Thursday, July 17, 2014

Catatan Ramadhan 1435 H - 20 Ramadhan, Kampung Halaman

Ramadhan hampir memasuki babak ke tiga, babak terakhir menuju hari raya. Ada perasaan sedih bercampur bahagia. Sedih, karena hanya tinggal beberapa hari lagi kita akan berpisah dengannya. Tapi sekaligus bahagia, karena tak lama lagi akan tiba pula hari raya. Dulu, ketika aku masih di Bandung, di minggu-minggu terakhir bulan Ramadhan, aku sudah bersiap-siap untuk pulang ke kampung halaman. Aku biasanya menumpang mobil travel yang berangkat pagi buta, lalu sampai di bandara Soekarno-Hatta ketika kantuk belum reda. Penerbangan dari Jakarta ke Tanjongpandan tak memakan waktu lama, 45 menit saja.

Tanjongpandan, tempat kelahiranku itu, bagiku selamanya tak pernah berubah. Wangi paginya, terik mataharinya, debu jalanannya, riuh pasarnya, selalu menyimpan kenangan yang tak musnah dilindas zaman. Sebenarnya rutinitas mudik bagiku lebih dari sekedar pulang. Bukan hanya menemukan rumah, tapi lebih dari itu, aku ingin menemui aku, diriku sendiri di masa lalu, yang belum hanyut oleh gelombang pasang. Aku yang hanya mengenal batas dermaga sebagai ujung dunia. Aku yang hanya tahu kerontang kemarau dan hujan yang tumpah ruah memenuhi sungai, lalu dihanyutkan mimpi menuju muara.

Perairan Pulau lengkuas, Belitong
Aku ingin menemui berupa-rupa kesederhanaan yang disembunyikan zaman dari hiruk pikuk kebaruan. Meskipun tak bisa terlalu sering pulang, aku bersyukur masih memiliki kampung halaman. Kampung halaman adalah representasi semangat yang mula-mula, yang muncul pada pagi jingga nan teramat muda. Kampung halaman adalah representasi rindu, yang tumbuh di sela-sela ombak yang terhempas mengharu biru. Kampung halaman adalah tempat kembali, bingkai yang menunggu keping-keping mozaiknya tersusun kembali, suatu hari nanti.

Bochum, 17 Juli 2014