Monday, June 30, 2014

Catatan Ramadhan 1435 H - 3 Ramadhan, Memori Pasar Ramadhan dan Baju Lebaran

Ramadhan tak jarang berbelok tujuannya bila kita tak pandai-pandai menahan diri. Di tanah air, kecenderungan perilaku konsumtif di masyarakat justru semakin menjadi-jadi saat Ramadhan tiba, terlebih menjelang hari raya. Samar-samar kuingat suasana pasar Tanjongpandan yang selalu ramai, apalagi menjelang waktu berbuka. Makanan yang entah dari jenis apa saja melimpah ruah, dijual oleh para pedagang bahkan sampai ke pinggir-pinggir jalan. Ruas-ruas jalan utama padat oleh kendaraan dan pejalan kaki, begitulah suasana khas pasar Ramadhan. Sejak berada di sini, aku sudah lama tak merasakan jajanan pasar khas bulan puasa. Tapi lantaran pencernaanku yang memang sering bermasalah, sejak masih di Indonesia pun jarang-jarang sekali aku menikmati jajanan pasar dan berbagai jenis kolak serta minuman khas untuk berbuka puasa.

Menjelang hari raya, suasana pasar semakin ramai, tak hanya untuk tujuan konsumsi makan minum. Tiba pula saatnya ketika orang-orang mulai sibuk mempersiapkan busana untuk hari raya. Pedagang pakaian sudah mempersiapkan stock jauh-jauh hari, ditambah pula pedagang-pedagang dadakan yang menggelar lapak dagangannya di pasar-pasar Ramadhan. Pakaian dari jenis paling murah sampai paling mahal, untuk anak-anak, remaja, hingga orang dewasa lengkap tersedia. Aku sudah tak ingat, kapan terakhir kali aku dibelikan baju lebaran oleh orang tuaku, mungkin belasan tahun yang lalu. Setelahnya aku tak pernah mengkhususkan waktu untuk membeli pakaian menjelang hari raya, sesuai kebutuhan saja.

Soal pakaian ini aku punya kenangan tentang rasa bersalah pada ibuku. Sebagai anak perempuan satu-satunya, tentunya Mamak ingin aku menjadi sebenar-benarnya anak perempuan. Tak terbayang kecewanya Mamak ketika aku dulu tak pernah mau memakai pakaian-pakaian cantik untuk anak perempuan yang beliau belikan. Model pakaian yang hanya mau kupakai ketika kecil adalah model pakaian yang tidak “keperempuan-perempuanan”, polos tak banyak corak, apalagi berenda-renda. Nasib pakaian-pakaian itu selalu berakhir di lemari sepupu-sepupu atau tetangga kami, ketika sampai tak cukup lagi untuk kupakai dan tak pernah sekali pun aku memakainya. Tapi, Mamak tak pernah menyerah, pakaian-pakaian itu selalu beliau beli dengan harapan yang selalu sama, bertahun-tahun sampai aku tak ingat lagi berapa jumlahnya dan Mamak tak pernah mengeluh padaku. "Maafkan aku, Mak". 

Hari-hari belakangan ini, ketika aku berada jauh dari rumah, pakaian menjadi hal lain dan tak jarang meninggalkan pengalaman-pengalaman berkesan. Di negeri ini, pakaian muslimah menjadi semacam identitas, sehingga aku dikenali orang asing sebagai seorang muslim, pun dengan segala macam embel-embel yang melekat pada identitas itu. Aku tak mau ambil pusing dengan anggapan orang lain tentang citra Islam yang negatif, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri dan berusaha sesuai kemampuanku untuk menjadi “duta” Islam yang baik. Aku pun tak mau berburuk sangka pada orang asing yang menganggap orang Islam ini dan itu. Alhamdulillah, hampir 3 tahun aku merantau di sini, hanya kesan baik yang kuterima dari hampir setiap orang asing yang aku temui, baik secara acak di jalan-jalan, atau yang kemudian menjadi orang-orang yang kerap berinteraksi denganku. 

Pernah suatu hari aku bertemu rombongan "preman" di kereta. Sekitar 6 orang usia 20an berbusana punk, sudah setengah mabuk, masing-masing dengan rokok mengepul dan botol minuman keras. Aku duduk sendiri di sudut bangku kereta, lalu rombongan preman tadi tiba-tiba datang ke arahku dan mengisi 3 bangku kosong tepat di depan dan sampingku. Satu orang lagi, perempuan yang tampaknya sudah terlalu mabuk hampir rebah ke arahku. Aku pun membantunya untuk duduk kembali. Dua orang yang duduk di depanku juga perempuan, sedangkan sisanya laki-laki memilih berdiri di sepanjang lorong. Aku berusaha memasang wajah ramah. Dua orang perempuan tadi mengajakku berbincang-bincang, berkali-kali mereka meminta maaf karena temannya yang mabuk tadi sudah mulai meracau. Lalu, momen yang paling membuatku terharu adalah ketika mereka meminta izin dengan sangat sopan untuk merokok, lalu kukatakan pula dengan sopan bahwa aku tak tahan asap rokok dan meminta mereka untuk mematikan rokok yang tadi sudah terlanjur disulut. Seketika, mereka semua menurut dan kembali meminta maaf. Rombongan tadi hanya melewati 2 stasiun dan turun lebih dahulu, masing-masing dari mereka melambaikan tangan sambil tersenyum ke arahku, lalu meminta maaf, mengucapkan terima kasih dan tak lupa mengucapkan "Schönes Wochenende!" "Selamat berakhir pekan!". Lalu kubalas salam mereka sambil tersenyum. Aku pun teringat pada Bapak penjahit langgananku di Bandung dulu yang menjahit kerudung yang ketika itu aku kenakan. "Selamat berpuasa, Pak". Aku tahu pasti sekarang beliau sedang sibuk mengerjakan pesanan jahitan yang sering menumpuk menjelang lebaran.  

Bochum, 30 Juni 2014