Wednesday, February 24, 2016

Pendar Cahaya Bulan Memelukku

Ingatanku tiba pada suatu malam yang sangat biasa, aku, ayahku, ibuku, dan abangku, saudara kandungku satu-satunya. Rembulan mengawang rendah, awan tipis seperti berasap-asap melingkupi bola matanya yang sendu. Cahaya pucatnya berpendar dipantulkan pucuk-pucuk pohon kelapa yang melambai-lambai, entah kepada siapa. Aku dipakaikan ibu jaket wol hijau tua, sedikit berbunga, tapi tak berenda. Abang dipakaikan ayah jaket bercorak hitam, coklat muda, dan biru tua, dari bahan wol juga.

Sisa hujan sore tadi masih menggenang di tepian jalan aspal berbatu. Suara jangkrik menguasai sudut-sudut temaram di tepi padang ilalang, menebas sepi-sepi. Sepeda motor ayah, Yamaha PX-80, warna merah, masih kerap lalu lalang dalam mimpiku. Malam tadi, ia menghampiriku.


Seperti yang dikisahkan kunang-kunang kepadaku. Malam itu, kami pulang dari rumah kakek, ayah membonceng abang di bagian depan, ibu duduk di bagian belakang, aku digendong ibu sehingga pandanganku menghadap ke belakang. Pada malam yang dingin itu, hanya aku saja yang menatap teduh wajah rembulan, sesekali ia merayuku, tak ada orang lain tahu. Aku bertanya pada ibu: “Wahai ibu, mengapakah gerangan rembulan mengikutiku dan masih tak hendak pulang? Bukankah malam semakin merambat? Tak takutkah ia dipeluk gelap?” Semakin erat ibu mendekapku. “Tidurlah Nak, sebentar lagi kita sampai”.

Payung langit dipenuhi anak-anak bintang yang berkerlap-kerlip memperhatikan kami. Seperti untaian cinta ayah yang mencium lembut rambut abang, seperti helaian cinta ibu yang menidurkanku dalam pelukannya, malam yang sangat biasa itu sesungguhnya teramat istimewa.

Bandung, 24 Februari 2016