indahnya walaupun berbelas-belas tahun kami tak berjumpa. Tiap berkunjung ke kota manapun, aku selalu menyempatkan diri untuk membeli kartu pos, lalu kutulis sebait dua bait kabar untuk kukirimkan kepada sahabat dan handai taulan. Aku pun punya kebiasaan baru, menulis puisi atau cerita pendek pada selembar kartu pos selama di perjalanan, karena inspirasi untuk menulis tak jarang datang selama di perjalanan. Aku masih ingat, tanggal 1 Januari 2012, aku menyaksikan matahari terbit pertama di tahun baru dari ketinggian ribuan meter di atas udara. Saat itu, aku dalam perjalanan pulang selepas mengunjungi Tanteku di kota Zug, Swiss. Satu bait cerita inilah hasilnya.

Ufuk Timur
 
Di timur cakrawala, matahari terbit seperti biasa.
Seperti sejak sejarah manusia mencatatnya.
Namun, pagi ini sedikit berbeda.
Itu sungging senyum pertamanya tahun ini.
Awan tebal menyertai semburat jingganya.
Seperti bulu-bulu domba, kelabu.
Itulah awan-awan yang menurunkan salju.

First sunrise of the year.
January 1, 2012 [Zürich-Düsseldorf]

Ketika pertama kali aku ke kantor pos Jerman, aku diliputi perasaan khawatir, karena ketika itu aku belum bisa berbahasa Jerman. Lalu kuberanikan menyampaikan keperluanku dalam bahasa Inggris. Bapak pegawai pos di hadapanku berwajah sangar, senyum pun tidak. Lalu tak dinyana, dia membalas permintaanku dengan ramah, juga dalam bahasa Inggris. Sejak saat itu aku tak pernah khawatir lagi, aku tahu pasti, kantor pos memang tak pernah mengkhianatiku. Kini, mengunjungi kantor pos kembali menjadi kebiasaan menyenangkan bagiku.

Lalu kenanganku kembali ke masa-masa belasan tahun yang lalu, aku teringat seorang Ibu pegawai pos di kantor pos Tanjungpandan dulu. Ibu dari kawan SMP-ku, Ibu Elizabeth namanya, namun kami biasa memanggilnya Bu Lisbet. Bu Lisbet ini begitu ramah, dan aku menaruh perhatian lebih padanya, bukan hanya karena dia Ibu dari kawanku, namun juga karena beliau keturunan Tionghoa. Profesi sebagai pegawai Jawatan pemerintah atau pegawai negeri tentu bukan hal yang jamak dilakoni saudara-saudara kita keturunan Tionghoa. Aku juga mendengar sebuah cerita dari Ayahku, Ayah Bu Lisbet ini ternyata pernah sampai memperoleh penghargaan khusus karena saking seringnya mendonorkan darah ke PMI. Diam-diam aku mengagumi keluarga hebat ini. Maka dari sepucuk surat sensus dan kantor pos kenangan, aku belajar memandang manusia seutuh-utuhnya, tak peduli apa pun latar belakang, agama, suku bangsa, pandangan politik dan pilihan hidupnya. Setiap manusia adalah manusia, sesederhana kita (mau) menghargainya.

Bochum, 17 maret 2014

Thursday, March 13, 2014

Bochum - Nijmegen dan Mimpi-mimpi Masa Silam

Aku masih ingat, sore itu di beranda lantai 2 gedung Labtek VI, aku dan Mira duduk berdua, memandang hujan. Beranda sudah sepi, tak terdengar lagi hiruk pikuk mahasiswa yang mengurus ini itu di kantor tata usaha, hanya suara hujan yang menemani kami di sore bulan Juli itu. Tak terasa 4 tahun sudah aku mengenal gadis hitam manis ini, namun kami baru benar-benar akrab tak lebih dari 1 tahun belakangan ini, ketika nasib mempertemukan kami di lab yang sama, Lab Instrumentasi Medik. Pun belum genap sebulan kami diwisuda, masih hijau, fresh graduate kalau istilah orang-orang zaman sekarang.

Beberapa bulan sebelumnya, langkahku maju mundur tak karuan. Aku bingung hendak kemana. Pun sore itu, belum juga bulat keputusanku. Tiba-tiba, Mira memecah bisu, dia bercerita tentang salah satu mimpinya, yang sekaligus pula mimpi Ibundanya. Aku tahu, Mira juga sebenarnya masih diliputi ragu. Namun, mimpinya itu seketika menyihirku, derai-derai hujan seperti dibekukan udara, menjelma menjadi bilah-bilah bening menghujam mataku, menuding aku yang masih ragu.

Sore sunyi di bulan Juli itu tak mungkin aku lupakan, sore itu adalah salah satu titik balik yang mengantarkanku menjadi aku hari ini. Konsekuensi mimpi dan keputusanku (sekaligus kami: aku, Mira dan Vebi) tentunya bukan hal mudah. Ini pula berarti kami harus mengikatkan diri pada komitmen bertahun-tahun ke depan, bergelut dengan buku-buku, dan entah berapa eksperimen lagi yang seperti tak habis-habisnya menunggu kami. Betapa pun sulitnya, kami akan sekolah lagi!

Setahun berselang, aku dan Mira punya panggilan baru. Aku menjadi Makcik dan Mira menjadi Tante, karena Vebi sahabat kami telah menjadi Uma' (Ibu, bahasa Melayu Belitong, red.) dari seorang anak laki-laki yang lucu, Richie namanya. Lalu orang-orang sekitar kami pun serta merta memanggil kami dengan panggilan baru ini, pun hingga hari ini.

Singkat cerita, kami pun diwisuda lagi. Kali ini aku tertidur di gedung Sabuga, bosan mendengarkan ceramah ilmiah yang entah disampaikan oleh siapa saja, Tante entah masih khusyuk mengikuti prosesi wisuda atau ikut tertidur, aku tak ingat lagi. Lalu hidup kami kembali lagi seperti 2 tahun sebelumnya, fresh graduate yang pun belum kunjung punya pekerjaan tetap. Tante memang tak pernah ambil pusing soal rencana hidup. Slogan favoritnya: "bebas aja". Maka, dari perempuan penyayang ini aku belajar agar tak terlalu "ngoyo" menjalani hidup, tapi bukan pula berarti kami tak bekerja keras. Cukuplah Allah dan orang-orang terdekat saja yang mengetahui bagaimana kami bersusah payah. Kami lebih terlihat seperti sekumpulan anak muda santai yang gemar "mentertawakan" hidup.

Nasib mengantarkan Tante lebih dahulu ke Eropa, tanah yang memeluk mimpi-mimpi kami. Uma' juga sudah 1 semester memulai program Doktoralnya di tanah air. Tinggallah aku yang masih tak jelas rimba nasibnya. Enam bulan aku seperti "orang gila" melamar sekolah ke sana ke mari. Aku pun sudah tak mempan lagi dihujam penolakan bertubi-tubi, 25 aplikasi ditolak setelah mengikuti serangkaian proses seleksi yang terkadang sudah hampir di ujung harapan menang, 7 aplikasi tak jelas kabarnya. Suatu malam, Tante menanyakan bagaimana kabar aplikasi-aplikasiku, pertanyaan yang sama selama beberapa bulan terakhir ini, namun kali ini Tante merasa sedikit khawatir. Tenanglah Kawan, sihirmu sore itu belum hilang bekasnya, masih tak mempan dihujani kegagalan-kegagalan yang belum berbuah ini. Akhirnya, dari 33 aplikasi yang kukirim, aplikasi ke 26 lah yang menjadi awal perjalanan panjang kami berikutnya. Aku akan menyusul Tante ke Eropa.

Aku pun merantau lagi, lebih jauh lagi. Malam itu, 2 Desember 2011, belum genap satu bulan aku di Bochum, Tante dan Yoga datang mengunjungiku. Ah senang rasanya, bertemu saudara sendiri ketika betah belum kunjung mengakrabi hari-hari. Dua tahun belakangan ini, kami sering sekali bertemu, karena kebetulan jarak kota tempat tinggal kami tak terlalu jauh walaupun sudah berbeda negara, hanya kurang lebih 3 jam perjalanan kereta. Nijmegen pun sudah seperti kota keduaku. Aku mengenal Nijmegen sama seperti aku mengenal Bochum, dan aku pun mencintai keduanya. Dulu sekali aku pernah bermimpi, aku dan Tante sekolah ke Eropa dan kami saling mengunjungi, ternyata hari-hari belakangan ini mimpi itu menjadi kenyataan. Berikut potongan catatan kenang-kenanganku tentang kota Nijmegen.

Nijmegen, ke tujuh kalinya


Kalaulah ada gubahan lagu tentang kenangan akan sebuah kota, tentu banyak orang yang akan mengingat Yogyakarta. Aku pun menyimpan kenangan manis tentang persahabatanku di sana. Lalu, siapa gerangan penyair yang sudi kiranya menggubah lagu serupa untuk kota Nijmegen? Kota kecil nan cantik di tepi Sungai Rijn, yang riak-riaknya mengalir syahdu, mengirimkan limpahan berkah tak putus-putus dari negeri tetangga, Jerman dan Swiss. Nimwegen, begitu lafal Jerman menyebutnya, kota yang akan aku kenang seumur hidupku, tempat salah seorang sahabatku berjuang dalam 3 tahun terakhir ini. 

Di masa depan, aku akan mengingat setiap sudutnya yang akan menyimpan dengan indah helai-helai kenangan persahabatan kami di negeri orang. Kerlip selasar stasiun, jari-jari sepeda yang kami kendarai mengelilingi sudut kota, derum bus Breng bercorak merah muda, serta merdu lidah Belanda ketika melafalkan "Nai-me-hen". Gelung-gelung logam abstrak di pusat kota, pernah aku bergelantungan di sana pada suatu siang nan cerah di musim semi, lalu kuingat wajah ramah oma-oma Belanda. Demikianlah serpih-serpih kenangan yang akan kususun mozaiknya nanti pada suatu masa ketika kami tak lagi muda. Seperti kerlip lampu yang menari dalam temaram senja, senyum kota Nijmegen seperti tak akan sirna.

Stasiun Nijmegen Centraal menjelang senja, musim gugur 8 Oktober 2013.

***

Hampir selalu, aku dan Tante menghabiskan liburan bersama. Berbekal nekat, kami menjelajahi Eropa selama berhari-hari ketika musim liburan tiba. Mungkin semacam "hadiah" dari kami dan untuk kami sendiri. Tentu tak sedikit pengalaman pahit yang kami alami selama perjalanan, kami pernah tersesat, sakit, kelelahan, lapar. Tapi, tak sedikit pula pengalaman berharga yang akan kami kenang seumur hidup. Kata orang, bepergianlah, maka engkau akan mengenal sahabat seperjalananmu, karena banyak hal yang akan teruji di sana. Tante adalah sahabat seperjalananku, maka kami tak pernah sekali pun saling menyalahkan jika menghadapi kesulitan, paling hanya tertawa sambil kebingungan menemukan jalan keluar.

Obrolan kami jarang serius. Aku tahu kalau Tante sedang banyak pikiran, dia akan lebih banyak diam, dan aku juga sudah tahu bagaimana menghadapinya, diamkan saja, paling keesokan harinya dia sudah kembali "gila", itu berarti dia sudah normal kembali. Namun beberapa kali tak jarang pula kami terlibat obrolan serius, tak tanggung-tanggung sampai menjelang dini hari kami membahas masa depan bangsa! Hahaha, siapa kami ini, sekolah pun belum selesai sudah berani-beraninya. Tante pun tahu bagaimana menghadapi aku yang sedang banyak pikiran. Dia akan menyogokku dengan segala hal yang berbau kucing juga makanan-makanan enak yang dimasaknya sendiri.


Waktu berputar cepat sekali, tahu-tahu sudah seminggu, sebulan, setahun, dan sekarang sudah lewat 2 tahun. Tante sudah harus pulang ke tanah air, lebih dahulu. Perjuangannya memang belum genap, insyaAllah tahun ini dia akan menjadi Doktor, jebolan Radboud Universiteit Nijmegen, Belanda. Mungkin pergantian musim-musim di sepanjang perjalananku pulang pergi Bochum-Nijmegen tak akan terlalu sering lagi aku saksikan. Biarlah dia menetap dalam sanubariku sebagai serpih-serpih kenangan yang akan kami susun mozaiknya nanti pada suatu masa ketika kami tak lagi muda.

Ah, Tante, satu buku pun sebenarnya tak akan habis untuk menceritakan kebanggaanku padamu. Sesungguhnya aku tak pernah menyesal Allah pernah mempertemukan kita. Cepatlah pulang ke tanah air, raih mimpi-mimpimu yang lain. Jangan pernah berhenti untuk menjadi kebanggaan kami: keluarga dan sahabat-sahabatmu. Aku masih harus menuntaskan mimpi Eropa ini, untuk merajut mimpi-mimpi selanjutnya. Jika tiba waktunya nanti, kita akan berjumpa lagi, insyaAllah. Semoga persahabatan ini membawa kebaikan tak hanya di dunia, namun semoga Allah mengumpulkan kita di akhiratNya kelak dalam keadaan yang jauh lebih baik. Salamku untuk setiap jengkal tanah air, yang mengalirkan hidup pada kita, anak bangsa yang pernah berjuang bersama.

Bochum, 13 Maret 2014