Thursday, April 23, 2015

Tentang Bandung, Kampung Halaman Keduaku

Bandung, sebuah kota yang namanya terngiang-ngiang dalam benakku, bahkan jauh sebelum aku menginjakkan kaki di sana. Kalau tak salah ingat, aku mendengar nama Bandung pertama kali dari ayahku. Beliau bercerita tentang sebuah sekolah, sebuah institut, tempat orang-orang belajar sains, seni dan teknologi. Waktu itu mulut kecilku spontan berseloroh, "Baiklah, nanti kalau sudah besar, aku mau sekolah ke Bandung saja, ambil jurusan mesin, biar bisa membuat mesin-mesin canggih!" "Dipakai untuk apa?", tanya ayahku. Aku menggeleng, "Belum tahu, nanti kita lihat saja!"

Sejak saat itu, kalau ditanya mau ke mana kalau sudah besar, aku selalu menjawab, "Aku ingin ke Bandung!" Belasan tahun kemudian, aku pun diantar ayah ke kota kembang ini, mengadu nasib, merantau meninggalkan kampung halaman. Tujuh tahun kuhabiskan masa mudaku di kota ini. Satu-satunya hal yang masih kusesali hingga saat ini adalah kemampuan Basa Sundaku yang tak maju-maju. Hanya dapat logatnya saja, yang bahkan menjadi aksen Bahasa Indonesiaku sampai saat ini. Aku mesti bertemu orang sekampung dulu untuk mengembalikan aksen Melayuku, lebih dari itu, orang yang baru mengenalku akan mengira bahwa aku berasal dari tatar Sunda.

Bandung menjadi kampung halaman ke dua bagiku, setelah Belitung. Bangka luput dari perhatianku, karena masa SMA yang kuhabiskan di sana masih kalah berkesan dibandingkan masa-masa yang kuhabiskan di Kota Paris van Java ini. Ketika aku meninggalkan Indonesia, tak jarang secara tak sadar, aku mengaku sebagai orang Bandung. Spontan saja, alam bawah sadarku yang menginginkannya. Meskipun jika mengobrol lebih jauh, aku tentu saja akan bercerita tentang kampung halamanku, Belitung, tanah Melayu yang melahirkanku.
 
Lama meninggalkan kampung halaman, membuatku merasa cepat betah berada di tempat yang baru. Lalu, setelah beberapa lama, aku pun akan merasa bahwa perantauan adalah juga kampung halamanku. Bochum pun akan bernasib serupa dalam benakku. Dia telah menggerogoti relung-relung terdalam dalam hatiku. Aku belum pergi meninggalkannya, namun pelan-pelan aku mulai didera rindu.

Besok pagi, Bandung akan menyambut tamu-tamu kehormatan dari berbagai negara, khususnya dari kawasan Asia dan Afrika. Wajah Bandung sudah banyak berubah, semakin cantik dan sering membuatku menitikkan air mata, bangga dan haru. Bandung, izinkan aku sekali lagi mendekap sejuk udara pagimu, ketika halimun perlahan-lahan menyeruak dari punggung-punggung gemunung di sekelilingmu. Izinkan aku berlari lagi bersama derumu. Sabarlah, kelak kita akan bertemu, tak lupa kubawakan engkau segenggam rindu.

Bochum, 23 April 2015

Thursday, April 16, 2015

Cerita "Mati Lampu" di Kampus Kami

Sore kemarin, sekitar pukul 2, aku baru saja menyelesaikan pekerjaan di kantor. Sisa waktu istirahat kupakai saja untuk berselancar di dunia maya. Tiba-tiba, "crek" aliran listrik terputus. Rekan-rekan kerjaku segera keluar ruangan, memastikan bahwa ruangan lain mengalami hal serupa. Lampu di beberapa lorong masih tampak menyala, karena listriknya berasal dari sumber cadangan.

Wajah mereka tampak gelisah, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Mungkin terdengar aneh dan berlebihan bagi kita orang Indonesia. "Pasti ada yang tidak beres!", pikir mereka. Sejak aku tinggal di Jerman 4 tahun belakangan ini, ini kali pertama terjadi pemutusan aliran listrik secara mendadak, tanpa pemberitahuan sama sekali. Biasanya kalau pun ada pemutusan untuk tujuan perawatan jaringan, pemberitahuannya sudah dari jauh-jauh hari, bahkan 3 bulan sebelumnya, dan itu pun tak pernah total diputuskan semua, agar kegiatan akademik dapat berlangsung sebagaimana biasa.

Kami pun dipulangkan lebih awal. Sesampai di asrama aku menyalakan laptop dan mencoba mencari tahu lewat internet. Ah, aku baru sadar, internet di asrama terhubung dengan jaringan yang sama dari kampus. Jadi, percuma saja. Lalu, aku mencoba mengecek melalui telepon selularku yang sudah kehabisan kuota internet, lambatnya bukan main. Akun Facebook RUB ternyata tak henti-hentinya memberikan informasi tentang kejadian "luar biasa" ini.

Dari beberapa informasi yang kuperoleh, sejak sore petugas terkait bahu-membahu sigap bekerja, layaknya tim siaga bencana, memastikan tak ada orang yang celaka oleh karena kejadian ini. Para petugas dari "stadwerke" segera memeriksa penyebab putusnya aliran listrik yang melumpuhkan seluruh area kampus.

Perbaruan informasi terus menerus disampaikan oleh para petugas. Sampai pukul 2 pagi, masih kulihat beberapa berita bersliweran. Para petugas menemukan bagian yang bermasalah pada salah satu sambungan yang terletak tak jauh dari pabrik Opel. Katanya ini kejadian stromausfall terbesar sejak 25 tahun terakhir ini. Beberapa petugas yang diwawancarai menyampaikan bahwa mereka tak akan pulang, sampai semuanya selesai diperbaiki.

Pukul 4 pagi, kuterima email dari sekretariat kampus. Mereka memberitahukan proses perbaikan yang sedang berjalan dan beberapa hal terkait kegiatan di kampus yang terkena dampak langsung. Pukul 8 pagi, kuterima email lain dari Supervisorku, berisi himbauan untuk tetap berada di rumah selama masa perbaikan, terkait alasan keselamatan kerja dan sebagainya.

Itulah, sekelumit kisah "mati lampu", yang sedikit menghebohkan warga kampus kami. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari kejadian ini, tentang dedikasi para petugas, tentang kesigapan dan tanggap bencana, serta tentang arti penting teknologi yang telah mendarah daging dalam jiwa mereka. Lalu, di tanah air bagaimana? Mari kita berbenah, Kawan.

Bochum, 16 April 2015