Tuesday, April 01, 2014

Mengunjungi Kerabat di Jantung Eropa, Switzerland

Aku teringat sebuah acara yang sempat ditayangkan di televisi ketika aku masih kecil dulu, judulnya "Tali Kasih", acara yang mengisahkan keluarga yang sempat terpisah sekian lama. Tak jarang pula mereka tak saling mengenali lagi satu sama lain, lalu acara akan ditutup dengan suasana haru ketika para anggota keluarga tersebut berhasil dipertemukan kembali di studio tempat acara berlangsung. Dari dulu aku memang tak gampang menangis, aku juga tak tahu alasannya. Aku lebih mudah menangis karena marah, bukan karena sedih, dan orang-orang yang "berhasil" membuatku menangis justru biasanya orang-orang yang sangat aku sayangi. Aneh memang, tapi begitulah hidup. Waktu itu kuanggap acara tersebut hanya sekedar tontonan di waktu senggang saja, tak ada simpul-simpul kejadian yang membuatku mampu meresapi setiap kisahnya.

Bertahun-tahun kemudian, teknologi informasi semakin maju. Orang-orang di seluruh dunia terkoneksi dengan mudahnya melalui internet. Aku pernah membaca kisah seorang anak India yang "hilang" dalam perjalanan bersama keluarganya karena tertidur di kereta. Lalu kemudian dia ditemukan oleh orang lain dan akhirnya diadopsi oleh sebuah keluarga di Australia. 25 tahun kemudian dia berhasil menemukan kembali keluarga dan kampung halamannya di Khandwa, India melalui bantuan google maps. Kisah ini kemudian dituliskannya dalam sebuah buku berjudul "A Long Way Home".

Aku tak pernah mengalami sendiri kisah-kisah luar biasa seperti itu. Tapi aku memiliki satu kisah berkesan yang sudah lama ingin kuceritakan, yaitu kisah pertemuanku dengan Tanteku, yang sebelumnya belum pernah kutemui langsung seumur hidupku, jauh di jantung Eropa, di sebuah kota kecil nan cantik, Zug namanya. Kisahnya bermula ketika suatu hari aku menemukan sebuah account Facebook dari group Begalor Ngenangkan Suke, sebuah group silaturahim masyarakat Belitong, kampung halamanku. Atik Woeber, begitu nama itu tertulis, asal Belitong dan kini tinggal di Swiss. Hanya itu informasi yang kuketahui. Lalu, aku mencoba mengingat-ngingat, bertahun-tahun yang lalu ibuku pernah bercerita bahwa dia memiliki seorang sepupu yang tinggal di Swiss. Aku pun lalu menanyakan langsung pada beliau untuk mengonfirmasi, benar saja, Atik Woeber inilah yang beliau maksud. Lalu aku pun merubah panggilanku kepada beliau, yang tadinya Kak menjadi Mak Atik, karena beliau setingkat dengan orang tuaku dalam garis keluarga. Melalui beberapa kali chatting lewat Facebook, aku mengobrol ringan dengan Mak Atik, lalu timbullah ideku untuk mengunjunginya saat libur musim dingin ketika itu.

Singkat cerita, aku berangkat ke Swiss bersama kawanku akhir 2011 yang lalu. Penerbangan tak sampai 1 jam kami tempuh dari Düsseldorf menuju Zürich. Ini perjalanan pertamaku ke luar Jerman, sekaligus pengalaman pertamaku merasakan musim dingin. Musim dingin waktu itu, salju hampir-hampir tak turun di Bochum, hanya tak sampai 6 kali seingatku, itu pun hanya sedikit sehingga langsung mencair dan tak sempat menumpuk. Tapi, udara dingin menusuk luar biasa, suhu terendah konon mencapai -17°C, yang membuat hidungku berdarah pada suatu pagi. Musim dingin kelabu dan terasa "garing" tanpa salju. Sebagian besar wilayah Swiss ditutupi pegunungan, punggung-punggung pegunungan Alpen membentang dari bagian timur hingga ke selatan. Oleh karenanya, musim dingin di Swiss hampir selalu bersalju, terutama di wilayah pegunungannya. Perjalananku kali ini terasa menyenangkan, karena aku akan bertemu Mak Atik dan tak kalah penting, tumpukan salju.

Zürich Hauptbahnhof
Pesawat yang membawa kami mendarat dengan mulus di Zürich, hari sudah gelap. Kami harus naik kereta menuju Zürich Hauptbahnhof (Stasiun Utama), lalu mengambil kereta selanjutnya menuju Zug. Kereta Zürich-Zug masih lebih dari 1 jam lagi, sembari menunggu, kami sempat berjalan-jalan menikmati suasana kota Zürich malam hari. Lampu-lampu kota berbinar-binar dipantulkan riak permukaan telaga, di udara sedingin itu kulihat sekawanan bebek berenang-renang dengan riangnya. Kerlip lampu menghiasi avenue di beberapa sudut kota, sedikit tak biasa karena memang masih suasana Natal dan menyambut Tahun Baru.

Kami tiba di Stasiun Zug menjelang pukul 10 malam, aku keluar menuju hall utama stasiun, sesuai petunjuk Mak Atik. Di sana, beliau dan suaminya, Om Erwin, sudah menunggu kami. Om Erwin mengenalkan diri pada kami, ternyata beliau sangat fasih berbahasa Indonesia, sedangkan Mak Atik masih sangat lancar berbicara dalam Bahasa Belitong. Aku jadi teringat Tanteku yang lain, adik kandung ibuku, parasnya agak mirip dengan beliau. Aku masih diliputi rasa gembira karena menemukan saudara di tengah "belantara" Eropa ini, ketika aku jauh dari keluarga. Saudara yang seumur hidup baru pertama kali aku temui. Kini aku mengerti dan sedikit bisa meresapi keharuan yang dirasakan para peserta di acara "Tali Kasih" yang kutonton bertahun-tahun yang lalu. Mak Atik menyediakan ayam panggang untuk makan malam kami, tak lama setelah mengobrol ringan aku pun tertidur karena kelelahan.

Zugersee pada suatu siang
Keesokan harinya, kami diantar Mak Atik berkeliling menikmati Kota Zug. Zug adalah kota kecil yang indah dan nyaman, tak terlalu ramai tapi juga tak terlalu sepi. Tak jauh dari rumah Mak Atik, terdapat sebuah danau yang membentang sampai pusat kota, Zugersee namanya. Beberapa taman terawat rapi di pinggiran danau, tak jauh dari tempat bermain anak-anak berdiri sebuah gereja tua, halamannya sering dipakai untuk acara pernikahan, kata Mak Atik. Permukaan air danau yang tenang sedikit beriak dipermainkan kawanan angsa dan bebek yang berenang ke sana ke mari. Kaki-kaki pegunungan Alpen yang ditutupi salju samar-samar tampak dari kejauhan. Mak Atik bercerita, kalau musim panas tiba,orang-orang biasa berenang di danau ini, sama seperti kebiasaan orang Belitong mandi di pantai, ujarnya. Tapi jika musim dingin mencapai puncaknya, air danau akan membeku hingga setebal 20 cm, dan orang-orang pun bisa bermain ski di atasnya.  

Vierwaldstättersee
Aku dan kawanku melanjutkan perjalanan berdua ke kota lain, Lucerne, Mak Atik tak ikut bersama kami karena ada keperluan lain. Perjalanan kereta dari Zug menuju Lucerne memakan waktu kurang lebih 1 jam kalau aku tak salah ingat. Kereta berkelok-kelok membelah punggung-punggung perbukitan dan tepian danau, pemandangannya sungguh menyejukkan mata, mendamaikan hati. Cahaya matahari dipantulkan permukaan danau, bukit-bukit hijau diselingi tumpukan salju tipis dan peternakan sapi, persis seperti dalam film-film. Ferien Wohnung  atau rumah-rumah yang dipakai untuk berlibur tersusun seperti kotak warna warni di tepian danau. Latar belakangnya punggung-punggung pegunungan salju, putih kelabu, gagah sekali. Kami sampai di Stasiun Lucerne, suasananya ramai sekali, karena Lucerne sepertinya memang salah satu tujuan wisata favorit di Swiss. Sama seperti Zug, Lucerne juga terletak di tepi danau, Vierwaldstättersee namanya, lebih besar dari Zugersee. Beberapa kapal pesiar lalu lalang melintasi danau, membawa para wisatawan menikmati suasana Lucerne sore itu. Kami berjalan-jalan di pinggiran danau, lalu aku bertemu seseorang yang duduk termenung di atas kursi roda, memandangi riak-riak air danau, diam membisu seorang diri. Entah apa yang dipikirkannya ketika itu, aku tak pernah tahu, yang kutahu, aku seharusnya banyak-banyak bersyukur karena masih bisa berjalan bahkan berlari ke sana ke mari dengan bebasnya, semau yang aku suka. Matahari mulai tenggelam, suasana di pinggir danau masih ramai, beberapa anak kulihat masih asyik bermain-main menikmati arena ski buatan yang disediakan tak jauh dari Museum Seni Lucerne.

Kami tiba di rumah Mak Atik sudah lewat waktu magrib. Malam ini, Mak Atik memasak nasi goreng udang, aromanya khas, mengundang selera. Mak Atik dan Om Erwin mengajak kami mengobrol, mereka memperlihatkan album-album foto kenangan ketika masih di Indonesia. Mira, anak pertama mereka lahir di Indonesia, di Sulawesi Tenggara tepatnya, sedangkan Evelyn, si bungsu kalau aku tak salah lahir di Swiss. Mira bisa bahasa Indonesia, Inggris, Perancis dan Jerman-Swiss, lalu sekarang sedang mulai belajar bahasa Spanyol. Evelyn baru bisa bahasa Jerman-Swiss. Sehari-hari keluarga ini menggunakan bahasa Inggris, Indonesia, dan Jerman-Swiss, sungguh luar biasa. Kuperhatikan wajah adik-adik sepupuku ini, percampuran yang sempurna antara wajah Asia dan Eropa, cantik sekali. Waktu itu aku belum bisa bahasa Jerman, sehingga aku tak bisa mengobrol banyak bersama Evelyn, namun gadis cilik ini sebagaimana anak-anak seusianya, periang dan murah senyum.

Puncak Gunung Rigi 1.797,5 m dpl.
Tak lengkap rasanya kalau ke Swiss tidak mengunjungi Alpen. Tapi, hari ini, hari ke tiga kami di sini, cuaca tak begitu mendukung, sejak semalam salju turun agak deras, lalu menjelang waktu dhuha berganti menjadi hujan air. Om Erwin menyarankan agar kami tetap ke Alpen, rugi katanya sudah jauh-jauh datang ke mari. Mak Atik dan Om Erwin mengantar kami dengan mobil sampai ke Goldau, sebuah kota kecil di kaki Gunung Rigi. Dari Goldau kami naik kereta gantung menuju punggung gunung Rigi, lalu disambung dengan kereta biasa yang khusus mengantar wisatawan sampai ke puncak. Hujan air di bawah tadi berubah menjadi hujan salju yang sangat deras ketika kami tiba di puncak. Salju menumpuk hingga setinggi lutut orang dewasa, untuk berjalan pun kami harus menutupi muka karena derai salju yang begitu deras membuat mata perih dan berair. Tak banyak yang bisa kami perhatikan di atas puncak, lalu kami berlindung di tempat penyewaan perlengkapan ski sambil menunggu kereta berikutnya menuju Goldau. Kami sempat turun di stasiun kecil di punggung gunung, aku memesan coklat panas. Sekelompok anak-anak usia sekitar 6 tahun lengkap dengan perlengkapan skinya duduk berjejer di bangku stasiun memperhatikanku, pipi mereka merona kemerahan karena kedinginan. Tak lama kami pun turun dengan kereta selanjutnya menuju Stasiun Goldau, di sana Om Erwin sudah menunggu di mobil untuk menjemput kami. Sepanjang perjalanan pulang Om Erwin bercerita padaku, kata beliau beginilah hidup di Eropa, tak ada yang namanya cuaca buruk, yang ada hanya orang yang salah memakai pakaian. Artinya, manusianya yang harus pandai-pandai menyiasati alam, karena keumuman cuaca di sini memang begitu, dingin, hujan, kelabu bahkan bersalju.

Malam terakhir di Swiss kami habiskan dengan menonton film sambil berbincang-bincang bersama keluarga Mak Atik. Kebetulan malam ini malam pergantian tahun, sehingga suasana di sekitar rumah Mak Atik juga lumayan semarak. Om Erwin membuka pintu balkon, dari kejauhan kembang api warna warni menghiasi langit, cantik sekali. Setiap tahun orang-orang berkumpul di tepian danau sekitar pusat kota untuk menyaksikan kembang api yang ditembakkan di atas danau, kami cukuplah menontonnya dari kejauhan.

Matahari pertama 2012
Besoknya pagi-pagi sekali Om Erwin dan Mak Atik mengantar kami sampai ke Zürich Airport dengan mobil. Penerbangan kami pukul 8 pagi, masih gelap karena masih musim dingin, matahari terbit sekitar pukul setengah 9. Kami berpamitan pada Mak Atik dan Om Erwin, kucium tangan keduanya. Aku bersyukur diberi kesempatan oleh Allah untuk bertemu saudara sepupu ibuku ini, beliau orang yang bersahaja, ramah dan baik hati, begitu pun dengan suaminya. Dilahirkan jauh di Pulau Belitong sana, sama sepertiku, rupanya jalan hidup telah mengantarkan Mak Atik jauh ke negeri orang, ke negeri indah di "belantara" Eropa ini. Semoga suatu hari nanti aku berkesempatan lagi bertemu beliau. Aku pun menjadi rindu pada Paman-paman dan Bibi-bibiku di tanah air nun jauh di sana. Pesawat meninggalkan Zürich Airport perlahan-lahan, kuperhatikan kerlip kota Zürich dari ketinggian, cakrawala mulai bercahaya, membias lembayung biru jingga. Tak lama berselang, matahari mengintip malu-malu dari tumpukan awan putih nan tebal, cahayanya hangat menyapu pipiku yang kutempelkan pada kaca jendela. Matahari pertama tahun 2012 yang kusaksikan dari ketinggian itu tak akan pernah aku lupakan, dia mewakili hangat ikatan persaudaraan kami yang telah lama dipisahkan jarak dan waktu. Aku terdiam diselimuti haru, juga bias-bias rindu.

Bochum, 1 April 2014