Monday, July 21, 2014

Catatan Ramadhan 1435 H - 24 Ramadhan, Dhani, Lelaki Kecil Permata Hati Kami

Lebih dari dua tahun yang lalu, lelaki kecil itu lahir ke dunia. Masih belum terbit pagi di sini, kabar bahagia itu serta merta mengenyahkan rasa kantukku. Pada pagi musim semi itu, abang telah menjadi ayah. Bayi mungil itu diberi nama Muhammad Dhani Cakrawijaya, lelaki kecil permata hati kami. Aku belum pernah bertemu Dhani hingga hari ini. Jarak dan waktu memisahkan kami, seperti perahu nelayan yang disembunyikan cakrawala. Meski tak pernah tampak dari ujung dermaga, tetapi senantiasa hadir di sana. Akulah sang perahu itu, sedangkan Dhani adalah lelaki kecil yang berlari-lari di bibir dermaga, masih tak bosan-bosan menunggu senja.

Waktu seperti dipermainkan dalam gulungan-gulungan sekoci benang yang berputar-putar, dikayuh oleh sang penjahit kemudian menjelujur bermeter-meter kain tak bertepi. Tahu-tahu telah habis segulung, berganti lagi dengan gulungan baru. Begitu terus menerus sampai penjahit pun lupa bahwa jarum telah menggerogoti helai-helai usianya, perlahan-lahan.

Dhani, lelaki kecil yang hadir kali pertama di musim semi itu, perlahan-lahan memenuhi lorong-lorong hati kami. Tangisnya dirindukan, sorot mata lugunya tak puas-puas menjadi pemandangan. Setiap hari ada saja cerita yang kudengar dari ayah, bunda, kakek dan neneknya. Dhani mulai pandai berjalan ketika usianya belum genap setahun. Semua barang ingin diraihnya, sejauh jangkauan kaki kecilnya. Seisi rumah pun sibuk dibuatnya. Lain lagi ceritanya ketika Dhani mulai pandai mengucapkan kata-kata sederhana. Semua pembicaraan yang didengar pasti akan ditirunya. Sepanjang hari, rumah abang tak pernah sepi oleh ocehan Dhani. Kicaunya baru akan reda ketika tidur, seperti mainan yang kehabisan baterainya. Dhani tumbuh menjadi anak periang dan senang berkawan. Setiap bertemu kakek dan nenek, dia selalu bercerita tentang apa saja yang baru dialaminya, pengalaman bersama kawan-kawannya atau orang-orang yang baru dikenalnya.

Dhani tak setiap hari bisa bertemu ayahnya, lantaran abang ditugaskan di luar kota. Tiap bertemu ayahnya beberapa pekan sekali, dari kejauhan Dhani sudah memanggil-manggil: “Ayah...Ayah...!“ sambil menghambur ke arah ayahnya. Lalu mulut kecilnya tak berhenti berkicau-kicau, bercerita ini itu, sambil sibuk bermain menunjukkan keahlian-keahlian barunya. Mainan pertama yang disukai Dhani adalah bola dan sepeda roda tiga. Barang-barang di rumahnya pun tak luput menjadi sasaran. Kursi dibolak-balik, lalu ditungganginya seperti kuda. Meja didorong-dorongnya ke sana ke mari tak tentu arah.

Setiap hari selalu saja ada kejutan yang dibuat Dhani. Sudah beberapa pekan ini, dia punya kebiasaan baru, minta diantar ke Taman Kanak-kanak, padahal tak ada orang yang menyuruhnya. Setiap hari, dia sudah bangun pagi-pagi sekali, minta dimandikan dan dipakaikan baju kesayangannya. Lalu minta disiapkan tas sandang kesukaannya. Bang Nugra, begitu Dhani memanggil sahabat kesayangan yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Tahun ini, Nugra yang sudah berusia 5 tahun, masuk TK. Dhani tak mau ketinggalan, dia pun serta merta minta diantar bersama Nugra. Di sekolah barunya itu, Dhani ikut bermain bersama kakak-kakaknya, orang menyanyi, dia pun ikut menyanyi juga. Setiap tiba waktu bermain di luar kelas, Dhani berlari-lari ke sana ke mari, tak kenal takut dan lelah. Dhani tak pernah malu-malu menanyakan ini itu pada gurunya, padahal bicaranya pun masih belum sempurna. Meskipun menjadi murid tak resmi alias anak bawang, kadang Dhani justru lebih bersemangat dibanding kawan-kawannya. Dalam alam pikiran sederhananya, Dhani menemukan kegembiraan tiada tara bisa bermain bersama Nugra dan kawan-kawannya. 

Dhani, pada pundakmu teriring doa dan harapan dari orang-orang yang menyayangimu. Walau kita belum sempat bertemu, selalu ada rindu yang terombang-ambing dipermainkan riak-riak gelombang. Makcik memperhatikanmu dari kejauhan, tangan-tangan kecilmu yang mengumpulkan remah-remah kerang, kaki-kaki kecilmu yang berlari-lari menentang hujan. Jika nanti engkau telah dewasa, jangan hanya bermenung di bibir dermaga. Berlarilah hingga teriakmu tersapu angin musim gugur. Melompatlah hingga nafasmu mengembun dibekukan musim dingin. Tersenyumlah seperti musim semi dan bersemangatlah seperti matahari musim panas. Bila telah tiba waktunya, kayuhlah bidukmu, lintasi samudera, lalu berkelanalah hingga ujung dunia.

Bochum, 21 Juli 2014