Saturday, July 12, 2014

Catatan Ramadhan 1435 H - 15 Ramadhan, Sahabat dari Tanah Rencong

Sudah 2 tahun aku mengenalnya. Perempuan cerdas yang hanya terpaut 2 tahun pula usianya lebih muda dariku ini adalah sosok sahabat yang aku kagumi. Rachmi Meutia, begitu namanya. Nama belakangnya itu nama khas yang menunjukkan tanah kelahirannya, tanah rencong Aceh yang sudah sejak lama aku ingin mengunjunginya.

Aceh sudah sejak dulu menarik perhatianku. Sejarah panjang perjuangan rakyatnya pada masa pendudukan kolonial Belanda mengenalkanku pada sosok yang sangat aku kagumi, Laksamana Keumalahayati, seorang tokoh pejuang Aceh yang sangat disegani pada masanya. Di salah satu sudut ruang temaram Museum Bahari di Jakarta Utara, aku bertemu Keumalahayati untuk pertama kalinya. Sosok perempuan pejuang ini diabadikan sejarahnya dalam sebuah lukisan seukuran manusia dewasa. Keumalahayati konon merupakan laksamana perempuan pertama di dunia dalam sejarah modern. Dia memimpin armada perang Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah gugur) yang dikenal tangguh dan berani. Bahkan Cornelis de Houtman, pemimpin rombongan pertama kolonial Belanda yang sampai ke Nusantara pada tahun 1596 itu mati di ujung rencong sang laksamana. Sejarah ketokohan para pahlawan Aceh adalah representasi keberanian dan watak tangguh orang-orang Aceh.

Di era kemerdekaan, Aceh melalui pula sejarah panjang pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM). Kemudian peristiwa dahsyat tsunami pada 26 Desember 2004 telah pula menoreh sejarah di tanah rencong. Dalam 2 periode peristiwa besar inilah Rachmi dibesarkan. Dia menjadi saksi hidup bagaimana Aceh melalui pasang surut dan serangkaian masa-masa kelam.

Rachmi pernah bercerita bagaimana dia melalui masa-masa SMP-nya di sebuah pesantren berasrama yang berada cukup jauh dari rumahnya, sehingga hanya beberapa kali dalam sebulan dia bisa pulang ke Banda Aceh. Ketika itu, Aceh sedang berada dalam situasi tak menentu saat diberlakukannya DOM oleh pemerintah pusat. Berita kematian seolah menjadi santapan mereka sehari-hari, suasana di mana-mana terasa sangat tidak aman. Kecurigaan antar pihak-pihak yang berselisih sangat mudah memicu kontak senjata. Pernah pada suatu hari, ketika Rachmi dan teman-temannya sedang berada di kelas, sebuah peluru nyasar mengenai dinding dan sebuah pohon di halaman sekolahnya. Setiap kali terjadi kontak senjata, mereka akan dikumpulkan oleh guru dan bersembunyi mengendap-endap hampir dalam posisi tiarap untuk menghindari peluru nyasar. Perjalanan pulang pergi rumah-asramanya pun bukan hal yang mudah. Ayah dan ibu yang mengantar jemputnya ketika itu hampir selalu harus melalui pemeriksaan dari aparat keamanan di pos-pos penjagaan. Rachmi juga menjadi saksi bagaimana orang-orang yang dikenalnya menjadi korban dalam periode mencekam penuh ketidakpastian itu.

Kemudian, ketika gempa dan tsunami melanda Aceh pada tahun 2004, Rachmi saat itu duduk di kelas 2 SMA Modal Bangsa, salah satu SMA favorit di Aceh yang juga berasrama. Saat kejadian itu, Rachmi dan teman-teman sekelasnya sedang berolahraga di halaman kompleks asrama. Mereka merasakan gempa yang sangat dahsyat, yang kemudian diketahui berkekuatan hingga 9 Mw (moment magnitude scale). Sedangkan keluarga besar Rachmi: Ayah, Ibu, serta 3 adiknya saat kejadian itu sedang berada di rumah mereka di Banda Aceh. Aku merinding ketika Rachmi menceritakan kejadian ini, mataku berkaca-kaca. Namun, kulihat sorot matanya begitu tegar, tak ada setitik pun air mata. Ibu dan 2 adik Rachmi ikut menjadi korban meninggal dalam peristiwa ini. Maka yang tersisa adalah Ayah, seorang adik, dan abangnya yang ketika itu sedang kuliah di Yogyakarta.

Kata Rachmi, dia tak banyak menangis di depan ayahnya karena dia ingin agar ayahnya tegar menghadapi ujian yang sungguh luar biasa ini. Tsunami Aceh merenggut korban jiwa hingga lebih dari 230.000 orang. Lalu hadirlah sosok Bunda, begitu Rachmi dan saudara-saudara kandungnya memanggil ibu sambung mereka. Bukan hal mudah bagi keluarga-keluarga Aceh yang menjadi korban tsunami untuk bangkit kembali dan melanjutkan hidup. Aku tak bisa membayangkan jika aku sendiri yang mengalaminya.

Singkat cerita Rachmi pun menikah tak lama sebelum keberangkatannya ke Jerman untuk melanjutkan pendidikan Masternya. Tak lama setelah itu pula, Rachmi kehilangan ayahnya. Rachmi, betapa besar ujian yang telah Allah berikan untukmu di usia semuda ini, bahkan sejak engkau menghabiskan masa kanak-kanakmu. Engkau sungguh telah mewarisi sifat-sifat tangguh dan berani dari para leluhurmu dulu, seperti sang laksamana dan perempuan-perempuan hebat Aceh lainnya. Cerita-cerita Rachmi ini sering membuatku malu pada diri sendiri. Aku yang tak pernah mengalami ujian sehebat itu kadang tak jarang berkeluh kesah dan kurang bersyukur.

Persahabatanku bersama Rachmi mengajarkanku banyak sekali pelajaran hidup. Kami sering berdiskusi tentang berbagai hal, dari persoalan remeh temeh hingga tema-tema serius. Kemarin sore ketika Ramadhan sudah lewat 2 pekan, Rachmi mengunjungiku. Menunggu waktu berbuka puasa kami bercerita tentang banyak hal, lagi-lagi cerita Rachmi selalu membuatku terus berpikir dan banyak belajar. Perempuan penyayang ini adalah sahabat solihah yang senantiasa akan kukenang kebaikannya seumur hidupku, insyaAllah. Terima kasih, Mi. Semoga Allah selalu memberkahi keluargamu.

Bochum, 12 Juli 2014