Monday, April 28, 2014

Roncallihaus

Sepuluh tahun sudah berlalu sejak pertama kali aku meninggalkan rumah dan kampung halaman. Aku hidup berpindah-pindah dari satu rumah kos ke rumah kos lainnya di Bandung dulu. Belajar hidup mandiri, jauh dari keluarga dan sanak saudara, sekaligus belajar berbagi kebersamaan dengan orang-orang dari berbagai latar belakang. Sampai saat ini pun, Sukamantri, sebuah kampung urban di Bandung yang kutinggali selama kurang lebih 7 tahun, masih menyisakan kenangan yang sulit rasanya aku lupakan. Berikut beberapa catatan kenang-kenanganku tentang Sukamantri yang sempat kutulis beberapa waktu yang lalu:


Perantauanku pun berlanjut, kali ini aku harus menembus batas negara, bangsa dan budaya. Sebelum berangkat, aku berusaha mengumpulkan berbagai informasi dari internet tentang segala hal yang berhubungan dengan Jerman pada umumnya, dan Bochum khususnya. Mencari tempat tinggal di Bochum untuk mahasiswa ternyata gampang-gampang susah. Melalui korespondensi email dengan Supervisorku sampai 2 minggu sebelum keberangkatan, aku belum kunjung mendapatkan tempat tinggal. Beliau berusaha mencari ke sana ke mari, termasuk menghubungi International Office untuk membantuku.

Singkat cerita dari beberapa orang Indonesia yang tinggal di Bochum, yang kukenal melalui Facebook, aku dihubungkan dengan sebuah asrama mahasiswa yang terletak tak jauh dari kampusku, hanya sekitar 1,5 km. Roncallihaus, begitu nama asrama tua itu, dibangun tahun 1965 bersamaan dengan dibukanya Ruhr Universität Bochum, universitas negeri pertama yang didirikan di Jerman setelah Perang Dunia II. Dari beberapa pengalaman yang kudengar dari mahasiswa Indonesia yang pernah tinggal di Roncallihaus, asrama ini tak begitu nyaman, air panasnya sering mati, pemanas ruangannya pun sering tak menyala ketika musim dingin tiba, mesin cucinya hanya ada 2, padahal kamar yang tersedia total berjumlah 160. Tapi, mendengar hal itu, nyaliku tak ciut, tak apalah bersusah-susah dulu pikirku, daripada tak mendapat tempat tinggal sama sekali dan harus menumpang di tempat orang lain. Kontrak pertama aku setujui selama 8 bulan, jika ternyata kemudian aku tak betah maka rencananya aku akan mencari tempat tinggal lain yang lebih nyaman.

Barbara, begitu nama salah seorang pegawai asrama yang bertanggung jawab mengurus administrasi sehari-hari di Roncallihaus. Berkas aplikasi sudah kukirimkan kepadanya melalui kenalanku yang juga tinggal di Roncallihaus. Tak ada satu pun foto Barbara yang dapat kutemukan di website resmi Roncallihaus. Aku hanya membayang-bayangkan saja bahwa perempuan ini berwajah seperti orang Jerman kebanyakan: dingin, kaku dan jarang tersenyum. Dari email terakhir yang kuterima, Barbara berpesan agar ketika aku sampai, aku harus menekan tombol 1 dan 6 pada sebuah telepon yang tergantung di depan pintu masuk asrama.

Michal dan Moni yang menjemputku di bandara Düsseldorf langsung mengantarku ke Roncallihaus. Asrama milik yayasan Evangelisch ini terletak di ujung sebuah jalan buntu, Laerheidestraße. Pada sore kelabu di bulan November itu, pohon-pohon hampir meranggas, daun-daun kuning kecoklatan berguguran diterbangkan angin, berserakan di pinggir-pinggir jalan. Michal membantuku membawa koper dan barang-barangku. Begitu tiba di pintu asrama, Moni langsung menekan tombol 1 dan 6 sesuai pesan Barbara. Moni berbicara dalam bahasa Jerman, lalu tak lama kemudian seorang perempuan berwajah ramah membukakan pintu, dialah Barbara. Perempuan ini kutaksir usianya sekitar 50an, berkacamata, rambutnya lurus pirang, tingginya tak seberapa, tak seperti orang Eropa kebanyakan, malah sedikit lebih pendek dariku. Aku yang masih setengah-setengah jetlag mendengarkan beberapa penjelasan singkat dari Barbara, dia memberiku 3 anak kunci dan satu berkas dokumen tipis berisi perjanjian sewa, semuanya tertulis dalam Bahasa Jerman. Aku yang ketika itu masih buta aksara sama sekali tidak mengerti apa isi surat kontrak itu. Moni lalu menjelaskan detailnya padaku dan aku pun akhirnya membubuhkan tanda tangan pada surat tersebut. Michal dan Moni menemaniku berkeliling-keliling asrama bersama Barbara. Dia mengantar kami ke beberapa ruangan utama fasilitas asrama, antara lain dapur dan ruang TV yang tersedia di setiap lantai, ruang laundry, perpustakaan, ruang pertemuan yang merangkap ruang piano, bar dan kapel kecil.

Kesan pertamaku tentang Jerman adalah dingin, iklimnya, juga orang-orangnya. Namun, orang-orang pertama yang kutemui justru sebaliknya, tak terkecuali Barbara. Perempuan ini tak berhenti tersenyum dan tertawa-tawa kecil di sela-sela pembicaraan pertamanya padaku sore itu, ramah sekali, tak ubahnya orang Indonesia. Sekarang waktunya bagiku membuktikan asumsi-asumsi lain yang tersusun di kepalaku sebelum tiba di sini. Malam pertama aku tinggal di Roncallihaus, kurasakan udara dingin menusuk luar biasa. Selimut yang disediakan tak cukup rasanya mengusir hawa dingin pada malam di akhir musim gugur itu. Aku memeriksa pemanas ruangan di bawah meja, masih menyala, tapi tak seberapa hangat, lewat pukul 11 malam, pemanas itu lalu tak menyala sama sekali.

Keesokan sorenya aku mencari Barbara di kantor asrama, aku bertanya tentang pemanas ruangan yang mungkin tidak berfungsi. Klaus, suami Barbara segera ke kamarku untuk memeriksanya. Kata Klaus, pemanasnya berfungsi baik, tapi memang tak dinyalakan full dari central controller-nya karena memang belum masuk musim dingin, dan setelah pukul 11 malam memang dimatikan dengan asumsi temperatur di dalam ruangan sudah stabil. Pemanas akan dinyalakan kembali sekitar pukul 6 pagi. Barbara yang mungkin tak tega melihatku, lalu mengajakku ke ruangan laundry, diberinya aku sebuah selimut tambahan bermotif coklat kotak-kotak, selimut wangi berbahan wol ini kelihatannya lebih hangat. "Pakailah ini." katanya sambil tersenyum. "Kalau ada apa-apa sampaikanlah pada kami, jangan sungkan-sungkan", ujar perempuan sederhana ini.

Pelajaran pertama yang kuperoleh sore itu adalah tentang standar dingin dan hangat relatif yang berlaku di sini. Udara bulan November yang terasa sangat menusuk menurut kulit Melayu-ku sebenarnya bukan apa-apa bagi orang Jerman, masih terhitung hangat bagi mereka. Mungkin dalam beberapa bulan ke depan seiring berjalannya waktu, tubuhku pun akan ikut menyesuaikan. Semuanya hanya tentang waktu dan serba relatif. Pelajaran kedua, Barbara dan Klaus-lah yang sesungguhnya secara tak langsung akan menjadi "orangtua angkatku" selama aku tinggal di sini. Masalah apapun yang aku rasakan di asrama, pengaduan akan tertuju pada mereka. Maka, aku pun harus pandai-pandai memperlakukan mereka dengan baik. Aku tak ingin berasumsi negatif tentang orang lain, apalagi yang baru kukenal. Rule yang ada dalam pikiranku bahwa hubungan manusia itu timbal balik, orang akan berlaku baik pada kita sebagaimana kita berlaku baik pada mereka, begitu pun sebaliknya.

Hari demi hari kulalui, tak terasa bulan demi bulan berganti. Aku mengenal banyak orang dari berbagai bangsa yang berbagi lantai denganku. Dapur sekaligus ruang TV di lantai kami, menjadi tempat utama kami berinteraksi sehari-hari. Tetanggaku datang dan pergi silih berganti. 8 bulan pun lewat, batas kontrak pertama yang kusepakati telah habis. Aku menemui Barbara pada suatu pagi, menyampaikan maksudku untuk meneruskan kontrakku di Roncallihaus. Tak ada alasan bagiku untuk pindah, sejauh ini tak ada masalah berarti yang kutemui di asrama ini. Kalau pun ada, hanya masalah-masalah sepele yang bisa diselesaikan dalam satu hari dengan melaporkannya langsung pada Barbara atau Klaus. Aku pun belajar berbagi dan bertoleransi dengan kawan-kawanku yang berasal dari berbagai negara, budaya dan latar belakang yang sangat beragam.

Suami istri ini bekerja bahu membahu mengurus asrama kami. Jika Barbara bertanggung jawab mengurus administrasi sehari-hari, maka Klaus bertugas mengurus segala urusan teknis dan pertukangan di asrama yang terbagi menjadi 2 gedung utama ini, gedung A dan gedung B. Sehari-hari dia dibantu oleh seorang tukang. Mereka mengerjakan sendiri instalasi dan perawatan alat-alat listrik, pertukangan, bengkel sampai mengurus keran yang bocor. Asrama ini memang sudah tua, tapi sering kuperhatikan setiap detail fasilitasnya, untuk ukuran barang-barang tua, keadaannya relatif terawat. Untuk perawatan kebersihan, biasanya beberapa pekerja paruh waktu datang setiap pagi untuk membersihkan dapur dan kamar mandi di tiap lantai. Setiap lantai kebagian giliran 2 kali dalam seminggu, lantai kami setiap Senin dan Kamis.

Ada kebiasaan unik yang sering kuperhatikan di Roncallihaus ini. Lobi utama di lantai satu, ruangan terbuka berjendela yang menghubungkan gedung A dan gedung B, selalu dihias oleh Barbara dengan tema yang berbeda-beda setiap beberapa bulan, sesuai musim. Dekorasinya lengkap, mulai dari barang pernak pernik, bunga-bunga dan tanaman hias, taplak meja sampai kain dan tempelan ornamen di beberapa dinding, serasi menyatu dengan suasana di luar, merepresentasikan musim yang sedang berlaku saat itu. Lalu, aku sedikit heran, Barbara selalu memanggil namaku setiap kali menyapa, padahal penghuni asrama ini berjumlah ratusan orang, sedang di dalam mobil pun dia sering melambai-lambai jika bertemu di jalan. Aku tak tahu apakah kebiasaan ini juga sering dilakukannya pada penghuni-penghuni lainnya, yang kutahu orang Jerman kebanyakan tak seperti itu.


Barbara dan Klaus sangat mencintai bunga dan tanaman hias. Maka, halaman asrama kami selalu semarak setiap menyambut musim semi, tak terkecuali tanaman hias dan bunga-bunga dalam pot yang mereka pajang di dalam lobi asrama. Ada beberapa pohon pisang yang mereka tanam di dalam pot besar. Meski tak pernah berbuah, pohon-pohon pisang ini mereka rawat dengan seksama, kalau tiba musim dingin bagian pucuknya akan dipangkas dan pohon-pohon dari negeri jauh ini akan "tidur" panjang selama berbulan-bulan di dalam ruangan lobi. Begitu "mulia"-nya tanaman tropis ini mereka perlakukan. Aku jadi teringat pohon-pohon pisang yang ditanam ayahku di belakang rumah kami dulu, waktu aku masih kecil sering kupotong-potong pelepah dan batangnya untuk kujadikan mainan, seperti tak berharga sama sekali. Lalu, di bagian tengah ruangan lobi teronggok 1 pot besar yang ditanami pohon palem tukas, pohon palem yang biasa tumbuh di hutan-hutan tropis. Getah buahnya bisa menimbulkan rasa gatal luar biasa. Pohon tukas ini juga bukan termasuk kategori tanaman berharga di kampungku dulu, kalau ayahku sedang membersihkan huma dan ladang di belakang rumah kami, pohon ini akan ditebang begitu saja karena sering tumbuh sembarang dan mengganggu pohon buah-buahan yang sengaja kami tanam. Begitulah nilai suatu benda, dia akan menjadi begitu berharga dan dimuliakan ketika menjadi sesuatu yang jarang dan berada jauh dari tanah asalnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan lama-kelamaan manusia juga cenderung diperlakukan seperti itu?

Pernah juga suatu sore sehabis hujan, aku melihat Barbara dan Klaus berjalan berdua menyusuri halaman dan hutan-hutan kecil sekitar asrama. Aku memperhatikan mereka dari kejauhan, dari jendela kamarku. Pada suatu sore sunyi nan sejuk di musim semi itu mereka berbincang-bincang sambil sesekali tertawa kecil memandangi bunga-bunga aneka warna yang berebutan menyembul-nyembul di sela-sela rerumputan. Ah, bahagia sekali pasangan yang tak lagi muda ini, masa tua yang mungkin menjadi impianku juga. Tiap menyambut pergantian musim, biasanya sepucuk kartu ucapan dari Klaus dan Barbara ditemani sekotak biskuit buatan Barbara sendiri, coklat atau setangkai bunga akan menghiasi meja ruangan keluarga di tiap lantai. Tulisan tangannya itu cantik sekali, tulisan rangkai bersambung seperti tulisan ibuku.

Beberapa minggu yang lalu, masih pagi sekali aku sudah berangkat ke kampus untuk menyiapkan eksperimen. "Morgen, Hesty." tiba-tiba Barbara menyapaku di pintu keluar. Aku yang masih setengah mengantuk membalas spontan: "Guten Morgen, Barbara." Rupanya Barbara menyuruhku mampir besok sore bila aku ada waktu, aku mengiyakan permintaannya. Aku bertanya-tanya dalam hati, ada undangan apa sebenarnya, karena terburu-buru aku tak menanyakan lagi lebih detail. 

Keesokan sorenya, aku mampir ke tempat Barbara, dia dan Klaus tinggal di lantai paling atas gedung kami, lantai 6. Rumah mereka dihiasi berbagai bunga dan tanaman hias, sederhana namun cantik dan terawat. Barbara mengajakku berbincang-bincang, dia menanyakan tentang hari-hari besar agama Islam, bagaimana tradisi perayaan, makanan khasnya dan sebagainya. Aku pun lalu bercerita panjang lebar tentang Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Lain waktu, kata Barbara jika dia berkesempatan dia ingin memberikan kenang-kenangan atau makanan kecil untuk kami demi merayakan hari-hari besar tersebut. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dalam hatiku, aku begitu bersyukur telah dititipkan Allah pada orang-orang baik seperti ini. Aku merasa berada di tengah-tengah keluarga sendiri walaupun jauh dari kampung halamanku. Maka aku benar-benar tak punya alasan lagi untuk pindah. Waktu berlalu seperti hanya sekejap mata, tak terasa sudah hampir 3 tahun aku menjalani hari-hari di kota kecil nan bersahaja ini. Suatu hari nanti ketika tiba waktunya aku harus kembali ke tanah air, pasti aku akan merindukan Barbara, Klaus dan hari-hari yang kulewati di asrama sederhana ini.

Bochum, 28 April 2014


Thursday, April 03, 2014

Bertualang ke Negeri Utara, Skandinavia [Bagian 1]

Waktu itu, awal April 2012, daratan Eropa bagian barat sudah mulai memasuki musim semi, musim semi pertama seumur hidupku. Aku takjub memperhatikan tunas-tunas yang bermunculan dari celah-celah tanah basah dan rerumputan yang masih menyisakan lapisan es tipis. Crocus, Daffodil, dan Tulip adalah bunga-bunga yang pertama tampil, warna-warni merona, kontras dengan latar belakang rerumputan hijau tua. Ranting-ranting pepohonan yang berbulan-bulan meranggas bisu diselimuti beku mulai menampakkan tanda-tanda kehidupan. Satu per satu pucuk-pucuk daun hijau muda dan bunga-bunga menjuntai-juntai pada ujung-ujung jemarinya. Kelinci, tupai dan tikus tanah, binatang-binatang penghuni lubang mulai bangun dari tidur panjangnya, menemani cericit burung-burung yang menyenandungkan bait-bait riang musim semi. Alam seakan terbangun dari istirahat panjangnya, sungguh luar biasa.

Penutup Saluran Air di Jalanan Kota Stockholm
Sementara itu, aku dan 3 sahabatku, Mira, Naren dan Yoga, mempersiapkan petualangan pertama kami ke wilayah Eropa bagian utara, Skandinavia. Sebenarnya ide ini mula-mula terpikirkan olehku lebih karena iseng dan nekat. Awalnya, kesan yang ada dalam pikiranku tentang Skandinavia tak lebih dari bayangan bahwa wilayah ini dihuni oleh manusia-manusia albino, yang lebih albino dibandingkan orang-orang Eropa di wilayah lainnya. Mungkin lantaran mereka lebih jarang terpapar matahari. Kebetulan aku juga memiliki tetangga satu lantai yang berasal dari Finlandia. Gadis cerdas ini berambut pirang hampir-hampir putih, bola matanya biru jernih, kulitnya putih pucat, tipikal orang Skandinavia.

Berbulan-bulan sebelumnya sejak ide ini tercetus, jauh-jauh hari kami mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Aku baru menyadari bahwa bepergian itu tak segampang pelesir ke pantai dekat rumahku dulu ketika aku masih kecil. Apalagi, kali ini kami bepergian berempat dengan modal pas-pasan sebagai mahasiswa. Kami harus mengatur biaya perjalanan sehemat mungkin, namun bagaimana pun caranya kami harus pintar-pintar menyiasati agar tak sampai mengorbankan kenyamanan dan keselamatan perjalanan kami.

Kota pertama yang menjadi tujuan kami adalah Stockholm. Aku, Mira dan Naren berangkat dari bandara Schiphol Amsterdam pukul 9 malam, penerbangan ini kami tempuh selama lebih kurang 2 jam. Yoga tak ikut bersama kami lantaran masih harus mengurus perpanjangan visa, dia akan menyusul beberapa hari lagi. Kebetulan salah seorang kakak kelas kami sedang menempuh pendidikan Master di Stockholm ketika itu, Kang Dika, dialah yang akan menjadi guide kami selama di sana.

Kang Dika mewanti-wanti agar kami membawa perlengkapan musim dingin, karena musim semi di Skandinavia datang lebih lambat dibandingkan di wilayah Eropa barat. Benar saja, setibanya kami di sana, waktu menunjukkan hampir tengah malam, udara dingin begitu menggigit, perkiraanku sekitar -5 °C, sedangkan siang tadi kami masih merasakan udara hangat belasan derajat di Belanda. Sesuai rencana yang telah kami pelajari, kami harus mengambil kereta bawah tanah (subway) menuju penginapan, dari halte terakhir kami harus berjalan sekitar 5 menit melewati jejeran pertokoan, gedung-gedung kuno dan kompleks pemakaman. Ternyata perjalanan 5 menit yang kami ketahui sebelumnya dari google maps adalah perjalanan kaki "normal" tanpa membawa barang bawaan. Sedangkan masing-masing dari kami harus memanggul ransel dan koper yang lumayan berat, ditambah lagi harus melewati tanjakan sambil menahan udara dingin yang menusuk tulang. Di halaman kompleks pemakaman yang kami lalui, berdiri sebuah kapel dengan latar belakang pepohonan besar yang meranggas tak berdaun, nisan-nisan berbentuk salib setinggi anak kecil teronggok bisu memandangi langit kelam. Bulan separuh sesekali mengintip disamarkan awan tipis, tumpukan salju masih tersisa di pinggir-pinggir jalan dan celah rerumputan. Kami tiba di penginapan lewat tengah malam, setelah membereskan barang-barang dan mandi, kami pun tertidur karena kelelahan.

Skansen Open Air Museum
Keesokan harinya, rasa lelah perjalanan kemarin sebenarnya belum sepenuhnya hilang. Tetapi, cuaca cerah pagi ini berhasil menggoda kami untuk menjelajahi kota Stockholm menjelang musim semi. Dari penginapan, kami berjalan kaki menuju pusat pertokoan di tengah kota, Kang Dika sudah menunggu kami di sebuah stasiun tram, aku tak ingat lagi namanya. Sesuai saran Kang Dika, kami membeli tiket harian yang berlaku untuk naik kereta, tram, bus, dan kapal. Tujuan pertama kami hari ini adalah Skansen, sebuah Open Air Museum pertama di dunia yang merangkap sebagai kebun binatang. Skansen didirikan pada tahun 1891 dan terletak di Pulau Djurgården. Tram membawa kami melintasi jembatan Djurgårdsbron yang menghubungkan bagian daratan kota Stockholm. Sesampai di Skansen, kami harus mengantri untuk mendapatkan tiket, hari ini pengunjung ramai sekali. Museum Skansen mencakup area seluas kira-kira 30 hektar, meliputi museum-museum, rumah-rumah pertanian dan peternakan tradisional, kincir angin, gereja kayu dan bangunan-bangunan kuno lainnya dari abad ke 18. Skansen menampilkan bagaimana gaya hidup masyarakat Swedia berabad-abad yang lalu. Sayangnya kami tak sempat mengunjungi area kebun binatangnya.

Skogskyrkogården
Sepulang dari Skansen, Kang Dika mengajak kami ke tujuan berikutnya, Skogskyrkogården. Sebuah taman pemakaman, ya pemakaman dalam arti sebenarnya. Lalu apa yang istimewa dari tempat ini. Skogskyrkogården adalah kompleks pemakaman yang masuk dalam daftar UNESCO World Heritage. Sebelumnya tak banyak orang menyangka sebuah taman yang dibangun pada abad ke 20 ini akan memperoleh penghargaan yang begitu membanggakan. Kompleks Skogskyrkogården "menjual" harmonisasi keteraturan dan keindahan kompleks pemakaman, arsitektur beberapa bangunan dan hutan-hutan kecil yang terawat, sederhana tapi elegan. Kami berkeliling-keliling di sekitar taman terbuka berupa padang rumput dan perbukitan hijau nan luas. Di beberapa sisinya tangga-tangga beton menghubungkan sub-sub area pemakaman. Beberapa karangan bunga yang masih segar teronggok di atas makam. Aku masih berusaha mengakur-akurkan perasaanku yang campur aduk, antara ingin menikmati keindahan taman di sore yang cerah itu atau perasaan kosong mengamati makam-makam bisu yang menjadi simbol kesedihan dan kehilangan. 

Festival Perang bantal
Kami meninggalkan Skogskyrkogården menuju pusat kota. Kang Dika lalu mengajak kami menikmati kota Stockholm dari laut, kami menumpang kapal wisata kecil yang membawa para penumpang bolak balik di sepanjang garis pantai. Setumpuk awan putih bergumpal-gumpal menaungi kapal kami, burung-burung camar melintas terbang labuh ke sana ke mari. Udara dingin bertiup kencang, lalu beberapa saat salju tipis pun turun, tanganku terasa membeku. Di tengah kota, kami sempat menyaksikan orang-orang berkumpul di sebuah plaza. Rupanya hari ini diadakan festival perang bantal. Ratusan orang saling memukul dengan bantal hingga isi bantal terburai berhamburan, bulu-bulu angsa dan kapas pun memutih diterbangkan angin.

Petualangan kami hari itu kami sudahi dengan berjalan-jalan di sepanjang area pertokoan menuju penginapan untuk berburu souvenir. Kami bertemu salah seorang pemilik toko souvenir berwajah India, dia menyapa kami dalam Bahasa Indonesia, ternyata Bapak separuh baya ini berasal dari Malaysia. Oiya, hampir semua orang yang kami temui di toko-toko dan fasilitas umum di Stockholm fasih berbahasa Inggris. Sesekali aku mencuri dengar beberapa percakapan asing dalam Bahasa Svenska, sepatah kata pun aku tak mengerti, namun suaranya terdengar indah di telingaku.

Kawasan sekitar Kota Tua Stockholm
Keesokan harinya, hari terakhir di Stockholm, kami habiskan dengan mengunjungi kompleks istana Kerajaan Swedia. Swedia telah menjadi kerajaan yang masyhur selama berabad-abad. Sampai saat ini, negara yang bercorak monarki konstitusional ini masih dipimpin oleh seorang Raja sebagai Kepala Negara, King Carl XVI Gustaf of Sweden. Sedangkan Kepala Pemerintahannya adalah Perdana Menteri (saat ini John Fredrik Reinfeldt) yang dipilih oleh parlemen. Tentara-tentara Kerajaan lengkap dengan pakaian militer khasnya berjaga-jaga di sekeliling kompleks istana, beberapa kulihat bergeming, berdiri seperti patung pada pos-pos jaga yang tersebar di beberapa sudut kompleks. Swedia yang dikenal sebagai salah satu negara maju dari segi ekonomi ini ternyata masih memelihara budaya kerajaan yang bagi sebagian rakyatnya saat ini mulai dipandang sebagai kekuasaan kuno yang hanya memberikan hak-hak istimewa pada sekelompok manusia eksklusif, keluarga kerajaan.


Mira dan Kereta Tua Stockholm-Oslo
Tugu Perbatasan Swedia-Norwegia
Tak terasa hampir tengah hari, kami pun harus segera kembali ke penginapan untuk membereskan barang-barang bawaan. Kami bergegas menaiki tram menuju stasiun. Dari stasiun utama Stockholm, kami menumpang kereta menuju Oslo. Gerbong kereta ini mengingatkanku pada kereta Parahyangan yang dulu biasa kutumpangi dari Bandung ke Jakarta, sedikit lebih tua, namun masih sangat terawat dengan baik. Aku terkantuk-kantuk memulai perjalanan yang akan kami tempuh sekitar 7 jam ini. Gerbong kereta dipenuhi penumpang asing, sayup-sayup kudengar percakapan-percakapan dalam bahasa Mandarin, Inggris dan Perancis, pandanganku semakin kabur dan aku pun tertidur. 

Aku terbangun menjelang sore ketika kereta memasuki wilayah perbatasan, rumah-rumah penduduk semakin jarang, di kiri kanan, hutan dan padang diselingi danau menemani perjalanan kami. Suhu udara di luar sepertinya semakin dingin, permukaan danau masih dilapisi es, sinar matahari sore itu belum mampu menghalau dingin yang membekukan permukaan danau. Lalu serta merta perhatianku teralihkan, selingkar lukisan warna-warni menghiasi langit sebelah selatan, pelangi pertama yang kusaksikan di langit Eropa, cantik sekali. Sebuah tugu bertuliskan "Sverige-Norge" (Swedia-Norwegia) di antara celah hutan cemara melesat cepat kusaksikan dari jendela. Kereta kami pun terus melaju memasuki wilayah Norwegia.

Bochum, 3 April 2014
[Bersambung]

Tuesday, April 01, 2014

Mengunjungi Kerabat di Jantung Eropa, Switzerland

Aku teringat sebuah acara yang sempat ditayangkan di televisi ketika aku masih kecil dulu, judulnya "Tali Kasih", acara yang mengisahkan keluarga yang sempat terpisah sekian lama. Tak jarang pula mereka tak saling mengenali lagi satu sama lain, lalu acara akan ditutup dengan suasana haru ketika para anggota keluarga tersebut berhasil dipertemukan kembali di studio tempat acara berlangsung. Dari dulu aku memang tak gampang menangis, aku juga tak tahu alasannya. Aku lebih mudah menangis karena marah, bukan karena sedih, dan orang-orang yang "berhasil" membuatku menangis justru biasanya orang-orang yang sangat aku sayangi. Aneh memang, tapi begitulah hidup. Waktu itu kuanggap acara tersebut hanya sekedar tontonan di waktu senggang saja, tak ada simpul-simpul kejadian yang membuatku mampu meresapi setiap kisahnya.

Bertahun-tahun kemudian, teknologi informasi semakin maju. Orang-orang di seluruh dunia terkoneksi dengan mudahnya melalui internet. Aku pernah membaca kisah seorang anak India yang "hilang" dalam perjalanan bersama keluarganya karena tertidur di kereta. Lalu kemudian dia ditemukan oleh orang lain dan akhirnya diadopsi oleh sebuah keluarga di Australia. 25 tahun kemudian dia berhasil menemukan kembali keluarga dan kampung halamannya di Khandwa, India melalui bantuan google maps. Kisah ini kemudian dituliskannya dalam sebuah buku berjudul "A Long Way Home".

Aku tak pernah mengalami sendiri kisah-kisah luar biasa seperti itu. Tapi aku memiliki satu kisah berkesan yang sudah lama ingin kuceritakan, yaitu kisah pertemuanku dengan Tanteku, yang sebelumnya belum pernah kutemui langsung seumur hidupku, jauh di jantung Eropa, di sebuah kota kecil nan cantik, Zug namanya. Kisahnya bermula ketika suatu hari aku menemukan sebuah account Facebook dari group Begalor Ngenangkan Suke, sebuah group silaturahim masyarakat Belitong, kampung halamanku. Atik Woeber, begitu nama itu tertulis, asal Belitong dan kini tinggal di Swiss. Hanya itu informasi yang kuketahui. Lalu, aku mencoba mengingat-ngingat, bertahun-tahun yang lalu ibuku pernah bercerita bahwa dia memiliki seorang sepupu yang tinggal di Swiss. Aku pun lalu menanyakan langsung pada beliau untuk mengonfirmasi, benar saja, Atik Woeber inilah yang beliau maksud. Lalu aku pun merubah panggilanku kepada beliau, yang tadinya Kak menjadi Mak Atik, karena beliau setingkat dengan orang tuaku dalam garis keluarga. Melalui beberapa kali chatting lewat Facebook, aku mengobrol ringan dengan Mak Atik, lalu timbullah ideku untuk mengunjunginya saat libur musim dingin ketika itu.

Singkat cerita, aku berangkat ke Swiss bersama kawanku akhir 2011 yang lalu. Penerbangan tak sampai 1 jam kami tempuh dari Düsseldorf menuju Zürich. Ini perjalanan pertamaku ke luar Jerman, sekaligus pengalaman pertamaku merasakan musim dingin. Musim dingin waktu itu, salju hampir-hampir tak turun di Bochum, hanya tak sampai 6 kali seingatku, itu pun hanya sedikit sehingga langsung mencair dan tak sempat menumpuk. Tapi, udara dingin menusuk luar biasa, suhu terendah konon mencapai -17°C, yang membuat hidungku berdarah pada suatu pagi. Musim dingin kelabu dan terasa "garing" tanpa salju. Sebagian besar wilayah Swiss ditutupi pegunungan, punggung-punggung pegunungan Alpen membentang dari bagian timur hingga ke selatan. Oleh karenanya, musim dingin di Swiss hampir selalu bersalju, terutama di wilayah pegunungannya. Perjalananku kali ini terasa menyenangkan, karena aku akan bertemu Mak Atik dan tak kalah penting, tumpukan salju.

Zürich Hauptbahnhof
Pesawat yang membawa kami mendarat dengan mulus di Zürich, hari sudah gelap. Kami harus naik kereta menuju Zürich Hauptbahnhof (Stasiun Utama), lalu mengambil kereta selanjutnya menuju Zug. Kereta Zürich-Zug masih lebih dari 1 jam lagi, sembari menunggu, kami sempat berjalan-jalan menikmati suasana kota Zürich malam hari. Lampu-lampu kota berbinar-binar dipantulkan riak permukaan telaga, di udara sedingin itu kulihat sekawanan bebek berenang-renang dengan riangnya. Kerlip lampu menghiasi avenue di beberapa sudut kota, sedikit tak biasa karena memang masih suasana Natal dan menyambut Tahun Baru.

Kami tiba di Stasiun Zug menjelang pukul 10 malam, aku keluar menuju hall utama stasiun, sesuai petunjuk Mak Atik. Di sana, beliau dan suaminya, Om Erwin, sudah menunggu kami. Om Erwin mengenalkan diri pada kami, ternyata beliau sangat fasih berbahasa Indonesia, sedangkan Mak Atik masih sangat lancar berbicara dalam Bahasa Belitong. Aku jadi teringat Tanteku yang lain, adik kandung ibuku, parasnya agak mirip dengan beliau. Aku masih diliputi rasa gembira karena menemukan saudara di tengah "belantara" Eropa ini, ketika aku jauh dari keluarga. Saudara yang seumur hidup baru pertama kali aku temui. Kini aku mengerti dan sedikit bisa meresapi keharuan yang dirasakan para peserta di acara "Tali Kasih" yang kutonton bertahun-tahun yang lalu. Mak Atik menyediakan ayam panggang untuk makan malam kami, tak lama setelah mengobrol ringan aku pun tertidur karena kelelahan.

Zugersee pada suatu siang
Keesokan harinya, kami diantar Mak Atik berkeliling menikmati Kota Zug. Zug adalah kota kecil yang indah dan nyaman, tak terlalu ramai tapi juga tak terlalu sepi. Tak jauh dari rumah Mak Atik, terdapat sebuah danau yang membentang sampai pusat kota, Zugersee namanya. Beberapa taman terawat rapi di pinggiran danau, tak jauh dari tempat bermain anak-anak berdiri sebuah gereja tua, halamannya sering dipakai untuk acara pernikahan, kata Mak Atik. Permukaan air danau yang tenang sedikit beriak dipermainkan kawanan angsa dan bebek yang berenang ke sana ke mari. Kaki-kaki pegunungan Alpen yang ditutupi salju samar-samar tampak dari kejauhan. Mak Atik bercerita, kalau musim panas tiba,orang-orang biasa berenang di danau ini, sama seperti kebiasaan orang Belitong mandi di pantai, ujarnya. Tapi jika musim dingin mencapai puncaknya, air danau akan membeku hingga setebal 20 cm, dan orang-orang pun bisa bermain ski di atasnya.  

Vierwaldstättersee
Aku dan kawanku melanjutkan perjalanan berdua ke kota lain, Lucerne, Mak Atik tak ikut bersama kami karena ada keperluan lain. Perjalanan kereta dari Zug menuju Lucerne memakan waktu kurang lebih 1 jam kalau aku tak salah ingat. Kereta berkelok-kelok membelah punggung-punggung perbukitan dan tepian danau, pemandangannya sungguh menyejukkan mata, mendamaikan hati. Cahaya matahari dipantulkan permukaan danau, bukit-bukit hijau diselingi tumpukan salju tipis dan peternakan sapi, persis seperti dalam film-film. Ferien Wohnung  atau rumah-rumah yang dipakai untuk berlibur tersusun seperti kotak warna warni di tepian danau. Latar belakangnya punggung-punggung pegunungan salju, putih kelabu, gagah sekali. Kami sampai di Stasiun Lucerne, suasananya ramai sekali, karena Lucerne sepertinya memang salah satu tujuan wisata favorit di Swiss. Sama seperti Zug, Lucerne juga terletak di tepi danau, Vierwaldstättersee namanya, lebih besar dari Zugersee. Beberapa kapal pesiar lalu lalang melintasi danau, membawa para wisatawan menikmati suasana Lucerne sore itu. Kami berjalan-jalan di pinggiran danau, lalu aku bertemu seseorang yang duduk termenung di atas kursi roda, memandangi riak-riak air danau, diam membisu seorang diri. Entah apa yang dipikirkannya ketika itu, aku tak pernah tahu, yang kutahu, aku seharusnya banyak-banyak bersyukur karena masih bisa berjalan bahkan berlari ke sana ke mari dengan bebasnya, semau yang aku suka. Matahari mulai tenggelam, suasana di pinggir danau masih ramai, beberapa anak kulihat masih asyik bermain-main menikmati arena ski buatan yang disediakan tak jauh dari Museum Seni Lucerne.

Kami tiba di rumah Mak Atik sudah lewat waktu magrib. Malam ini, Mak Atik memasak nasi goreng udang, aromanya khas, mengundang selera. Mak Atik dan Om Erwin mengajak kami mengobrol, mereka memperlihatkan album-album foto kenangan ketika masih di Indonesia. Mira, anak pertama mereka lahir di Indonesia, di Sulawesi Tenggara tepatnya, sedangkan Evelyn, si bungsu kalau aku tak salah lahir di Swiss. Mira bisa bahasa Indonesia, Inggris, Perancis dan Jerman-Swiss, lalu sekarang sedang mulai belajar bahasa Spanyol. Evelyn baru bisa bahasa Jerman-Swiss. Sehari-hari keluarga ini menggunakan bahasa Inggris, Indonesia, dan Jerman-Swiss, sungguh luar biasa. Kuperhatikan wajah adik-adik sepupuku ini, percampuran yang sempurna antara wajah Asia dan Eropa, cantik sekali. Waktu itu aku belum bisa bahasa Jerman, sehingga aku tak bisa mengobrol banyak bersama Evelyn, namun gadis cilik ini sebagaimana anak-anak seusianya, periang dan murah senyum.

Puncak Gunung Rigi 1.797,5 m dpl.
Tak lengkap rasanya kalau ke Swiss tidak mengunjungi Alpen. Tapi, hari ini, hari ke tiga kami di sini, cuaca tak begitu mendukung, sejak semalam salju turun agak deras, lalu menjelang waktu dhuha berganti menjadi hujan air. Om Erwin menyarankan agar kami tetap ke Alpen, rugi katanya sudah jauh-jauh datang ke mari. Mak Atik dan Om Erwin mengantar kami dengan mobil sampai ke Goldau, sebuah kota kecil di kaki Gunung Rigi. Dari Goldau kami naik kereta gantung menuju punggung gunung Rigi, lalu disambung dengan kereta biasa yang khusus mengantar wisatawan sampai ke puncak. Hujan air di bawah tadi berubah menjadi hujan salju yang sangat deras ketika kami tiba di puncak. Salju menumpuk hingga setinggi lutut orang dewasa, untuk berjalan pun kami harus menutupi muka karena derai salju yang begitu deras membuat mata perih dan berair. Tak banyak yang bisa kami perhatikan di atas puncak, lalu kami berlindung di tempat penyewaan perlengkapan ski sambil menunggu kereta berikutnya menuju Goldau. Kami sempat turun di stasiun kecil di punggung gunung, aku memesan coklat panas. Sekelompok anak-anak usia sekitar 6 tahun lengkap dengan perlengkapan skinya duduk berjejer di bangku stasiun memperhatikanku, pipi mereka merona kemerahan karena kedinginan. Tak lama kami pun turun dengan kereta selanjutnya menuju Stasiun Goldau, di sana Om Erwin sudah menunggu di mobil untuk menjemput kami. Sepanjang perjalanan pulang Om Erwin bercerita padaku, kata beliau beginilah hidup di Eropa, tak ada yang namanya cuaca buruk, yang ada hanya orang yang salah memakai pakaian. Artinya, manusianya yang harus pandai-pandai menyiasati alam, karena keumuman cuaca di sini memang begitu, dingin, hujan, kelabu bahkan bersalju.

Malam terakhir di Swiss kami habiskan dengan menonton film sambil berbincang-bincang bersama keluarga Mak Atik. Kebetulan malam ini malam pergantian tahun, sehingga suasana di sekitar rumah Mak Atik juga lumayan semarak. Om Erwin membuka pintu balkon, dari kejauhan kembang api warna warni menghiasi langit, cantik sekali. Setiap tahun orang-orang berkumpul di tepian danau sekitar pusat kota untuk menyaksikan kembang api yang ditembakkan di atas danau, kami cukuplah menontonnya dari kejauhan.

Matahari pertama 2012
Besoknya pagi-pagi sekali Om Erwin dan Mak Atik mengantar kami sampai ke Zürich Airport dengan mobil. Penerbangan kami pukul 8 pagi, masih gelap karena masih musim dingin, matahari terbit sekitar pukul setengah 9. Kami berpamitan pada Mak Atik dan Om Erwin, kucium tangan keduanya. Aku bersyukur diberi kesempatan oleh Allah untuk bertemu saudara sepupu ibuku ini, beliau orang yang bersahaja, ramah dan baik hati, begitu pun dengan suaminya. Dilahirkan jauh di Pulau Belitong sana, sama sepertiku, rupanya jalan hidup telah mengantarkan Mak Atik jauh ke negeri orang, ke negeri indah di "belantara" Eropa ini. Semoga suatu hari nanti aku berkesempatan lagi bertemu beliau. Aku pun menjadi rindu pada Paman-paman dan Bibi-bibiku di tanah air nun jauh di sana. Pesawat meninggalkan Zürich Airport perlahan-lahan, kuperhatikan kerlip kota Zürich dari ketinggian, cakrawala mulai bercahaya, membias lembayung biru jingga. Tak lama berselang, matahari mengintip malu-malu dari tumpukan awan putih nan tebal, cahayanya hangat menyapu pipiku yang kutempelkan pada kaca jendela. Matahari pertama tahun 2012 yang kusaksikan dari ketinggian itu tak akan pernah aku lupakan, dia mewakili hangat ikatan persaudaraan kami yang telah lama dipisahkan jarak dan waktu. Aku terdiam diselimuti haru, juga bias-bias rindu.

Bochum, 1 April 2014