Monday, May 12, 2014

3 Benua yang Bersaudara

Sebuah pertemuan kadang terjadi begitu saja, tanpa rencana. Ada orang-orang yang seperti tiba-tiba saja hadir dalam kehidupan kita, lalu menjadi layaknya saudara. Di negeri ini, aku bertemu berupa-rupa manusia, mewakili kebudayaan-kebudayaan dunia yang dulu hanya bisa kukhayalkan saja dari buku-buku yang pernah kubaca.

Pada suatu pagi nan sejuk, permulaan musim semi 2 tahun yang lalu, aku berangkat ke kampus seperti biasa, tak ada sesuatu yang istimewa. U-Bahn yang kutumpangi penuh sesak oleh penumpang yang rata-rata mahasiswa. Aku berangkat dari Markstraße, halte terdekat dari asrama. U-Bahn U35 jurusan Hustadt ini kemudian akan berhenti di halte Ruhr Universität, lalu tumpah ruah mahasiswa akan turun di halte utama ini. Gedung tempat aku beraktivitas sehari-hari terletak paling timur, maka biasanya aku memilih turun di halte berikutnya, Lennershof. Sejak tadi aku melihat dari kejauhan seorang perempuan berhijab berwajah Eropa, dia tersenyum ramah ke arahku sambil mengucapkan salam. Salamnya itu tak terdengar, aku hanya bisa membaca dari gerak bibirnya. Kami turun di halte yang sama, aku mempercepat langkahku karena dia memberi isyarat seperti menungguku dengan memperlambat langkahnya. Sekali lagi dia memberi salam, menjabat tangan dan menempelkan pipi kiri dan kanannya padaku, seperti kebiasaan muslimah di tanah air. Sambil tersenyum dia memperkenalkan diri padaku: "Ich bin Ayse. Wie heißt du?" Lalu aku pun memperkenalkan diri dalam Bahasa Jerman yang masih terbata-bata. Pertemuan singkat itu lalu mengawali persahabatanku dengan Ayse, perempuan Turki pertama yang kukenal di negeri ini.

Beberapa hari kemudian, Ayse menghubungiku lewat email, kami akhirnya berjanji untuk bertemu sambil makan siang bersama di kantin Fakultas kami, ID Cafetaria. Perempuan muda ini berbicara dalam Bahasa Jerman hampir-hampir seperti penutur aslinya. Dia bekerja sebagai staf peneliti di bidang Information Security di Fakultas kami. Ayse menyelesaikan pendidikan Dipl.-Ing. (setara Master) beberapa tahun yang lalu, dia adalah salah satu generasi terakhir yang mengenyam degree khas Jerman ini, sebuah gelar yang bisa dibilang prestisius, apalagi berhasil diraih tepat waktu oleh orang asing. Dengan latar belakang luar biasa seperti ini, Ayse berpenampilan sederhana, tutur katanya lembut dan tak sedikit pun menunjukkan kesombongan. Ayse hanya sedikit berbicara dalam Bahasa Inggris, jadilah percakapan kami terdengar lucu, tapi halangan ini tak sedikit pun mengurangi hangatnya persahabatan kami.

Bulan demi bulan berlalu, kami hampir selalu menyempatkan untuk makan siang bersama, setidaknya satu atau dua kali dalam sebulan. Pada suatu siang di musim panas, Ayse memperkenalkan sahabat baru padaku, Abeer namanya, seorang muslimah asal Sudan yang sedang menempuh pendidikan doktoral di research group yang sama dengan Ayse. Abeer merantau ke Jerman bersama suami dan dua anaknya yang masih balita. Suaminya baru saja menyelesaikan pendidikan doktoral di bidang yang sama, lalu sekarang bekerja di salah satu perusahaan di Ruhr area. Abeer pun tak kalah ramah dibanding Ayse, dia berbicara dalam 3 bahasa: Inggris, Jerman dan Arab. Aku belajar banyak dari Ibu muda ini, dia harus melakoni 3 perannya sekaligus: sebagai Doktorandin, ibu dan istri. Sejak pagi dia sudah harus mengantarkan anak-anaknya ke pusat penitipan anak yang tak jauh dari kampus kami, lalu bergegas melanjutkan aktivitasnya sebagai mahasiswa doktoral. Peran yang aku tahu tak mudah untuk dijalani, apalagi di tanah rantau ketika jauh dari keluarga besar. Maka aku sering merasa malu pada diriku sendiri ketika ada saat-saatnya aku mendapati diriku kehilangan semangat, padahal aku hanya melakoni salah satu peran yang dijalani Abeer. Aku seharusnya banyak-banyak bersyukur dengan belajar lebih giat lagi.

Lalu pada suatu sore di awal musim dingin 2012, Ayse mengundang kami ke rumahnya. Aku dan Abeer datang menjelang waktu Ashar. Ayse telah mempersiapkan berupa-rupa makanan khas Turki yang dimasaknya sendiri. Sambil menunggu menu terakhir siap, Ayse bercerita tentang makanan-makanan yang telah tersedia di atas meja. Ada roti bulat bertekstur lembut, sayuran fermentasi yang ditumis dengan bumbu-bumbu khas Turki, daging cincang yang diolah menjadi semacam perkedel, lalu tersedia pula semacam lumpia berisi keju, kata Ayse namanya kalem böreği. Roti tadi dimakan dengan 2 macam selai asin yang aku tak bisa menceritakan bagaimana rasanya, yang pasti cita rasa seperti itu baru pertama kali kurasakan seumur hidupku. Sumber karbohidrat pokok pada jamuan sore itu selain roti adalah kentang oven yang dibumbui ringan oleh Ayse, garam dan merica. Tak seperti masakan Eropa yang tak pernah cocok di lidahku bahkan hingga hari ini, makanan-makanan Turki yang disediakan Ayse terbilang cocok di lidahku. Lalu pertemuan kami sore itu ditutup dengan segelas teh hangat Turki yang disediakan Ayse dalam gelas cantik dari kampung halamannya, Istanbul.

Selain Ayse dan Abeer, aku dipertemukan pula dengan seorang saudara muslimah dari Libya, Areeg namanya. Perempuan muda ini baru saja menyelesaikan pendidikan masternya di bidang Computational Engineering. Aku mengenal Areeg di kelas Bahasa Jerman tingkat 2 yang kumulai pada pertengahan musim panas tahun 2012. Sesekali, Areeg juga ikut makan siang bersama kami (Aku, Ayse dan Abeer). Aku senang mendengarkan Abeer dan Areeg sesekali berbincang dalam bahasa ibu mereka, lalu aku dan Ayse hanya tersenyum-senyum saja. Nama mereka (Abeer dan Areeg) memiliki makna yang hampir sama dalam Bahasa Arab, artinya harum atau aroma yang wangi. Areeg ketika itu baru saja akan memulai pendidikan doktoralnya, namun dia sedikit terkendala dengan keberlangsungan beasiswanya. Kalian tentu masih ingat, Kawan, bagaimana tragedi yang terjadi di negeri asal Muammar Gaddafi itu, dalam kurun waktu antara 2011 hingga 2012 yang lalu. Sejak menempuh pendidikan masternya, Areeg memperoleh beasiswa dari negaranya, tragedi itu sedikit banyak telah mempengaruhi keberlangsungan beasiswanya. Maka sejak awal tahun 2013, Areeg harus pulang kembali ke Libya, pendidikan doktoralnya terhenti di tengah jalan. Pada pertemuan terakhirku dengannya, dia bercerita padaku bahwa dia masih berharap bisa kembali melanjutkan pendidikannya di Jerman.

Lalu hadir pula sosok perempuan luar biasa di tengah-tengah persahabatan kami, perempuan paling muda yang mula-mula bersahabat dengan Areeg. Dialah Saskia, perempuan Jerman yang dikenalkan Areeg padaku pada suatu sore berinai hujan. Saskia sedang menempuh pendidikan di bidang Orientalisme, dia seorang vegetarian sejak masih duduk di bangku sekolah menengah. Perempuan muda ini fasih berbicara dalam berbagai bahasa: Jerman, Inggris, Perancis, Arab, Turki dan Persia, lalu ketika itu dia sedang belajar bahasa Urdu. Bidang lingustik menyebut orang yang berkemampuan seperti Saskia ini dalam istilah polyglot. Dari cerita Areeg padaku, kuketahui bahwa sudah sejak lama Saskia mempelajari Al Qur'an dan mulai tertarik dengan Islam. Keluarga besarnya tinggal di Frankfurt, ibunya berkarir dan menetap di Ankara, Turki sejak beberapa tahun yang lalu. Jika kami makan siang bersama, Saskia akan berbincang dalam Bahasa Inggris dan Jerman padaku, lalu dalam Bahasa Turki pada Ayse, dan dalam Bahasa Arab pada Abeer dan Areeg, sungguh luar biasa. Pernah juga suatu hari aku bertemu dengannya di kereta, ketika itu aku sedang bepergian bersama kawanku, orang Indonesia yang sedang menempuh studi di Perancis, Saskia pun spontan mengajaknya berbincang dalam Bahasa Perancis. Saskia ini seorang pribadi yang menarik, dari perbincangannya pada kami, aku bisa menangkap bahwa dia seorang pembelajar yang ulung, pemikiran-pemikirannya jauh melampaui perempuan seusianya. Dia polyglot pertama yang kukenal seumur hidupku.

Setahun berlalu, Areeg kembali ke Bochum dan berhasil melanjutkan pendidikan doktoralnya yang sempat terhenti tahun lalu. Abeer masih sama sepertiku, masih berjuang menyelesaikan penelitian doktoral kami, menjalani hari-hari berkutat dengan buku-buku, dan eksperimen yang belum berhenti. Ayse memutuskan untuk menyudahi karirnya di research group yang dulu, lalu sekarang dia melamar pekerjaan ke sana ke mari, baik di Jerman maupun di tanah airnya. Saskia baru saja menyelesaikan internship-nya pada musim panas yang lalu di kantor DW (Deutsche Welle) yang bermarkas di Bonn. Sudah hampir setahun kami belum pernah berkumpul lagi. Aku merindukan cerita-cerita Abeer tentang anak-anaknya, lalu panggilan Ayse padaku "Meine liebe Schwester", cerita-cerita Areeg tentang tanah airnya dan perjuangan ayahnya bersama kawan-kawannya dulu di Libya, serta pemikiran-pemikiran gemilang Saskia. Kami dilahirkan di negeri yang berbeda-beda, terpisah dalam 3 benua; Asia, Afrika dan Eropa, lalu kota kecil nan bersahaja ini telah menyatukan kami, berjuang bersama mewujudkan cita-cita.

Bochum, 12 Mei 2014