Monday, March 17, 2014

Sepucuk Surat Sensus dan Kantor Pos Kenangan

Beberapa pekan yang lalu, aku menerima sepucuk surat dari pemerintah negara bagian Nordrhein-Westfalen. Isinya tentang pemberitahuan sensus rumah tangga. Tepat seminggu kemudian, sesuai tanggal dan jam yang tertera di dalam surat, seorang petugas sensus, Bapak berperawakan tinggi besar dan berambut panjang datang ke asramaku. Sepintas lalu, mungkin orang akan merasa segan dan takut bertemu Bapak petugas sensus ini, namun sejak dulu aku tak mau menilai orang dari bagaimana dia tampaknya. Sambil menjinjing sebuah laptop dan satu bundel file, dia memperkenalkan diri dengan ramah, lalu kupersilakan masuk. Sesuai kebiasaan orang Jerman, aku pun sudah mempersiapkan semuanya, karpet yang melapisi lantai kamarku yang sekaligus kupakai sebagai tempat sholat sudah kulipat, karena bukan kebiasaan orang Jerman untuk melepas alas kaki ketika masuk ke rumah orang. Aku pun memperkenalkan diri, lalu kusampaikan bahwa aku tak begitu lancar berbahasa Jerman, namun sedapat mungkin aku akan menjawab setiap pertanyaannya dalam bahasa Jerman. Hampir 200 pertanyaan berhasil kujawab dengan baik, Bapak petugas sensus ini bekerja sangat efisien dan rapi. Tak lebih dari 20 menit dia menyelesaikan tugasnya, lalu dia pamit sambil mengucapkan "Vielen dank und viel Erfolg in Ihrem Studium" (Terima kasih banyak dan sukses untuk studimu). Aku membalas senyuman ramahnya dengan ucapan terima kasih. Begitulah tipikal Jerman, bekerja efektif, tepat waktu dan tak banyak basa-basi.

Entah mengapa, segala hal yang berhubungan dengan pos dan surat menyurat telah menyita sebagian perhatianku sejak aku masih kecil. Kelas 3 SD adalah salah satu titik balik ketika berbagai peristiwa penting terjadi dalam hidupku, salah satunya adalah ketika Mamak menghadiahiku album perangko untuk pertama kalinya. Sejak saat itulah aku jatuh cinta pada segala hal yang berhubungan dengan surat-menyurat. Aku mengumpulkan perangko yang kuperoleh dari mana saja, dari hasil menukar dengan kawan-kawan, mengumpulkan dari arsip-arsip surat milik Kakek, atau membeli koleksi SHP (Sampul Hari Pertama) dari kantor pos. Dulu, kantor pos Tanjungpandan yang terletak di Jalan Merdeka itu masih bangunan lama peninggalan Kolonial Belanda. Langit-langitnya tinggi menjulang dan anak-anak tangganya terasa begitu tinggi dan megah untuk ukuran anak SD. Aku rela menyisihkan uang jajanku demi membeli SHP dan berbagai macam kartu pos yang masih disimpan Ibuku sampai hari ini.

Zaman sekarang, ketika telepon rumah, HP dan internet sudah menjadi hal jamak di masyarakat, geliat kantor pos seperti kehilangan jiwanya. Setidaknya ini yang kurasakan di tanah air selama lebih dari satu dekade terakhir ini. Orang-orang tak gemar lagi berkirim surat atau sekedar menyampaikan kabar lewat kartu pos. Semua sudah tergantikan oleh alternatif media komunikasi yang lain. Kalau berbicara tentang efisiensi waktu tentu saja orang akan memilih berkomunikasi lewat media yang lebih cepat. Tapi sebenarnya budaya surat-menyurat ini tak serta merta harus kita tinggalkan.

Dulu aku masih mengalami zaman-zaman terakhir berkirim surat, ketika kami sekeluarga harus pindah ke Pangkalpinang. Tiap sebulan sekali aku bertukar kabar ke beberapa kawan dan nenekku di Tanjungpandan lewat surat. Kalau sepeda motor Pak pos yang berwarna orange itu singgah ke rumah kami, bukan main girangnya hatiku saat itu. Hal-hal sederhana seperti ini, berbekas begitu dalam dalam ingatan. Gores-gores tulisan tangan di atas kertas yang berhias gambar warna-warni atau beraroma parfum nan wangi sesungguhnya tak akan pernah tergantikan oleh email. Ada tumpahan emosi yang begitu kuat di setiap helainya, rindu pun meluap-luap tatkala surat yang dinanti tak kunjung datang, getir sekaligus indah. Surat menjadi sesuatu yang begitu dinantikan karena tak mudah sampai, tak ada konfirmasi telah diterima atau belum, pun jarak yang ditempuhnya tak jarang harus melintasi samudera.

Aku menemukan hal yang sedikit berbeda sejak berada di Jerman. Rupanya orang Jerman masih berakrab-akrab dengan kantor pos hingga hari ini. Hal-hal tentang berkirim kabar, ucapan selamat, ucapan duka cita dan sebagainya (selama masih dianggap bukan hal urgent yang menuntut penyampaian sesegera mungkin), selalu disampaikan lewat pos. Surat-surat resmi dari kantor-kantor pemerintah, instansi, dokter, dan sebagainya juga masih disampaikan lewat pos. Maka tak heran, kartu pos, dan berbagai kartu ucapan begitu mudah kita peroleh, tak hanya di kantor pos. Kartu pos juga menjadi ciri khas dan alternatif souvenir dari sebuah kota. Kantor pos mempunyai banyak cabang yang mudah dijangkau di sekitar tempat tinggal penduduk, begitu pula dengan mesin perangko dan kotak pos.

Maka, menemukan kenyataan ini, aku seperti dipertemukan kembali dengan cinta yang lama, masih sama indahnya walaupun berbelas-belas tahun kami tak berjumpa. Tiap berkunjung ke kota manapun, aku selalu menyempatkan diri untuk membeli kartu pos, lalu kutulis sebait dua bait kabar untuk kukirimkan kepada sahabat dan handai taulan. Aku pun punya kebiasaan baru, menulis puisi atau cerita pendek pada selembar kartu pos selama di perjalanan, karena inspirasi untuk menulis tak jarang datang selama di perjalanan. Aku masih ingat, tanggal 1 Januari 2012, aku menyaksikan matahari terbit pertama di tahun baru dari ketinggian ribuan meter di atas udara. Saat itu, aku dalam perjalanan pulang selepas mengunjungi Tanteku di kota Zug, Swiss. Satu bait cerita inilah hasilnya.

Ufuk Timur
 
Di timur cakrawala, matahari terbit seperti biasa.
Seperti sejak sejarah manusia mencatatnya.
Namun, pagi ini sedikit berbeda.
Itu sungging senyum pertamanya tahun ini.
Awan tebal menyertai semburat jingganya.
Seperti bulu-bulu domba, kelabu.
Itulah awan-awan yang menurunkan salju.

First sunrise of the year.
January 1, 2012 [Zürich-Düsseldorf]

Ketika pertama kali aku ke kantor pos Jerman, aku diliputi perasaan khawatir, karena ketika itu aku belum bisa berbahasa Jerman. Lalu kuberanikan menyampaikan keperluanku dalam bahasa Inggris. Bapak pegawai pos di hadapanku berwajah sangar, senyum pun tidak. Lalu tak dinyana, dia membalas permintaanku dengan ramah, juga dalam bahasa Inggris. Sejak saat itu aku tak pernah khawatir lagi, aku tahu pasti, kantor pos memang tak pernah mengkhianatiku. Kini, mengunjungi kantor pos kembali menjadi kebiasaan menyenangkan bagiku.

Lalu kenanganku kembali ke masa-masa belasan tahun yang lalu, aku teringat seorang Ibu pegawai pos di kantor pos Tanjungpandan dulu. Ibu dari kawan SMP-ku, Ibu Elizabeth namanya, namun kami biasa memanggilnya Bu Lisbet. Bu Lisbet ini begitu ramah, dan aku menaruh perhatian lebih padanya, bukan hanya karena dia Ibu dari kawanku, namun juga karena beliau keturunan Tionghoa. Profesi sebagai pegawai Jawatan pemerintah atau pegawai negeri tentu bukan hal yang jamak dilakoni saudara-saudara kita keturunan Tionghoa. Aku juga mendengar sebuah cerita dari Ayahku, Ayah Bu Lisbet ini ternyata pernah sampai memperoleh penghargaan khusus karena saking seringnya mendonorkan darah ke PMI. Diam-diam aku mengagumi keluarga hebat ini. Maka dari sepucuk surat sensus dan kantor pos kenangan, aku belajar memandang manusia seutuh-utuhnya, tak peduli apa pun latar belakang, agama, suku bangsa, pandangan politik dan pilihan hidupnya. Setiap manusia adalah manusia, sesederhana kita (mau) menghargainya.

Bochum, 17 maret 2014